146 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya Umum adalah di atas 110%, tidak bisa dijadikan alasan pembenaran kondisi saat ini. Dengan peningkatan permodalan masing-masing bank dan ketatnya aturan dan pengawasan BI terhadap rasio kecukupan modal, maka jelas masih dimungkinkan penyaluran kredit yang jauh lebih besar. Sebagai catatan, perhitungan LDR di masa lalu biasa menggunakan dana yang diterima (funds received) sebagai bilangan penyebut. Angka funds received jelas lebih besar daripada DPK. Dengan perhitungan semacam ini, jika LDR berada di atas 100 % maka sinyal bahaya memang layak menyala. Sementara perhitungan LDR pada saat ini menggunakan DPK sebagai angka penyebut dan Kredit sebagai pembilang, maka keadaannya masih terkategori baik sekalipun LDRnya mencapai 100 %. Tentu saja, berbagai ketentuan kehati-hatian perbankan disyaratkan telah dilaksanakan secara memadai.. Ketidakpuasan terhadap perkembangan LDR bank umum ini juga terkait dengan telah terjadinya penurunan secara cukup signifikan selama dua tahun terakhir ini. Mengikuti kecenderungan BI-rate, suku bunga pinjaman pun sebenarnya turut mengalami penurunan. Penurunan tersebut mustinya dapat menjadi pendorong pertumbuhan kredit. Memang ada sedikit catatan dalam hal ini. Laju penurunan suku bunga pinjaman cenderung lebih lambat daripada penurunan BI-rate, sedikit lebih kecil besarannya, serta ada senjang waktu (time leg) yang masih cukup lama. Bagaimanapun, akibat penurunan BI-rate, penempatan dana di BI melalui SBI sebetulnya menghasilkan pendapatan yang semakin kecil dalam dua tahun terakhir. Oleh karenanya, aspek lain di luar suku bunga pinjaman mulai banyak disoroti sebagai penyebab masih belum optimalnya penyaluran kredit oleh bank umum. Salah satunya adalah menyangkut kemampuan yang rendah dari pihak bank 147 umum untuk mengenali dan memberi asesmen terhadap sektor riil, sehingga memilih jalan yang lebih aman, dengan menempatkan dana di SBI. Bisa jadi pula, ada tekanan yang cukup berat bagi pihak manajemen bank (termasuk bank pemerintah) untuk menjaga kinerja banknya secara keseluruhan. Mereka terpaksa bersikap konservatif dalam soal kredit. Pihak bank umum memiliki argumen lain tentang kondisi ini, yang bernada pembelaan diri. Mereka sering mengemukakan bahwa permasalahannya adalah pada sektor riil itu sendiri, yang kondisi dan perkembangannya masih mengkhawatirkan. Sekalipun BI selalu menghimbau dan menstimulan dengan penurunan BI-rate, serta pemerintah terus membujuk, risiko dari sektor riil masih cukup mengkhawatirkan bagi mereka. Bagaimanapun, dari data-data yang telah kita bicarakan, bankbank menikmati bunga dari SBI (saat ini 8,25 persen, dan lebih besar lagi pada tahun-tahun lampau). Bisa dikatakan bahwa selama ini bank-bank umum masih disubsidi oleh BI, artinya oleh negara. ”Subsidi” oleh negara itu diperkuat oleh data yang memperlihatkan bahwa penyaluran dana bank-bank umum dalam bentuk surat berharga pada akhir tahun 2007 telah mencapai Rp 108 triliun. Sebagian besarnya berbentuk obligasi atau surat utang negara (SUN). Angka tersebut belum termasuk obligasi rekap, yang jumlahnya jauh lebih besar, diperkirakan masih sekitar Rp 265 triliun pada akhir tahun 2007. Perkembangan LDR dan penempatan dana bank umum di SBI dan Surat Berharga yang sedemikian, menunjukkan bahwa kemampuan bank umum memobilisasi dana masyarakat masih tumbuh lebih baik daripada kemampuan menyalurkan kreditnya. Dengan kata lain, industri perbankan belum menjalankan fungsi intermediasi secara normal. Ada ekonom yang mengkategorikannya 148 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya kasus semacam ini sebagai kegagalan pasar (market failures) sektor finansial, khususnya di sektor perbankan. Sebagaimana umumnya kasus kegagalan pasar, maka dalam hal ini diperlukan intervensi pemerintah (negara) secara signifikan. Kotak 3.4 4. Kondisi Kinerja Lainnya Tekanan risiko kredit yang dihadapi bank menurun cukup signifikan sepanjang tahun 2007. Hal ini konsisten pula dengan angka LDR yang meningkat pada tahun 2007. Sebelumnya, pada tahun 2006 kewaspadaan sempat ditingkatkan oleh industri perbankan karena adanya tekanan risiko kredit yang meninggi selama tahun 2005 dan 2006. Padahal, selama kurun waktu tahun 2001-2004, risiko kredit cenderung terus menurun. Peningkatan risiko kredit dimaksud antara lain ditunjukkan oleh n Penyaluran kredit biasa dianggap sebagai kegiatan perbankan yang terpenting, serta diandalkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor riil. Penyaluran kredit diakui meningkat, namun belum optimal. n Kecederungan penyaluran dana bank umum yang perlu diwaspadai adalah peningkatan penempatan di BI (terutama berupa SBI) dan peningkatan portofolio surat berharga (terutama SUN) n Rasio LDR dihitung dari perbandingan antara Kredit dengan DPK, yang dinyatakan dalam persentase. Kredit adalah nilai total kredit yang diberikan kepada pihak ketiga (tidak termasuk antar Bank). Sedangkan nilai DPK mencakup: giro, tabungan, dan deposito. n Setelah program restrukturisasi perbankan dilaksanakan, LDR bank umum hampir selalu mengalami peningkatan, namun lajunya cenderung melambat. n Angka LDR bank umum sebesar 66,32% pada tahun 2007 dinilai masih belum optimal. Kondisi normalnya adalah antara 85-100 %. 149 fluktuasi rasio Non Performing Loan (NPL). NPL adalah kredit yang telah disalurkan namun bersifat kurang lancar (sub-standard), diragukan (doubtful), dan macet (lost). Rasio NPL dihitung dengan membandingkan total NPL dengan total kredit, yang dinyatakan dalam persen. Tabel 3.5 memperlihatkan perkembangan NPL Bank Umum selama beberapa tahun terakhir. Perlu diketahui bahwa posisi yang diperlihatkan tabel adalah per 31 Desember, sehingga sebenarnya ada dinamika selama kurun waktu setahun tersebut. Sebagai contoh, pada tahun 2006, NPL pada bulan-bulan tertentu sempat mencapai 8 %. Dan pada bulan-bulan semester pertama tahun 2007, NPL masih berada di atas 6 %. Keadaan memang membaik secara cukup signifikan sepanjang tahun 2007 (sebetulnya dimulai triwulan terakhir tahun 2006). Kualitas kredit mengalami perbaikan yang cukup signifikan. NPL gross turun dari 7,0 % menjadi 4,6 %, di bawah batas indikatif 5 % untuk pertama kalinya pascakrisis, sedangkan NPL net turun dari 3,6 % menjadi 2,3 %. Perbaikan kualitas kredit tersebut, terutama didorong oleh program restrukturisasi kredit korporasi pada kelompok bank persero. Kredit korporasi yang direstrukturisasi tersebut umumnya disalurkan ke sektor industri pengolahan yang umumnya menggunakan fasilitas kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit valas. Restrukturisasi kredit tersebut menurunkan NPL gross sektor industri dari 10,5 % menjadi 7,1 %, NPL gross pada kredit modal kerja dari 6,3 % menjadi 3,7 %, NPL gross kredit investasi dari 10,3 % menjadi 6,6 %, dan NPL gross kredit valas dari 9,9 % menjadi 5,1 %. 150 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya Tabel 3.5 NPL Bank Umum, 2001-2007 Sumber: Bank Indonesia Akan tetapi dinamika NPL dalam beberapa tahun terakhir juga mengisyaratkan bahwa keadaan bisa memburuk atau membaik dengan cepat. Dengan kata lain, sedikit goncangan di sektor riil bisa langsung berpengaruh pada NPL perbankan. Kinerja lain yang perlu disinggung adalah berkenaan dengan kemampuan memperoleh laba (profitabilitas). Profitabilitas bank umum menurun pada tahun 2005. Padahal, selama beberapa tahun sebelumnya laba bank umum terus meningkat. Baik dalam arti nominal yang bertambah besar, maupun laju pertumbuhan yang semakin meninggi. Penurunan laba yang terjadi pada tahun 2005 adalah dalam arti nominal, dari Rp 40,96 triliun menjadi Rp 30,60 triliun. Selama tahun 2006 dan 2007, profitabilitas memang kembali mengalami perbaikan. Namun, pertumbuhannya tidaklah sepesat pada tahun-tahun sebelum 2005. Jika laba nominal dikaitkan dengan aset perbankan, maka posisi tahun 2007 masih lebih buruk daripada tahun 2004. Penyebab utamanya adalah meningkatnya beban operasional, disamping peningkatan efisiensi yang sudah mulai lebih berat untuk dilaksanakan. Hal ini tercermin dari penurunan ROA dan peningkatan BOBO. ROA adalah singkatan dari Return on Asset, yang rasionya dihitung dari laba tahun yang berjalan dibandingkan dengan total aset. TAHUN NPL (milyar) Kredit(milyar) NPL(%) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 38.655 27.839 29.865 25.174 52.589 48.057 46.592 316.059 371.058 440.505 559.470 695.648 792.297 962.389 12,23 7,50 6,78 4,50 7,56 6,07 4,07 151 Secara teknis, dihitung dari Laba Sebelum Pajak disetahunkan dibagi dengan rata-rata total aset, dinyatakan dalam persen. ROA perbankan secara keseluruhan sebesar 0,9 % (tahun 2000) membaik sampai mencapai 3,5 % (tahun 2004), kemudian menurun menjadi 2,6 % (tahun 2005), serta menjadi 2,4 % (2006). Perkembangan ROA bank umum menunjukkan pola yang serupa, terutama karena pangsanya yang dominan dalam industri perbankan. ROA tahun 2007 sebesar 2,78 % hanya sedikit membaik dibandingkan tahun 2006 sebesar 2,64 %, dan 2,55 % pada tahun 2005. Rasio tersebut masih jauh lebih buruk dari tahun 2004 yang telah mencapai 3,46 % (lihat tabel 3.6). Perhatikan pula bahwa laba nominal sempat menurun pada tahun 2005 jika dibandingkan tahun 2004, dan pertumbuhan laba nominal tahun 2007 (22,9 %) masih lebih kecil dibandingkan tahun 2006 (32,53 %). Tabel 3.6 ROA Bank Umum, 2001-2007 Sumber: Bank Indonesia Sementara itu, tingkat efisiensi perbankan selama era reformasi sempat membaik, yang dicerminkan oleh BOPO yang menurun dalam beberapa tahun. BOPO adalah singkatan dari Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional, yang rasionya dihitung dari Total beban operasional dibagi Total pendapatan TAHUN Laba (Rp milyar) Rata-rata total aset (Rp milyar) ROA (%) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 15.712 20.882 29.529 40.956 30.601 40.555 49.859 1.084.226 1.065.824 1.122.641 1.185.278 1.201.039 1.538.821 1.792.481 1,45 1,96 2,63 3,46 2,55 2,64 2,78 152 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya operasional. Secara teknis, rasio BOPO dihitung per posisi (tidak disetahunkan) dan dinyatakan dalam persen. Efisiensi bank umum memburuk (BOPO meningkat) pada tahun 2005 sampai dengan pertengahan tahun 2006. Perbaikan kemudian terjadi secara perlahan, BOPO pada posisi Desember 2007 adalah 84,05% (lihat tabel 3.7). Tabel 3.7 BOPO Bank Umum (Rp milyar) Sumber: Bank Indonesia Namun, pertumbuhan yang cukup signifikan itu dinilai semu oleh sebagian pihak. Ada indikasi, inefisiensi masih menghantui perbankan Indonesia. Ketergantungan terhadap pendapatan yang mestinya bukan bisnis inti bank masih amat tinggi. Selain dari perkembangan BOPO, indikasi lain yang terlihat adalah cukup besarnya porsi pendapatan non-operasional dari bank-bank umum. Pendapatan non-operasional bank umum pada tahun 2006 dan 2007 adalah Rp 77,67 triliun dan Rp 72,0 triliun. Bandingkan dengan pendapatan operasional pada waktu yang sama, yaitu Rp 184,83 triliun dan Rp 184,62 triliun. Tidak hanya itu, laba non-operasional tahun 2006 dan 2007 adalah sebesar Rp 12,84 triliun dan Rp 14,82 triliun. Sedangkan laba operasional pada waktu yang sama adalah Rp 27,72 triliun dan Rp 35,04 triliun. Artinya, hal-hal yang bukan bisnis inti bank umum justeru masih sangat diandalkan sebagai penerimaan. TAHUN Biaya Operasional Pendapatan Operasional BOPO (%) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 146.351 150.498 127.865 122.396 143.881 184.826 184.617 148.715 158.820 145.137 159.697 160.762 212.499 219.653 98,41 94,76 88,10 76,64 89,50 86,98 84,05 153 Pendapatan operasional itu pun masih ditopang oleh spread yang masih lebar antara bunga kredit dan bunga dana. Hal itu terjadi karena kalangan perbankan cenderung mempertahankan suku bunga kredit, meski suku bunga dana terus menurun. Setidaknya, laju keduanya tidak sebanding atau memiliki senjang waktu (time leg) yang lama. Sementara itu, kinerja permodalan bank biasa ditunjukkan oleh soal kecukupan modal. Indikator utamanya adalah Capital Adequacy Ratio (CAR). CAR adalah rasio modal dengan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Modal dimaksud terdiri dari Modal inti dan modal Pelengkap. Modal inti sendiri terdiri dari Modal disetor dan Cadangan Tambahan Modal. Dari tabel perkembangan CAR Bank Umum, maka kinerja kecukupan modal selama beberapa tahun ini relatif stabil. Setelah peningkatan yang sangat tinggi pada tahun 2001 dan tahun 2002, sedikit menurun pada tahun 2003, maka pada tahun-tahun berikutnya stabil pada angka CAR yang dianggap cukup aman. CAR per Desember 2007 adalah 19,30 %. Jika ditambahi dengan data bahwa rasio permodalan tersebut sebagian besar merupakan modal inti (Tier 1), maka bisa dikatakan bahwa perbankan Indonesia cukup solvable menghadapi risiko. Secara teoritis, kondisi ini sebenarnya cukup mendukung untuk melakukan ekspansi kredit yang lebih besar. Kotak 3.5 n Non Performing Loan (NPL) adalah kredit yang telah disalurkan namun bersifat kurang lancar (sub-standard), diragukan (doubtful), dan macet (lost). Rasio NPL (gross) dihitung dengan membandingkan total NPL dengan total kredit (dinyatakan dalam persen). NPL netto adalah rasio NPL yang telah dikurangi cadangan penyisihan. n NPL mengalami fluktuasi selama beberapa tahun terakhir. Membaik dalam periode tahun 2001-2004, cenderung memburuk pada 2005-2006, membaik kembali pada 2007. 154 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya 5. Kecenderungan Konsentrasi dalam Industri Perbankan Industri perbankan Indonesia menunjukkan perkembangan yang bersifat semakin terkonsentrasi. Fenomena ini bisa dilihat sepintas dari dominasi sepuluh bank terbesar. Pangsa mereka per Desember 2007 adalah sebagai berikut: 62,50 % dari total aset bank umum, 64,15 % dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun oleh bank umum, dan 60,72 % dari kredit yang berhasil disalurkan bank umum. Dengan kata lain, bank-bank tersebut memiliki pengaruh sangat signifikan terhadap kestabilan sistem perbankan. Baik buruknya kinerja mereka langsung berdampak pada angka agregat. Kecenderungan untuk semakin terkonsentrasinya industri perbankan ini sebenarnya sedikit berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya adalah karena bank-bank kecil diharuskan meningkatkan permodalannya atau melakukan merger jika tidak ingin turun tingkat menjadi BPR. Pada saat yang bersamaan, bank-bank besar lebih berorientasi mengkonsolidasikan diri dan memperbaiki n Profitabilitas bank umum terus meningkat sejak program restrukturisasi perbankan digulirkan sampai dengan tahun 2004. Kemudian menurun pada tahun 2005. Pada tahun 2006 dan 2007, profitabilitas kembali mengalami perbaikan, namun pertumbuhannya tidak sepesat pada tahuntahun sebelum 2005 n Tingkat efisiensi perbankan selama beberapa tahun ini cenderung membaik, yang dicerminkan oleh BOPO yang menurun, namun dikhawatirkan stagnan pada tahun-tahun mendatang. n Ada indikasi, inefisiensi masih menghantui perbankan Indonesia. Ketergantungan terhadap pendapatan yang mestinya bukan bisnis inti bank masih amat tinggi. Dalam hal pendapatan operasional, masih ada spread yang lebar antara bunga kredit dan bunga dana. Angka BOPO saat ini juga masih tergolong tinggi. n CAR adalah rasio modal dengan ATMR. Modal dimaksud terdiri dari Modal inti dan modal Pelengkap. Perkembangan CAR Bank Umum relatif stabil selama beberapa tahun ini, dan melebihi yang diwajibkan oleh BI. 155 kinerja operasionalnya dibanding meningkatkan permodalannya. Namun, pada waktu-waktu mendatang kecenderungan peningkatan konsentrasi akan semakin besar kembali. Salah satu pemicunya adalah berbagai ketentuan API yang menstimulan terjadinya merger antar bank. Dan dalam prakteknya, lebih mudah merger antara bank besar dengan bank kecil (akuisisi), dibandingkan merger antar bank kecil. Sekalipun untuk sementara kecenderungan makin terkonsentrasi sedikit melemah, pangsa lima bank terbesar secara individual dalam industri perbankan masih tetap jauh melampaui bank-bank lainnya. Selain menduduki peringkat teratas dalam hal aset, DPK maupun penyaluran kredit dari bank umum, porsinya pun berbeda jauh. Bank-bank tersebut adalah: PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia dan PT Bank Danamon Indonesia Tbk. Kelima bank itu hanya bertukar posisi pada masing-masing kategori. Dalam beberapa tahun terakhir, posisi beserta pangsanya tidak mengalami perubahan berarti. Mereka memiliki pangsa 50,36 % dari total aset, 52,52 % dari total DPK, dan 46,0 % kredit pada posisi Desember 2007. Dalam hal besarnya aset yang dimiliki rinciannya adalah: PT. Bank Mandiri Tbk memiliki Rp 306,6 triliun atau 15,43 % dari total bank umum; PT. Bank Central Asia Tbk memiliki Rp 218,6 triliun atau 11,01%; PT. Bank Rakyat Indonesia memiliki Rp 204,0 triliun atau 10,27 %; PT. Bank Negara Indonesia Tbk memiliki Rp 184,5 triliun atau 9,29 %; dan PT. Bank Danamon Indonesia Tbk memiliki Rp 86,7 triliun atau 4,36 %. Dalam hal perkembangan aset, kelima Bank terbesar di Indonesia hampir tidak mengalami perubahan posisi dalam lima tahun terakhir, kecuali pada tahun 2007 Bank BRI menyalip Bank BNI. Kelimanya mengalami pertumbuhan aset, namun dengan laju yang berbeda. Aset Bank Mandiri dan Bank BNI tumbuh dibawah rata-rata bank umum, sehingga pangsanya mengalami penurunan. Aset Bank 156 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya BCA tumbuh setara dengan rata-rata bank umum, sehingga pangsanya bertahan. Sedangkan Bank BRI dan Bank Danamon tumbuh lebih cepat, sehingga pangsanya relatif meningkat. Dalam hal kemampuan menghimpun dana masyarakat atau Dana Pihak Ketiga (DPK) rinciannya adalah: PT. Bank Mandiri Tbk berhasil menghimpun Rp 235,8 triliun atau sebesar 15,61 % dari total bank umum; PT. Bank Central Asia Tbk berhasil menghimpun Rp 189,2 triliun atau sebesar 12,52 %; PT. Bank Rakyat Indonesia berhasil menghimpun Rp 165,0 triliun atau sebesar 10,92 %; PT. Bank Negara Indonesia Tbk berhasil menghimpun Rp 145,6 triliun atau sebesar 9,63 %; PT. Bank Danamon Indonesia Tbk berhasil menghimpun Rp 58,1 triliun atau sebesar 3,84 %. Dalam hal perkembangan DPK, kelima Bank terbesar di Indonesia juga hampir tidak mengalami perubahan posisi dalam lima tahun terakhir, kecuali pada tahun 2007 Bank BRI menyalip Bank BNI. Kelimanya mengalami pertumbuhan DPK, namun dengan laju yang berbeda. Hanya Bank BRI yang mengalami pertumbuhan di atas ratarata bank umum, sehingga pangsanya terhadap total Bank mengalami peningkatan. Keempat bank lainnya hanya berhasil tumbuh di bawah rata-rata bank umum, sehingga pangsanya mengalami penurunan. Dalam hal penyaluran kredit, rinciannya adalah: PT. Bank Mandiri Tbk berhasil menyalurkan kredit sebesar Rp125,3 triliun atau 12,50 % dari total bank umum; PT. Bank Rakyat Indonesia berhasil menyalurkan kredit sebesar Rp114,4 triliun atau 11,41 % ; PT. Bank Negara Indonesia Tbk berhasil menyalurkan kredit sebesar Rp 87,8 triliun atau 8,76 %; PT. Bank Central Asia Tbk berhasil menyalurkan kredit sebesar Rp 82,5 triliun atau 8,23%; PT. Bank Danamon Indonesia Tbk berhasil menyalurkan kredit sebesar Rp 51,1 triliun atau 5,10 %. Dalam hal perkembangan Kredit, kelima Bank terbesar di Indonesia tidak mengalami perubahan posisi dalam lima tahun ter- 157 akhir. Kelimanya mengalami pertumbuhan Kredit, namun dengan laju yang berbeda. Hanya Bank BRI dan Bank BCA yang mengalami pertumbuhan di atas rata-rata bank umum, sehingga pangsa keduanya terhadap total Bank mengalami peningkatan. Ketiga bank lainnya hanya tumbuh di bawah rata-rata bank umum, sehingga pangsanya mengalami penurunan. Bank Mandiri terlihat paling rendah pertumbuhannya dalam menyalurkan kredit. Pada tahun 2007, Bank BNI sebenarnya mengalami laju pertumbuhan kredit yang lebih cepat daripada rata-rata bank umum, setelah selama beberapa tahun mengalami pertumbuhan yang lebih rendah. Kotak 3.6 6. Pangsa Kepemilikan Asing Kepemilikan asing pada perbankan nasional meningkat secara amat signifikan selama beberapa tahun terakhir. Pada akhir tahun 2007, porsinya kemungkinan besar telah malampaui angka psikologis sebesar 50 persen. Sementara, pangsa kepemilikan pemerintah diperkirakan hanya sekitar 35 persen. Kenaikan porsi kepemilikan asing dan penurunan porsi pemerintah tampaknya masih akan berlangsung pada tahun-tahun mendatang. Sebagai catatan, kepemilikan asing tersebut hanya sekitar 9 % pada saat menjelang krisis 1997. Sementara itu, kepemilikan pemerintah sempat lebih dari 70 % pada beberapa tahun setelah krisis. n Industri perbankan Indonesia menunjukkan perkembangan yang bersifat semakin terkonsentrasi, antara lain terlihat dari dominasi sepuluh bank terbesar dalam hal aset, DPK, dan kredit. n Meskipun sedikit berkurang dalam dua tahun terakhir, kecenderungan itu diperkirakan kembali meningkat pada waktu mendatang. Salah satu pemicunya adalah berbagai ketentuan API yang menstimulan terjadinya merger dan akuisisi. 158 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya Angka resmi kepemilikan asing itu memang hampir tidak pernah dipublikasikan oleh BI atau Pemerintah. Oleh karena sebagian saham masih terus berpindah tangan di bursa efek, maka angka pasti kepemilikan asing dalam industri perbankan Indonesia memang masih bisa berubah-ubah dalam waktu singkat. Hanya saja, kecenderungan utama adalah pembelian oleh pihak asing, bukan sebaliknya. Ada pula perpindahan tangan antar pihak asing. Pada awal tahun 2006, dalam laporan tahunannya, BI menyatakan jumlah bank yang dapat dikategorikan sebagai bank yang sahamnya dimiliki oleh pihak asing per Desember 2005 telah mencapai 37 bank dengan pangsa total aset mencapai 39,7 % terhadap industri perbankan. Laporan BI pada tahun-tahun berikutnya tidak menyebutkan lagi perkembangan angka semacam itu. Sumber lain yang sering dikutip adalah laporan Majalah InfoBank yang menyebutkan angka 44 % kepemilikan asing pada pertengahan tahun 2007. Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah sendiri sempat mengemukakan angka 48,51 persen, pada Februari 2006. Gubernur BI melihat fakta tersebut secara ”positif”, dengan mensikapinya sebagai tantangan bagi upaya peningkatkan efisiensi pelaku domestik, agar tetap dapat bersaing. Masalahnya, yang masih terus terjadi hingga kini adalah pelepasan saham sejumlah bank nasional kepada asing. Kurang jelas mengenai peningkatan efisiensi yang telah dicapai oleh perbankan domestik. Bahkan, para pemodal asing justeru ikut menikmati berbagai ”subsidi” terhadap sektor perbankan. Dominasi kepemilikan asing di sektor finansial (terutama perbankan) bisa berarti pula adanya tingkat kerawanan (kerentanan) dilihat dari perspektif perekonomian nasional. Stabilitas keuangan yang tercipta mungkin saja seketika terganggu jika ada suasana hubungan internasional memburuk. Bagi pihak yang amat kritis, dominasi tersebut memang dirancang untuk mengamankan pengendalian asing terhadap ekonomi Indonesia. Antara lain dengan 159 memudahkan pengalihan surplus ekonomi ke wilayah yang mereka kehendaki, mengefisienkan kegiatan-kegiatan modal asing di berbagai sektor lainnya, serta meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap modal asing. Kotak 3.7 7. Arah Kebijakan Perbankan Tadi kita sudah menyebut bahwa perbankan bisa dikatakan mendapat porsi terbesar dalam upaya reformasi ekonomi (termasuk dari segi dana yang disubsidi negara). Hingga kini, restrukturisasi perbankan masih berlangsung. Setelah program penyelamatan, pemberian posisi dan peran yang lebih dominan kepada BI, pengucuran dana, kemudian disosialisasikan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Basel II. Khusus mengenai peran BI, memang ada kontroversi. Ketika sebagian pihak menganggap BI harusnya tertuduh sebagai penyebab atau setidaknya yang memperparah krisis, BI justeru mendapat mandat yang lebih besar untuk pemulihan ekonomi. Sebagian peran itu memperoleh legitimasi baru menurut perundang-undangan, terutama berupa pengokohan independensi BI, serta kedudukannya sebagai otoritas moneter satu-satunya. Dilihat dari tolok ukur perundang-undangan, BI tampak telah menjalankan fungsinya dengan baik selama hampir satu dekade ini. Kepemilikan asing pada perbankan nasional terus meningkat, dan telah mencapai lebih dari 50 persen total bank umum, sedangkan kepemilikan pemerintah cenderung semakin turun (hanya sekitar 35 persen). Dominasi ini dikhawatirkan menimbulkan kerawanan (kerentanan) tertentu terkait hubungan ekonomi politik internasional, terutama dilihat dari perspektif kemandirian negara. 160 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya Terutama sekali dalam menjaga stabilitas keuangan dan stabilitas moneter, serta memulihkan kepercayaan atas perbankan nasional. Namun, jika dikaitkan dengan fakta perekonomian secara keseluruhan, maka kinerja BI masih dipertanyakan. Pelaksanaan fungsi dan tugas BI dimaksudkan agar perekonomian bisa berkembang dengan optimal. Optimalitas tersebut mesti diukur dengan seluruh parameter makroekonomi, dimana inflasi hanya salah satu diantaranya. Parameter utama makroekonomi lainnya adalah pertumbuhan output dan penciptaan kesempatan kerja. Bahkan, kondisi mikroekonomi perlu diperhatikan serius, karena menyangkut pemerataan dan keadilan sosial, serta merupakan fundamental perekonomian untuk jangka panjang. Perlunya BI yang independen memang masih sulit dibantah. Argumen itu menjadi lebih kuat lagi jika informasi tentang langkahlangkah BI menjelang krisis dahulu adalah benar. Bisa dikatakan bahwa campur tangan berlebih dari pemerintah terbukti berakibat fatal. Namun, pertanyaannya adalah seberapa independen dan terhadap siapa? Sifat independen mestinya bukan berarti tanpa ukuran yang terkait kepentingan seluruh bangsa. Apalagi jika independensi yang berlebihan justeru memungkinkan oknum pejabat BI mengedepankan kepentingannya sendiri, yang bernuansa moral hazard. Berbagai kasus yang menimpa para petinggi BI juga mengisyaratkan kelemahan konsep dan pelaksanaan sifat independen BI. Terutama jika ada ”permainan politik” di dalamnya. Perlu difahami bahwa beberapa kecenderungan yang terjadi dalam perbankan Indonesia selama beberapa tahun terakhir bisa dikatakan memang “diarahkan” demikian oleh Bank Indonesia dan pemerintah. Salah satu arahan yang utama adalah berupa implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) mulai awal Januari 2004. Pada 9 Januari 2004, siaran pers Bank Indonesia mengumumkan secara resmi implementasi API. Sebelumnya, selama sekitar setahun 161 sejak BI melansir rencana tersebut, pembicaraan mengenai API berlangsung cukup intensif di lingkungan pelaku industri perbankan. Setelah mendapat tanggapan dari berbagai pihak, BI menyelesaikan penyusunan cetak biru API pada tahun 2003. BI memutuskan implementasinya secara bertahap, mulai tahun 2004 untuk jangka waktu lima sampai dengan sepuluh tahun kemudian. BI mengatakan bahwa API dirancang sebagai rekomendasi kebijakan (policy recommendation) bagi industri perbankan nasional dalam menghadapi segala perubahan yang terjadi di masa mendatang, sekaligus menjadi arah kebijakan (policy direction) yang harus ditempuh oleh perbankan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Dengan kata lain, API merupakan suatu blueprint mengenai tatanan industri perbankan ke depan. Isi dokumennya menyangkut hampir semua aspek yang berhubungan dengan perbankan, seperti : kelembagaan, struktur, pengawasan, pengaturan dan lembaga penunjang lainnya. Perlu diakui bahwa pada dasarnya implementasi API di Indonesia amat dipengaruhi oleh wacana internasional dalam topik tersebut. Wacana dimaksud adalah tentang implementasi arsitektur keuangan global yang diprakarsai oleh Bank for International Settlements (BIS). BIS adalah organisasi internasional yang memprakarsai dan memfasilitasi kerjasama antara bank sentral berbagai negara ditambah dengan beberapa organisasi keuangan internasional. Wacana arsitektur keuangan global itu sendiri mulai berkembang sejak tahun 1998. Ada keinginan kuat agar kestabilan keuangan global bisa dipelihara secara berkesinambungan, yang antara lain dipicu oleh pelajaran berharga pada masa krisis di kawasan Asia Tenggara di masa lalu. Krisis perbankan di Asia Tenggara tersebut ternyata juga merepotkan negara-negara dan lembaga pemberi pinjaman (kreditur) pada masa itu. Oleh karenanya, BIS mempublikasikan secara gencar akan pentingnya perhatian serius terhadap kestabilan keuangan melalui program arsitektur keuangan global. 162 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya Meskipun demikian, perlunya banking landscape bagi perbankan Indonesia sebenarnya masih dapat diperdebatkan untung ruginya oleh semua pihak. Terutama oleh kalangan perbankan yang harus menyesuaikan diri dengan ketentuan yang sebagian besarnya bersifat mengikat secara hukum (memaksa). Salah satu argumen pokok bagi yang kurang setuju adalah berkenaan dengan dibatasinya ”kekuatan pasar” dalam menentukan struktur perbankan yang ideal dan dianggap efisien bagi perekonomian. Sekitar tiga tahun kemudian sejak diumumkannya API sebagai blueprint perbankan nasional, BI mensosialisasikan rencana implementasi Basel II. Basel II adalah suatu panduan atau best practices, yang berisi pengaturan permodalan bagi bank-bank. Jika API lebih menekankan kepada bangunan perbankan nasional yang ingin diwujudkan, maka Basel II adalah satu bagian kerangka aturan (khususnya mengenai permodalan) dalam proses pembangunan tersebut. Arti pentingnya pengaturan terhadap permodalan bagi suatu bank mudah difahami mengingat Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Jika suatu bank mengalami kegagalan, dampak yang ditimbulkan akan dapat meluas mempengaruhi nasabah dan lembaga-lembaga yang menyimpan dananya atau menginvestasikan modalnya di bank. Jika bank itu berskala operasi yang cukup besar, akan berpotensi menciptakan dampak ikutan secara nasional (domestik), bahkan bisa mempengaruhi pasar internasional. Dengan kata lain, peraturan mengenai permodalan bank yang berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian, sehingga kepercayaan nasabah terhadap aktivitas perbankan tetap dapat dipelihara. Sebagaimana API, wacana Basel II juga dipromosikan oleh BIS. Urgensi soal permodalan bagi perbankan, membuat BIS memiliki 163 komite khusus yang selalu memantau dan menganalisis perkembangannya di seluruh dunia secara terus menerus. Komite itu dikenal sebagai Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) atau Komite Basel, yang antara lain merumuskan dan mensosialisasikan berbagai panduan atau best practices perbankan, terutama yang dinilai harus dijalankan oleh bank sentral. API dan Basel II pada umumnya diakui sebagai suatu konsep yang baik oleh banyak pihak, termasuk kalangan perbankan. Mereka bisa menerima tujuan konsep agar terwujud bangunan yang kuat, serta mekanisme perbankan yang menjamin stabilitas keuangan namun tetap memberi peluang tumbuh bagi setiap bank. Yang kemudian dipermasalahkan dari kedua konsep itu adalah detil aturan, tahap-tahap serta waktu pelaksanaannya. Sebagai contoh, penerapan Basel II berpotensi menambah parah permasalahan tidak optimalnya fungsi intermediasi perbankan yang telah disinggung di atas. Tatkala yang lebih dibutuhkan adalah upaya keras perbankan untuk lebih mendorong investasi di sektor riil, yang ditekankan justeru aspek kehati-hatian (manajemen risiko). Padahal tadi sudah kita katakan bahwa perbankan saat ini memiliki daya tahan dan aspek kehati-hatian yang cukup baik. Bukannya kondisi itu tidak perlu ditingkatkan (antara lain dengan penerapan Basel II), namun mustinya yang menjadi prioritas adalah optimalisasi fungsi intermediasi. Argumen BI dalam hal ini memang berperspektif jangka panjang, dimana diyakini Basel II pada akhirnya akan memperbaiki fungsi intermediasi. Nantinya, kemampuan perbankan dalam menilai risiko akan semakin membaik sehingga menjadi lebih ”berani” dalam penyaluran kredit. Asumsi semacam ini jelas masih perlu dibuktikan, mengingat negara-negara lain pun baru memulai penerapan yang serupa. Sementara itu, masalah jangka pendek dan menengah perekonomian Indonesia sudah bersifat menekan agar perbankan menjadi motor 164 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya penggerak yang utama. Kelesuan ekonomi mungkin akan menghadang di tahun-tahun mendatang, dan pada gilirannya akan bisa membawa kepada kondisi pengangguran disertai dengan inflasi yang tinggi (stagflasi). Inflasi karena tidak memadainya ketersediaan barang, yang tidak mampu lagi diatasi dengan kebijakan moneter ketat. Selain itu, banyak kalangan yang meragukan dan menilai kekurangsiapan perbankan Indonesia untuk menerapkan Basel II, termasuk dalam versi tahapan yang direncanakan oleh BI. Sebagai contoh, Ikatan Auditor Perbankan Indonesia (IAPI) pada bulan April 2008 mengatakan bahwa Perbankan di Indonesia belum siap untuk mengaplikasikan penerapan Basel II atau aturan baru dalam standarisasi operasional Bank secara Internasional. IAPI menilai secara umum bank di Indonesia belum siap dalam melakukan tata kelola terhadap resiko operasional (operational risk), sehingga tidak menutup kemungkinan akibat resiko operasional beberapa bank akan bangkrut. Diungkapkan lebih lanjut, selama ini potensi kerugian bank dari resiko operasional sangat besar, yang salah satunya adalah penerapan dalam teknologi informasi. Risko terkait teknologi informasi ini menyangkut antara lain keamanan data dan masalah kehandalannya melayani nasabah. Masalah lain yang bisa mengurangi arti positif penerapan Basel II adalah soal kuantitas dan kualitas SDM yang dimiliki oleh BI untuk pengawasan. Salah satu indikasinya adalah kasus pembobolan bank yang masih sering terjadi, meskipun kesalahan tidak bisa ditimpakan sepenuhnya kepada BI. Mustinya, dengan pengawasan yang lebih baik dari BI, risiko seperti itu akan lebih bisa diantisipasi. BI memang telah berupaya meningkatkan pelaksanaan program sertifikasi untuk para karyawannya yang menjadi pengawas atau pemeriksa perbankan. Program itu diintensifkan agar kompetensi para pengawas BI meningkat, termasuk dalam soal penerapan Basel II dan implementasi pilar ketiga API. Bagaimanapun, masalah SDM dalam hal ini masih terlihat rawan. 165 Terkait dengan itu semua, pihak yang amat kritis curiga ada yang kurang beres dalam ketergesaan BI menerapkan Basel II. Diantaranya adalah soal tekanan pihak asing, seperti: lembaga keuangan internasional, pemilik modal asing, dan para kreditur asing. Keuntungannya bagi mereka adalah pengamanan bagi operasionalnya di seluruh dunia, serta kemudahan untuk menjadi pemain dominan di Indonesia. Selain itu, ada kecurigaan mengenai serta soal ”proyek” baru bagi sekelompok oknum di Indonesia. Misalnya diindikasikan oleh seluk beluk program sertifikasi dan atau pelatihan terkait Basel II, yang selain berpotensi keuntungan ekonomis secara langsung, akan bisa membentuk kelompok elit baru dalam pengelolaan perbankan. Sebagai kesimpulan tentang perbankan Indonesia dapat dikatakan bahwa industri ini memang dirancang sepenuhnya untuk mendukung seluruh penalaran (cara berfikir) arus utama ilmu ekonomi yang disinggung sebelumnya dan akan semakin diperjelas di bagian berikutnya. Kecenderungan perbankan untuk semakin terkonsentrasi dan dikuasai oleh segelintir pemilik modal besar (yang bersifat internasional) memang direncanakan dengan sistematis, disertai argumen-argumen ekonomis yang tampak meyakinkan. Kotak 3.8 n API merupakan blueprint mengenai tatanan industri perbankan yang diinginkan oleh BI. API juga bersifat policy direction, sekaligus action plans, yang isinya menyangkut hampir semua aspek dasar perbankan seperti: kelembagaan, struktur, pengawasan, pengaturan dan lembaga penunjang lainnya. n Implementasi API di Indonesia seiring dengan wacana arsitektur keuangan global yang diprakarsai oleh Bank for Internasional Settlemen (BIS), yang diaku sebagai pelajaran dari krisis di kawasan Asia Tenggara. n Basel II adalah suatu panduan atau best practices, yang berisi pengaturan permodalan bagi suatu Bank. Wacana Basel II dipromosikan oleh Komite Basel dari BIS. 166 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya B. Tidak Optimalnya Hasil Migas Indonesia tercatat sebagai negara yang kandungan minyaknya paling awal dieksploitasi secara komersial (sejak tahun 1885), bahkan lebih dahulu dari kebanyakan negara di Timur Tengah. Indonesia juga menjadi saksi sejarah perkembangan awal Royal Dutch (Shell), perusahaan yang kemudian tumbuh menjadi raksasa minyak di dunia. Wilayah Indonesia adalah sumber awal surplus ekonomi yang menyapih bayi (perusahaan) raksasa tersebut di penghujung abad ke 19, dengan persediaan makanan dari ladang sumur minyak yang tersedia. Antara lain di ladang minyak Telaga Tiga dan Telaga Said dekat Pangkalan Berandan, Sumatera Utara. Disana juga dibangun sebuah pabrik pengolahan (kilang) minyak dan fasilitas perkapalan di sekitar Pangkalan Susu (1892). Akan tetapi cerita yang paling spektakuler dari soal minyak justeru terjadi di era Soeharto, yaitu dengan peran sebagai sumber dana berlimpah bagi program ekonomi dan politik pemerintahannya. Rezeki nomplok (windfall profit) dari oil boom diperoleh karena kombinasi dari faktor-faktor seperti kenaikan harga minyak yang fantastis selama beberapa kali di era 70-an dan 80-an, ken Ada tiga aktivitas utama penerapan Basel II yaitu: pelaksanaan pengawasan yang efektif, disiplin pasar yang konsisten serta operasional bank berdasarkan prinsip kehati-hatian. Hal ini tercermin oleh ketiga pilarnya, yaitu: Minimum Capital Requirements, Supervisory Review Process dan Market Discipline. n Keberatan utama dalam hal penerapan API dan Basel II adalah pada soal tahap dan waktunya. Kebutuhan mengoptimalkan fungsi intermediasi pada saat ini akan berlawanan dengan misi kehatihatian yang menjadi semangatnya n Ada kecurigaan mengenai tekanan pihak asing dalam penerapan API dan Basel II, serta adanya keuntungan bagi oknum tertentu 167 anggotaan Indonesia dalam OPEC, dan kesediaan rezim untuk berbagi hasil dengan perusahaan minyak asing. Penerimaan negara secara langsung dari minyak menjadi berlipat ganda, ditambah dengan cadangan devisa yang terus tersedia dari hasil ekspor minyak. Perusahaan minyak asing pun tidak segan-segan menambah modal kerjanya secara besar-besaran masuk ke Indonesia. Dampak tidak langsung yang bersifat lebih besar adalah kesediaan banyak negara dan perusahaan asing memberi piutang, serta melakukan penanaman modal secara langsung ke berbagai sektor di Indonesia. Fenomena boom minyak seolah menjadi semacam jaminan bagi modal yang mereka tanamkan di wilayah Indonesia ataupun yang diutangkan kepada pemerintah Indonesia. Sebagian dari proyek asing tersebut memang berfungsi memperlancar operasi industri minyak di Indonesia, misalnya berkaitan dengan infrastruktur fisik (jalan, telekomunikasi, pembangkit listrik) dan non fisik (ketersediaan tenaga kerja yang dibutuhkan, kelancaran mekanisme perdagangan luar negeri dan modernisasi perbankan). Jika cerita berhenti sampai disitu, maka kita bisa membayangkan suatu negara dengan perekonomian yang tumbuh pesat, kemudian rakyat yang menjadi semakin makmur dan sejahtera. Dalam penalaran sederhana, yang terjadi mestinya kurang lebih sebagai berikut: uang minyak secara berlimpah masuk ke kas negara, membuat pemerintah bisa menjalankan banyak program untuk kesejahteraan rakyat; dengan cadangan devisa sangat besar, maka Indonesia bisa membeli barang-barang modal atau bahan baku yang dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi; dengan masuknya investasi asing, akan terbuka lapangan kerja yang luas dan kesempatan untuk transfer teknologi demi kemajuan bangsa di kemudian hari; dengan utang luar negeri, kita bisa memulai proyekproyek besar kita sendiri yang hasil nantinya tidak hanya bisa 168 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya dipakai untuk melunasi utang tetapi menyediakan generasi berikut suatu infrastruktur produksi yang andal; dengan perbaikan dunia pendidikan tinggi yang meskipun awalnya terkait dengan kebutuhan perusahaan (modal) asing, pada akhirnya tetap akan bermanfaat bagi bangsa sendiri; dengan kelancaran mekanisme perdagangan internasional dan modernisasi perbankan, bisa dikembangkan komoditi ekspor unggulan, dan lain sebagainya. Kenyataan yang terjadi pada awalnya memang berkesan amat menjanjikan dan alur cerita seolah-olah akan sesuai dengan skenario di atas. Perekonomian Indonesia tumbuh pesat, yang dalam ukuran ilmu ekonomi (terutama makroekonomi) terhitung sangat fantastis. Laju pertumbuhan ekonomi sangat tinggi melampaui rata-rata kebanyakan negara; investasi besar-besaran berlangsung di berbagai sektor; inflasi umumnya bisa dikendalikan; neraca pembayaran dan cadangan devisa dalam posisi yang relatif aman; dan pengangguran perlahan-lahan bisa ditekan. Selain itu, fenomena Indonesia di era 70- an dan 80-an biasa dijadikan contoh kasus buku ajar (text book) sebagai contoh keberhasilan suatu negara miskin dalam membangun perekonomiannya, sehingga banyak mendapat pujian para ekonom dan lembaga ekonomi internasional terkemuka. Di masa itu, pemerintah Indonesia dinilai berhasil memaksimalkan rezeki oil boom bagi perkembangan perekonomian secara keseluruhan. Keadaan kemudian berubah secara drastis hanya dalam waktu setahun, mulai pertengahan tahun 1997 hingga tahun 1998, angka-angka indikator makroekonomi berbalik menjadi amat buruk. Nilai tukar rupiah merosot sangat tajam, pertumbuhan ekonomi menjadi negatif, inflasi sangat tinggi, neraca pembayaran mengalami defisit yang besar, serta cadangan devisa terkuras hampir habis. Segala prestasi mengagumkan selama 30 tahun, sepertinya sirna begitu saja. Keadaan itu biasa disebut krisis, krisis moneter sekaligus krisis ekonomi. 169 Setelah krisis, sumbangan migas bagi penerimaan Negara secara relatif (porsinya) memang menurun. Namun, masih tetap amat besar dan diandalkan. Akan tetapi ada banyak fakta yang mencengangkan dan memerlukan analisa kritis karena bisa ditampilkan dengan berbagai sisi dan dalam sudut pandang banyak kepentingan. Salah satu yang paling serius sekaligus kontroversial adalah pernyataan pemerintah bahwa pada dasarnya Indonesia adalah net importir migas dalam beberapa tahun terakhir. Volume dan nilai (harus dibedakan secara kritis) Ekspor kita lebih kecil daripada Impornya. Produksi migas pun lebih kecil daripada konsumsinya. Seiring dengan itu, para perencana dan penyusun anggaran pemerintah mengopinikan bahwa kenaikan harga minyak saat ini justeru membebani APBN. Ini merupakan hal yang berkebalikan dengan keadaan pada satu-dua dasawarsa lalu. Pihak kementerian ESDM dengan dukungan penuh dari presiden berulangkali menegaskan perlunya harga keekonomian bagi migas. Arti harga keekonomian bagi orang awam adalah mereka harus membayar harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar nominal yang setara dengan para pemakai di Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Belakangan, pendirian ini disepakati oleh DPR melalui berbagai Undang-Undang. 1. Peran Migas dalam Perekonomian Indonesia Saat Ini Peran migas yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia di era rezim Soeharto telah sedikit kita singgung di atas, terutama sekali sebagai akibat dari oil boom yang terjadi beberapa kali. Sekalipun mengalami kemerosotan, peran migas masih sangat besar di era Reformasi. Peran tersebut dapat ditelusuri antara lain melalui analisa angka-angka makro ekonomi, seperti: Produk Domestik Bruto (PDB), penerimaan negara, dan penyediaan cadangan devisa melalui 170 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya surplus perdagangan internasional. Kontribusi migas juga bisa diamati melalui keterkaitannya dengan sektor ekonomi yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sekalipun pangsanya sudah sangat menurun dibanding masa lampau, migas masih menyumbang sebesar Rp 416,5 triliun atau sebesar 10,58 % dari PDB harga berlaku pada tahun 2007 (Rp 3.957,4 triliun). Kontribusi migas itu terdiri dari Pertambangan Migas (Rp 234,2 triliun) sebagai subsektor pertambangan, dan industri migas (Rp182,3 triliun) sebagai sektor industri pengolahan. Dalam hal industri migas, antara lain karena adanya kilang minyak yang menghasilkan BBM dan produk kilang lainnya, serta kilang gas dengan produknya pula. Perkembangannya dalam enam tahun terakhir dapat dilihat pada tabel 3.7. Nilai nominalnya cenderung naik, meskipun pangsanya sedikit menurun pada tahun 2006 dan 2007. Sementara itu, sumbangannya bagi pertumbuhan ekonomi sudah terhitung negatif. Pertumbuhan ekonomi memang bersifat mengukur perubahan riil produksi tahun yang bersangkutan dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam hal subsektor pertambangan dan subsektor industri migas, yang terjadi adalah penurunan produksi. Tabel 3.7 Migas dalam Produk Domestik Bruto menurut harga berlaku (Rp milyar) Sumber BPS, diolah Dalam hal penerimaan negara yang tercatat dalam realisasi APBN, migas telah memberi kontribusi sangat besar selama lebih dari tiga puluh tahun. Bahkan, pangsanya menempati posisi terbesar. 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Pertambangan Migas Industri migas 93.092,0 69.660,0 95.152,1 100.344,9 118.484,9 94.263,4 177.605,9 138.440,9 200.081,6 172.094,9 234.157,5 182.296,3 Migas PDB Pangsa (%) 162.752,0 1.863.274,7 8,74 195.497,0 2.036.351,9 9,60 212.748,3 2.295.862,2 9,27 316.046,8 2.774.281,1 11,39 372.176,5 3.339.479,6 11,14 416.453,8 3.957.403,9 10,58 171 Angkanya sempat mencapai 70,6 persen dari total penerimaan, meskipun kemudian menurun dalam sepuluh tahun terakhir, sampai akhirnya menjadi sekitar 25 persen. Selama ini, terlihat jelas bahwa penerimaan migas menjadi sumber utama pembiayaan anggaran pemerintah, sekaligus pembiayaan pembangunan ekonomi. Penerimaan migas terdiri dari penerimaan Sumber Daya Alam (termasuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan Penerimaan Pajak dari Migas (PPN dan PPH). Khusus penerimaan dari PPh Migas dan perimaan SDA Migas pada tahun 2006 mencapai Rp 168.788 miliar atau sekitar 23,82 % dari total penerimaan Dalam Negeri. Meskipun nilai nominal dan pangsanya itu menurun dibandingkan tahun 2006, namun tetap terhitung sangat besar. Bahkan kita dapat melihat bahwa selama tiga tahun sebelumnya pangsa migas dalam penerimaan negara kembali meningkat, terutama sekali dikarenakan kenaikan harga yang amat signifikan (lihat tabel 3.8). Hal itu terutama sekali dikarenakan kenaikan harga yang amat signifikan. Pada tahun-tahun sebelum tahun 2004, kecenderungan yang terjadi adalah penurunan. Tabel 3.8 Penerimaan Migas dalam Realisasi APBN (Rp miliar) Sumber: Depkeu RI, diolah Data realisasi APBN untuk kurun waktu sampai dengan puluhan tahun memperlihatkan bahwa sektor migas telah memberi kontribusi sangat besar dalam penerimaan negara (lihat tabel lampiran). Sektor ini sempat mencapai 70,6 persen dari total penerimaan, dan sudah sekian lama merupakan pos penerimaan terbesar. 2002 2003 2004 2005 2006 2007 PPh Migas Penerimaan SDA (Migas) Total PPh & SDA (migas) 17.469 60.011 77.480 19.723 61.502 81.225 20.494 91.543 112.037 35.140 103.788 138.928 43.190 158.087 201.277 44.004 124.784 168.788 Penerimaan Dalam Negeri Pangsa PPh & SDA (migas) 298.528 25,95 % 340.929 23,83% 403.366 27,78% 495.154 28,06% 637.928 31,56% 708.494 23,82% 172 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya Kontribusinya dalam ukuran persentase dari total penerimaan memang menurun, menjadi sekitar 25 persen dalam sepuluh tahun terakhir ini. Namun, secara nominal tetap merupakan pos penerimaan yang sangat besar (lebih dari 100 trilyun). Terlihat jelas bahwa penerimaan migas telah menjadi sumber utama pembiayaan anggaran pemerintah, sekaligus pembiayaan pembangunan ekonomi selama ini. Sebenarnya, kontribusi migas dalam penerimaan negara juga harus memperhitungkan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terkait sektor Migas dan PNBP dari bagian laba BUMN yang terkait Migas (seperti Pertamina dan PGN). Data PPN terkait sektor Migas kurang terpublikasikan (termasuk ke dalam PPN secara total), namun diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Sedangkan laba BUMN yang bergerak di sektor Migas menyetor sekitar Rp 15 triliun pada tahun 2006. Peran penting migas berikutnya adalah dalam neraca perdagangan Indonesia. Ekspor migas menjadi primadona sampai sekarang. Neraca perdagangan migas selalu surplus, dan berfungsi mengamankan cadangan devisa. Sektor migas juga menjadi “daya tarik” masuknya bantuan asing dan penanaman modal asing, sehingga “memperkuat” neraca modal dan neraca pembayaran. Akan tetapi kecenderungan penurunan kemudian terjadi. Sementara nilai bersih total perdagangan (trade balance) Indonesia menunjukkan peningkatan sejak tahun 1998, nilai bersih total perdagangan migas justeru cenderung mengalami penurunan. Ini berarti sumbangan komoditas migas dalam menghasilkan devisa semakin menurun. Akibat kenaikan harga migas, total nilai ekspor memang cenderung meningkat, namun diimbangi (bahkan dilampaui) oleh pertumbuhan total nilai impor. Bagaimanapun, nilai perdagangan migas masih sempat surplus sampai dengan tahun 2007, dimana nilai ekspor melebihi nilai impor. 173 Tabel 3.9 Neraca Perdagangan Migas (juta dolar) Sumber: Bank Indonesia, diolah Keadaan menjadi lebih buruk jika kita memasukkan perhitungan neraca jasa terkait migas. Neraca migas selalu defisit karena kita lebih banyak menggunakan jasa pihak asing dibandingkan sebaliknya. Yang paling besar adalah biaya angkut dan asuransi yang harus dibayar kepada perusahaan asing. Akibatnya, transaksi berjalan (current account) migas kita mulai defisit dalam beberapa tahun terakhir. Di masa lampau, defisit neraca jasa migas masih bisa dikompensasi oleh surplus neraca perdagangan migas yang masih besar. Secara logis, pangsa ekspor migas terhadap total ekspor menunjukkan trend penurunan. Sedangkan pangsa impor migas terhadap total impor cenderung mengalami peningkatan. Sejak tahun 2003 sampai dengan 2005, pangsa impor migas terhadap total impor mengalami peningkatan melebihi pangsa ekspor migas terhadap total ekspor. Sedikit menurun pada tahun 2006, dan meningkat kembali pada tahun 2007. Bagaimana pun, peran sektor migas tidak cukup hanya dilihat dalam beberapa tahun terakhir, mengingat sumbangannya yang begitu besar di masa lampau. Di masa lalu, sektor migas menjadi “daya tarik” masuknya bantuan asing dan penanaman modal asing. Artinya, sumbangan tidak langsungnya juga besar terhadap neraca pembayaran, khususnya bagi neraca modal. Pada saat ini pun, modal asing yang masuk (menambah devisa) ke sektor migas masih terhitung sangat besar. 2004 2005 2006 2007 Ekspor, fob Impor, fob surplus 16.285 -11.159 5.126 20.243 -16.030 4.213 22.950 -16.165 6.785 24.872 -18.836 6.036 174 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya Kotak 3.9 2. Soal Kontrak Bagi Hasil Sebagaimana diakui dalam hampir semua buku referensi ekonomi perminyakan, Indonesia adalah pelopor kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC). Memang ada beberapa yang menyebut konsep ini sebetulnya berasal atau juga dikenal di Bolivia maupun Venezuela. Akan tetapi, pelaksanaan PSC secara serius dipelopori oleh Indonesia. Begitu pula dengan pengembangan lebih lanjut dari konsep ini pada awalnya dilakukan oleh Indonesia. Indonesia pula yang juga aktif mempromosikannya dalam forum-forum internasional sehingga menjadi konsep paling populer hingga saat ini. PSC di Indonesia sudah dikenalkan sejak tahun 1960. Namun, kontrak yang signifikan berdasar konsep ini baru ditandatangani pada tahun 1966 dengan IIAPCO, suatu konsorsium dari Amerika Serikat. Era ini biasa disebut sebagai PSC generasi pertama di Indonesia. Generasi kedua diperkenalkan pada tahun 1976, terutama terkait dengan adanya kenaikan harga minyak dunia secara sangat signifikan. Sedangkan generasi ketiga diperkenalkan pada tahun 1988, yang dianggap meningkatkan fleksibilitas kontrak, terkait dengan fluktuasi harga minyak dan meningginya berbagai risiko industri perminyakan. n Migas berperan sebagai sumber dana berlimpah bagi program ekonomi dan politik pemerintahan Soeharto. Rezeki nomplok dari oil boom diperoleh karena kombinasi dari faktor-faktor seperti kenaikan harga minyak yang fantastis selama beberapa kali di era 70-an dan 80-an, keanggotaan Indonesia dalam OPEC, dan kesediaan rezim untuk berbagi hasil dengan perusahaan minyak asing. n Sekalipun mengalami kemerosotan, peran migas masih sangat besar di era Reformasi. Peran tersebut dapat ditelusuri antara lain melalui analisa angka-angka makro ekonomi, seperti: Produk Domestik Bruto (PDB), penerimaan negara, dan penyediaan cadangan devisa melalui surplus perdagangan internasional. Selain itu, ada keterkaitannya dengan sektor ekonomi yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. 175 Secara teoritis, PSC adalah kontrak antara kontraktor dengan host country dimana kontraktor menanggung segala risiko dan biaya untuk eksplorasi, pengembangan dan produksi. Jika eksplorasi memperoleh hasil, maka kontraktor mendapat kesempatan untuk mendapat ganti biayanya (cost recovery), kadang dengan batasan atau persyaratan tertentu. Kontraktor juga memperoleh bagian hasil setelah perhitungan biaya, sesuai dengan kesepakatan. Dalam praktiknya, ada banyak ragam dari PSC, yang berbeda antar negara, bahkan antar setiap kasus kontrak. Di Indonesia pun dikenal tiga generasi PSC. Dan jika dicermati, PSC generasi ketiga yang masih berlangsung hingga kini sebenarnya tidak seragam. Variasi itu antara lain diindikasikan oleh berbagai paket insentif yang telah dikeluarkan. Prinsip PSC generasi pertama yang penting antara lain adalah: pembatasan Cost Recovery sebesar 40 % dari total pendapatan per tahun; pembagian pendapatan setelah memperhitungkan Cost Recovery adalah 65 % Pertamina (pemerintah) dan 35 % (dimana pajak Kontraktor sudah termasuk dalam bagian Pemerintah); kontraktor diwajibkan memasok 25 % dari bagian produksinya untuk keperluan DMO dengan harga USD 0.20/barrel. Dengan prinsip itu, porsi pemerintah menjadi relatif konstan sekitar 44% (sudah memperhitungkan cost recovery, bagian pemerintah dan DMO) dari produksi per tahun. Wajar jika ketika harga minyak melonjak drastis pada tahun 1973, maka pemerintah berupaya meningkatkan porsinya, seperti melakukan pengaturan fiskal berupa pajak progresif terhadap “windfall profit” yang diperoleh Kontraktor. Pada awal tahun 1974 juga dikeluarkan amandemen PSC, antara lain: bagian Kontraktor dihargai dengan 5 dolar per barrel sebagai dasar perhitugan (dengan eskalasi secara proportional terhadap kenaikan harga minyak). 176 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya Pada PSC generasi pertama, aspek detil perpajakan masih belum jelas pengaturannya, meskipun bagian dalam 65 % bagian Pemerintah dianggap sudah termasuk pajak yang dibayar oleh Kontraktor. Sebagian penyesuaian (dalam generasi kedua) dilakukan untuk mengakomodasi perubahan yang terjadi di negara asal Kontraktor yang tidak mengakui pajak penghasilan Kontraktor di Indonesia. Ada beberapa modifikasi agar Kontraktor bisa memanfaatkan fasilitas “tax credit” di negara asalnya. Perubahan penting yang dilakukan pada PSC generasi kedua ini antara lain adalah: tidak ada pembatasan Cost recovery dan dihitung berdasarkan Generally Accepted Acounting principle; pembagian pendapatan setelah perhitungan Cost Recovery adalah 65,91 : 34.09 (minyak) dan 31.82 : 68.18 (gas); bagian Kontraktor akan dikenakan pajak total sebesar 56 % (terdiri dari 45 % pajak pendapatan dan 20% pajak dividen), dengan demikian pembagian bersih setelah pajak adalah : 85 : 15 (minyak) dan 70 : 30 (gas). Ketika ada perubahan pajak, misalnya pada tahun 1984 yang mengakibatkan total pajak turun dari 56 % menjadi 48 %, maka ada sedikit modifikasi. Untuk mempertahankan pembagian 85:15 (minyak), pembagian produksi sebelum kena pajak diubah menjadi : 71,15 : 28,85. Sedangkan untuk gas menjadi 42,31: 57,69. Dengan demikian, Kontraktor bisa meminta cost recovery yang maksimal di tahun awal, yang menguntungkan bagi arus kasnya. Bagi kontraktor, PSC generasi kedua secara umum lebih baik daripada sebelumnya. Bagi Indonesia, PSC generasi kedua memang diharapkan menjadi daya tarik lebih agar investor asing masuk. Selain itu, ada tambahan aturan lain: untuk lapangan baru, Kontraktor diberikan kredit investasi sebesar 20 % dari pengeluaran kapital untuk fasilitas produksi; dan pengeluaran kapital dapat didepresiasi selama 7 tahun dengan metoda Double Declining Balance (DDB). Resesi ekonomi dunia pada tahun 1980-an mengakibatkan penurunan permintaan minyak mentah, pasar minyak berubah dari 177 “seller market” menjadi “buyer market” yang ditandai dengan menurunnya harga minyak. Investor mulai menurunkan aktivitas eksplorasi minyak selama periode tersebut, sementara itu biaya produksi meningkat akibat inflasi. Situasi ini diperburuk oleh kenyataan bahwa lapangan minyak yang berproduksi sudah mulai tua dan produksinya mulai menurun sehingga perlu perawatan yang lebih intensif. Kondisi buruk ini mencapai puncaknya ketika harga minyak tiba tiba anjlok dibawah USD 20 per barrel. Pemerintah bersama Kontraktor mengidentifikasi beberapa masalah, seperti: soal kriteria komersialitas yang ditetapkan Pemerintah untuk pengembangan lapangan baru yang menimbulkan masalah untuk pengembangan lapangan marginal; anjloknya harga minyak ketika itu hampir bersamaan dengan mulai menurunnya produksi beberapa lapangan minyak, sehingga bisa terjadi produksi hanya habis untuk menutupi Cost Recovery; banyak kontrak PSC akan berakhir dalam pada tahun 1990-an, sehingga para Kontraktor telah mulai mengajukan perpanjangan kontrak dan membutuhkan jaminan kepastian pengembalian investasi dan keuntungan dari kegiatan eksplorasi maupun dari proyek Secondary Recovery. Khusus untuk menjamin tetap adanya pendapatan bagi Pemerintah, maka dalam generasi ketiga diperkenalkan istilah First Tranche Petroleum (FTP). FTP besarnya 20 %, yang 20 % dari produksi (sebelum dikurangi Cost Recovery) akan dibagi terlebih dahulu antara Pemerintah dan Kontraktor. PSC generasi ketiga juga memperkenalkan berbagai paket insentif yang terutama untuk mengakomodasi kepentingan kontraktor. Pemerintah tentu berkepentingan dengan keberlanjutan sekaligus ketertarikan para kontraktor (calon). Hal ini khususnya untuk proyek yang mempunyai resiko yang relatif lebih tinggi, baik dari segi resiko geologis maupun resiko geografis. Diharapkan, proyek yang sebelum- 178 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya nya tidak ekonomis menjadi layak dikembangkan secara komersial. Pemberian insentif ini terkait pula dengan persaingan antar negara yang memiliki cadangan minyak dalam menarik investor. Pemerintah Indonesia telah menawarkan berbagai paket insentif sejak tahun 1988. Paket kebijakan insentif yang paling mendasar antara lain adalah: Paket Insentif Agustus 1988, Paket Insentif Februari 1989, Paket Insentif Agustus 1992, dan Paket Insentif Desember 1993. Belakangan ini, beberapa pihak menilai berbagai insentif yang diberikan pemerintah di sektor migas sebagai tidak banyak gunanya. Menurut mereka, insentif dan fasilitas yang digelontorkan bagi investor ternyata bersifat kontraproduktif. Produksi minyak dan gas di Indonesia justeru terus menurun. Soal perubahan batasan cost recovery dalam PSC pun turut disoroti. Pri Agung Rakhmanto (2007), peneliti LP3ES, mengatakan ketika biaya yang bisa diklaim ke pemerintah menjadi 100 % dari semula sekitar 40 hingga 60 persen (periode tahun 1976 hingga tahun 1988), hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Menurutnya, produksi dan cadangan minyak yang ditemukan justru turun signifikan. Ditambahkannya, kemungkinan terjadi penggelembungan ketika cost recovery hingga 120 persen sejak tahun 2000, karena masuknya biaya-biaya yang tidak seharusnya. Pada saat itu, produksi migas justru turun dari 1,4 juta barel per hari pada tahun 2000 menjadi sekitar 1 juta pada tahun 2006. Belum lagi jika memperhitungkan holiday domestic market obligation, dimana ada jangka waktu tertentu kontraktor diliburkan dari kewajibannya mensupply migas ke domestik dengan harga murah. Pri dan banyak yang lainnya (bisa dicermati dalam berbagai milis terkait ekonomi migas) menduga ada semacam konspirasi. Konspirasi antara oknum pemerintah dan para kontraktor (bisa perusahaannya, bisa oknumnya juga). Logikanya, dengan 179 cost recovery yang besar saja sudah untung banyak, mengapa harus mengoptimalkan produksi. Bukankah dengan tingkat produksi (atau penemuan cadangan) yang rendah (setidaknya tidak perlu optimal) justeru bisa meminta tambahan insentif. Sumber kritik itu antara lain berasal dari cost recovery yang mencapai USD 8,3 miliar (sekitar Rp 78 triliun) pada tahun 2007, baik 6,2 % dibanding tahun 2006. Sedangkan pada tahun 2006 adalah US$ 7,815 miliar (sekitar Rp 70 triliun), naik 3,6 % dari tahun 2005. Pada tahun 2007 Sebanyak USD 1,8 miliar di antaranya merupakan cost recovery PT PERTAMINA E&P dan USD 6,5 miliar dari Kontraktor KKS lainnya. Sedangkan pada tahun 2006, USD 1,89 miliar di antaranya merupakan cost recovery PT PERTAMINA E&P dan US$ 5,92 miliar dari Kontraktor KKS lainnya. Perlu diketahui pula bahwa sejak tahun 1997 hingga 2007 angka cost recovery Indonesia naik rata-rata sekitar 6 % per tahun. Salah satu pos biaya cost recovery yang sejak lama dipersoalkan adalah biaya untuk community development. Dalam lampiran terkait pasal tentang Ruang Lingkup dan Definisi dalam dokumen Kontrak Minyak dan Gas Bumi biasanya memang dinyatakan demikian. Kurang lebih disebutkan bahwa pengembangan masyarakat sekitar dan jaminan hak-hak masyarakat adat, yang kita kenal dengan istilah community development merupakan salah satu komponen dari biaya operasi (cost recovery). Artinya, kontraktor tidak perlu mengeluarkan uangnya sendiri sebagaimana pengeluaran signature bonus, production bonus, dan DMO. Kontraktor hanya bersikap menalangi terlebih dahulu, yang nantinya akan diklaim sebagai cost recovery. Dengan itu, kontraktor membangun nama baik perusahaan di hadapan masyarakat melalui programprogram pedulinya. Atas kritikan mengenai community development cost, pada akhir tahun 2007 diberitakan bahwa BPMIGAS akan menghapusnya dari 180 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya cost recovery jika diminta Pemerintah. Jika penghapusan ini jadi dilaksanakan, biaya pengembangan masyarakat yang dikeluarkan oleh kontraktor akan menjadi tanggung jawab mereka sendiri. Biayanya akan diperlakukan sebagai non recoverable cost, sama seperti pembayaran bonus (bonus data, bonus tanda tangan, dan bonus produksi) dan iuran tetap (iuran eksplorasi & eksploitasi). Masalahnya, selain harus dilihat realisasinya, penghapusan tersebut jangan sampai berarti tidak adanya lagi pengeluaran untuk comunity development. UU Migas No. 22 tahun 2001 pasal 11 ayat 3 huruf p telah menyatakan dengan tegas bahwa pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat harus ada dalam point KKS. BPMIGAS harus tetap mengawasi pelaksanaannya oleh kontraktor, apalagi ada kemungkinan mereka akan melaksanakan ala kadarnya. Bisa diduga bahwa kebijkan semacam ini bagi investor asing akan kurang disukai. Mereka barangkali merasa sudah membayar pajak, sehingga tidak merasa perlu dibebani dengan hal-hal yang merupakan tanggung jawab Pemerintah terhadap rakyatnya. Soal cost recovery semakin disoroti ketika pada awal tahun 2007, Laporan BPKP mensinyalir adanya korupsi dalam dana yang dikembalikan (Cost Recovery) ke kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Jumlah yang terindikasi sangat besar, yakni sebesar Rp 18,07 triliun dari total biaya sekitar Rp 70 trilyun (USD 7,8 miliar) pada tahun 2006. Berkembanglah pembicaraan mengenai: gaji atau honor para pekerja asing (terutama level manajemennya), fasilitas perusahaan bagi para pekerja itu (soal golf, hotel, liburan, dan sebagainya), dan pembelian peralatan atau penggunaan jasa rig dan peralatan lain (dugaan konspirasi). Daftar kecurigaan bisa diperpanjang, yang dalam uraian di atas berkaitan dengan goldplating atau unnecessary cost. 181 Menanggapi kasus tersebut, menteri ESDM dan pihak BPMIGAS berpendapat bahwa dugaan penyimpangan oleh BPK atau BPKP itu terjadi akibat perbedaan pemahaman tentang cost recovery. Mereka meyakini bahwa sistem pengawasan dan aturan cost recovery sudah bagus, hanya perlu perbaikan dalam implementasinya. Ditambahkan alasan, penambahan aturan dalam masalah itu akan membuat Kontrak Kerja Sama (KKS) menjadi tidak fleksibel. Menteri ESDM lebih setuju agar BPMIGAS memperjelas saja hal-hal yang samar dalam aturan tersebut. Tentu saja pandangan seperti ini sangat sejalan dengan keinginan Kontraktor KKS yang menghendaki fleksibilitas tersebut. Sebagian pengamat masih ragu jika dikatakan sistem pengawasan dan aturan cost recovery yang ada sudah bagus. Kekhawatiran mengenai bagian yang samar sehingga berpeluang diselewengkan Kontraktor (juga oknum pengawas) masih amat tinggi. Beberapa pernyataan bahkan sudah amat sinis. Contohnya: “Cost recovery naik, produksi harus naik” sebagaimana disuarakan Kurtubi, pengamat perminyakan, atau “Hapuskan cost recovery!” sebagaimana banyak disuarakan dalam milis perminyakan. Namun, berbagai analisa teoritis yang independen masih banyak yang merekomendasikan perlunya cost recovery tetap dipertahankan. Cost recovery dianggap sebagai ciri khas yang melekat pada model kontrak perminyakan (khususnya PSC), dan merupakan bentuk kompensasi bagi para kontraktor mengingat besar dan banyaknya risiko serta ketidakpastian yang harus ditanggung. Pengamat kritis yang berpandangan ini tetap mengingatkan bahwa cost recovery harus diberikan secara ketat. Mereka mensyaratkan adanya peraturan dan ketentuan yang jelas dan rinci, tidak hanya sekedar mengatur prosedur administrasi (akuntansi), tetapi juga mengatur persyaratan keteknikan dan manajemen dari setiap penggunaan biaya. Dengan kata lain, akar masalahnya adalah pada aturan yang samar dan pe- 182 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya ngawasan yang lemah. Sangat mungkin jika cost recovery ditiadakan, maka bentuk-bentuk penyelewengan yang lain tetap berkembang. Kotak 3.10 3. Kontroversi Subsidi BBM Pemerintah berulangkali menjelaskan tentang subsidi BBM, sehingga logikanya sudah terlanjur diterima luas oleh publik, terutama oleh pihak legislatif. Ada dua versi yang berkembang. Pertama, subsidi adalah perhitungan antara selisih antara harga BBM internasional dengan harga pokok produksi Pertamina. Kedua, harga yang bersifat internasional n Indonesia adalah pelopor PSC. Sudah ada tiga generasi PSC yang diterapkan sejak 1966. Generasi ketiga diperkenalkan pada tahun 1988 dan berlaku hingga kini. PSC standar generasi ketiga untuk minyak adalah yang dikenal dengan pembagian 85:15; dan ada pula yang menerapkan FTP sebesar 20% dan atau DMO. Namun, ada paket insentif untuk berbagai kasus, sehingga tidak sepenuhnya menggunakan PSC standar maupun PSC dengan FTP n Dalam model PSC, semua biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor akan dikembalikan apabila berhasil menemukan dan memproduksikan minyak. Pengembalian biaya ini disebut sebagai cost recovery, yang dilakukan sebelum hasil produksi dibagi antara pemerintah dan kontraktor. n Cost recovery antara lain terdiri dari: biaya-biaya non kapital tahun berjalan dari kegiatan eksplorasi, pengembangan, operasi produksi, dan biaya administrasi/umum; biaya depresiasi tahun berjalan; depresiasi tahun sebelumnya; dan unrecovered cost (pengembalian biaya yang tertunda). n Sejak tahun 1997 hingga 2006, cost recovery Indonesia naik rata-rata sekitar 6% per tahun. Produksi justeru mengalami penurunan. BPKP melihat ada indikasi korupsi dalam Cost Recovery dalam beberapa tahun ini n Kontoversi mengenai penggelembungan cost recovery yang dikenal juga sebagai goldplating atau unnecessary cost, sempat menimbulkan ide penghapusannya. Pandangan lain lebih menekankan kepada aturan yang lebih rinci, serta pengawasan yang lebih ketat. 183 hanya diperhitungkan dalam soal harga minyak mentah. Kedua versi itu tetap berarti bahwa sebagian besar input kilang (minyak mentah) Pertamina yang berasal dari pemerintah diperhitungkan secara ekonomis. Perhitungan dalam APBN tampaknya menggunakan versi yang kedua. Perkembangan angka subsidi BBM dalam APBN selama beberapa tahun terakhir, terhitung fantasitis (lihat tabel 3.10). Penyebab utamanya ada dua hal, yaitu: kenaikan harga minyak mentah internasional dan kenaikan konsumsi BBM bersubsidi. Bisa diperkirakan jumlahnya membengkak untuk tahun 2008, karena harga minyak yang melebihi 100 dolar per barel dalam beberapa bulan awal tahun ini, meskipun konsumsi BBM bersubsidi sudah mulai ”dikendalikan”. Bahkan, pemerintah kemudian menaikkan harga BBM bersubsidi pada Mei 2008, yang diharapkan dapat menekan angka pengeluaran untuk pos subsidi BBM. Tabel 3.10 Subsidi BBM dalam realisasi APBN (Rp triliun) Sumber: APBN Akan tetapi, banyak pihak merasa ada yang samar dalam soal hitungan subsidi BBM dalam APBN. Setidaknya, mereka keberatan dengan opini publik yang dikembangkan, pemerintah seolah-olah mengeluarkan sejumlah dana untuk itu. Kejadian yang sebenarnya, perhitungan subsidi adalah ”di atas kertas”, atau disebut dengan subsidi ekonomi. Sebagian besar input kilang (minyak mentah) yang diolah Pertamina adalah milik pemerintah, sehingga harus diperhitungkan terlebih dahulu. Jika kita ingin menghitung ”harga sebenarnya” maka biaya untuk mendapatkan (produksi) minyak mentah tersebut ditambah dengan biaya pengolahan oleh kilang Pertamina, dan jika perlu ada sedikit 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Subsidi BBM 53,8 68,4 31,2 30,0 69,0 95,7 85,1 83,8 184 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya laba normal untuk Pertamina. Perhitungan bisa saja diperluas secara keseluruhan, memasukkan faktor input yang didapat dari impor. Dengan mudah pula kita dapat mengerti, penerimaan APBN akan turut meningkat karena kenaikan harga minyak. Sebagian perhitungan menunjukkan bahwa defisit APBN tidak banyak terpengaruh oleh karena soal kenaikan harga minyak mentah. Dampak bersihnya adalah kenaikan penerimaan dibandingkan perhitungan kenaikan subsidi. Itu berarti pula bahwa kita harus melihatnya juga pada kondisi produksi yang memberi penarimaan pada APBN. Tabel 3.11 memberi indikasi hasil bersih migas dalam APBN (penerimaan SDA migas dan PPh Migas) selama beberapa tahun terakhir. Secara nominal, kontibusi migas menjadi semakin besar dalam angka ini, dan pengertian subsidi sejak tahun 2005 pun diperluas menjadi subsidi energi, karena termasuk untuk sebagian energi (termasuk sebagian penggunaan gas). Jangan dilupakan pula, ada keuntungan Pertamina (dan BUMN terkait energi lainnya) yang disetor kepada pemerintah, yang jumlahnya juga sudah mencapai belasan triliun rupiah. Tabel 3.11 Subsidi BBM dan Penerimaan Migas dalam realisasi APBN (Rp triliun) Sumber: APBN, diolah Selain kritik mengenai ketidakjelasan arti istilah subsidi BBM, banyak pihak yang meragukan efisiensi pengolahan kilang Pertamina beserta kinerjanya dalam pendistribusian, sehingga berakibat pada biaya yang lebih besar. Sekarang, Pertamina memang hanya bersifat sebagai pemain, dengan BPHMIGAS sebagai pengawas 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Subsidi BBM 53,8 68,4 31,2 30,0 69,0 95,7 85,1 83,8 Penerimaan migas 85,4 104,1 77,5 81,2 112,0 138,9 201,3 168,8 Surplus 31,6 35,7 46,3 51,2 43,0 43,2 116,2 85,0 185 dalam soal hilir migas. Namun, masalah Harga Pokok Produksi (HPP) BBM sebagai acuan utama perhitungan subsidi BBM masih tetap dipertanyakan banyak orang. Pertamina pun kurang memberi informasi yang luas kepada publik mengenai perhitungan terincinya. Purnomo Yusgiantoro (2000) menjelaskan tentang perhitungan subsidi BBM untuk kasus tahun anggaran 1998/1999. Menurutnya, perhitungannya dimulai dengan mencari HPP dalam satuan rupiah per liter, yang merupakan average cost BBM. HPP dihitung dengan mengurangi pendapatan dari penjualan BBM dalam negeri setelah itu dikurangi biaya-biaya, kemudian dibagi dengan besarnya volume BBM. Biaya dikelompokkan menjadi biaya pengadaan minyak mentah dan produksi serta biaya operasi, dengan perinciannya masing-masing. Perhitungan akhirnya untuk tahun tersebut adalah Laba Bersih Minyak (LBM) yang negatif sehingga disebut subsidi. Perhatikan bahwa pembelian minyak mentah dimaksud adalah dari produksi dalam negeri. Sebagian besarnya adalah milik pemerintah, sebagian kecil lainnya milik kontraktor. Pada prinsipnya dihargai dengan harga minyak secara internasional (ICP), meskipun ada sedikit potongan harga untuk beberapa kasus. Perhatikan pula bahwa sekalipun dalam porsi yang lebih kecil, biaya operasi memberi kontribusi yang sangat berarti. Bachrawi Sanusi (2004) menjelaskan perhitungan yang serupa untuk kasus tahun 1991/1992. Sanusi tidak mencantumkan istilah pembelian minyak, melainkan merincinya menjadi dua: minyak mentah pro rata dan minyak mentah inkind. Kedua jenis penyediaan itu dirinci lagi atas dasar sumbernya: Pertamina dan Kontraktor. Untuk perhitungan sekarang ini pada dasarnya masih dengan metode yang sama. Perbedaan utamanya, hanya ada tiga jenis BBM yang disubsidi, dan khusus untuk solar adalah yang dijual kepada rumah tangga. Publik biasanya hanya mendapat informasi volume 186 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya yang disubsidi sekaligus nilai rupiahnya sebagai “subsidi BBM secara ekonomi” dalam perhitungan APBN. Dengan demikian kritik lama tentang samarnya perhitungan HPP BBM masih berlaku. Begitu pula dengan kritik tentang opini publik yang bisa menyesatkan, dimana seolah-olah pemerintah mengeluarkan dana untuk membayar subsidi BBM. Sementara itu, argumen penghematan energi yang didapat dengan harga keekonomian, yang biasanya lebih mahal, mestinya dibicarakan secara menyeluruh dengan hal-hal lain. Selalu menjadi kontroversi apakah langkah itu harus memprioritaskan kenaikan harga lebih dahulu, tanpa melihat konteksnya dalam kondisi perekonomian, terutama kesejahteraan rakyat kebanyakan. Kotak 3.11 4. Beberapa Hal Penting Terkait Migas Ada banyak aspek lain dari persoalan migas yang sebenarnya perlu dibahas lebih jauh, mengingat arti strategisnya bagi perekonomian Indonesia. Namun, pada buku ini hanya disampaikan sebagian kesimpulan (dari buku yang ditulis secara tersendiri) yang paling relevan dengan tema keseluruhan pembahasan. Pertama, cadangan (reserves) minyak dan gas bumi Indonesia bisa dikatakan masih cukup banyak. Pada tahun 2007, reserves n Banyak pihak merasa ada yang samar dalam soal hitungan subsidi BBM dalam APBN. Setidaknya, mereka keberatan dengan opini publik yang dikembangkan, pemerintah seolah-olah mengeluarkan sejumlah dana untuk itu. Kejadian yang sebenarnya, perhitungan subsidi adalah ”di atas kertas”, atau disebut dengan subsidi ekonomi. n Selain akan menambah jumlah subsidi, kenaikan harga minyak juga meningkatkan penerimaan APBN. Dampak bersihnya adalah kenaikan penerimaan dibandingkan perhitungan kenaikan subsidi. Dalam hal ini, jumlah produksi dan konsumsi memegang peranan penting. 187 minyak tercatat sebanyak 8,4 miliar barel (cadangan terbuktinya sebesar 3,99 miliar barel dan cadangan potensial minyak sebesar 4,4 miliar barel). Pada tahun 2006, cadangan terbukti minyak sebesar 4,39 miliar barel dan cadangan potensial minyak sebesar 4,32 miliar barel. Sementara itu, cadangan gas bumi adalah sekitar 188,20 triliun kaki kubik (TSCF), terdiri dari cadangan terbukti sebesar 94,40 TSCF dan cadangan potensial sebesar 93,80 TSCF. Sementara itu, cadangan gas bumi adalah sekitar 188,20 triliun kaki kubik (TSCF), terdiri dari cadangan terbukti sebesar 94,40 TSCF dan cadangan potensial sebesar 93,80 TSCF. Reserves ini masih sangat mungkin bertambah, mengingat sumber daya (resources) atau minyak yang diduga bisa diambil (recoverable oil) adalah sekitar 85 miliar barel. Resources itu sendiri berada di sekitar 60 buah cekungan sedimen (basin) di seluruh wilayah Indonesia, yang berpotensi mengandung hidrokarbon (minyak dan gas bumi). Sampai dengan tahun 2007, perlakuan terhadap 60 cekungan tersebut adalah: 16 (enam belas) cekungan sudah berproduksi: 8 (delapan) cekungan terbukti mengandung hidrokarbon tetapi belum berproduksi; 14 (empat belas) cekungan sudah dibor tapi belum menemukan hidrokarbon; dan sisanya 22 (dua puluh dua) cekungan masih belum dilakukan pemboran eksplorasi. Kedua, Produksi minyak mentah Indonesia memang cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir, namun belum terbukti telah terjadi kondisi peak oil, apalagi decline. Ada peluang untuk terjadinya peningkatan produksi dalam tahun-tahun mendatang. Terutama sekali jika lapangan minyak yang tergolong sangat besar seperti di Cepu telah mulai berproduksi. Alasan lain adalah data reserves dan resources di atas. Persoalannya adalah pada optimalisasi eksplorasi dan eksploitasi. Ketiga, Pada saat ini Indonesia memang net konsumen dan net importir minyak, namun net produsen dan net eksportir dalam gas. 188 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya Produksi minyak mentah lebih sedikit daripada konsumsi (jika disetarakan dengan minyak mentah), dan ekspor lebih kecil daripada impor. Dalam hal gas, yang terjadi adalah sebaliknya. Keempat, Selain upaya peningkatan produksi migas, sebenarnya ada potensi penerimaan negara dalam soal efisiensi. Sebagai contoh, soal cost recovery, subsidi BBM dan pembenahan trading. Upaya penghematan cost recovery migas, antara lain dilakukan dengan menerapkan aturan yang lebih tegas dan rinci, serta pengawasan yang lebih ketat. Dalam perhitungan subsidi BBM, kontrol dan perhitungan yang lebih akurat harus diterapkan, disamping menekan Pertamina agar menjadi lebih efisien. Begitu pula dengan efisiensi yang masih bisa ditingkatkan dalam hal trading, khususnya berkaitan dengan biaya jasa-jasa. Kelima, Bagian hasil minyak dari PSC yang sebenarnya diterima oleh pemerintah (government take/GT) sejak tahun 1966 sampai sekarang diperkirakan adalah sekitar 55 % saja dari nilai produksi kotor (gross revenue/GR). GT adalah bagian pemerintah (85 % dalam PSC standar saat ini) dari profit oil/PO (GR dikurangi cost recovery). Pada saat ini, GT memang di kisaran 70 % karena peningkatan harga minyak yang dramatis, sehingga kenaikan cost recovery secara nominal tetap saja menurunkan prosentasenya terhadap GR. Namun harus diperhitungkan era sebelumnya dimana cost recovery bisa mencapai 40 %, yang berarti GT hanya 51 % (85 % dari 60 %). Bahkan, pada era PSC generasi pertama, bagian pemerintah hanya 65 % saja. Untuk perhitungan yang lebih cermat, kita perlu memasukkan halhal yang bersifat “keuntungan” (FTP, DMO, dll), juga yang bersifat “kerugian” (DMO holiday, insentif, dll). Keenam, Government Take pemerintah dari PSC gas bumi diperkirakan lebih kecil lagi. Disamping karena bagian pemerintah hanya 70%, biaya produksinya pun secara relatif (prosentase dari GR) adalah lebih besar daripada minyak. Memang ada beberapa detil 189 dalam perhitungan PSC gas yang berbeda dari minyak. Secara keseluruhan, diperkirakan GT hanya sekitar 40 % dari GR. Ketujuh, Perusahaan migas internasional (IOC) yang beroperasi di Indonesia sejak era kolonialisme tidak ada yang benar-benar pergi dari bumi Indonesia dalam keadaan apa pun. Mereka hanya jeda pada saat kondisi tidak memungkinkan untuk berproduksi (Perang Dunia, perang Kemerdekaan, konflik politik di daerah penghasil pada era politik tertentu). Beberapa IOC yang masuk setelah kemerdekaan pun kebanyakan masi bertahan. IOC juga sering berganti nama, baik karena merger dan konsolidasi di perusahaan induk ataupun khusus di Indonesia. Dugaan yang sederhana atas fakta sejarah ini, mereka mendapat keuntungan yang signifikan dari operasinya di Indonesia. Sekarang, IOC dari Cina pun sudah beroperasi di sektor migas Indonesia. Kedelapan, Pertamina harus dipertahankan dan diperkuat, serta tidak boleh diprivatisasi, namun harus tetap dibenahi. Mengingat vitalnya sektor migas, Pertamina harus tetap dibantu oleh pemerintah untuk memperkuat diri sehingga bisa bersaing dengan IOC, di sektor hulu maupun di sektor hilir. Sekalipun demikian, Pertamina mendesak untuk dibenahi dari borok KKN yang selama ini melekat padanya. Permulaannya adalah transparansi laporan keuangannya, termasuk perhitungan subsidi BBM. Pertamina juga perlu memasukkan orang-orang baru pada jajaran direksi dan jabatan strategis lainnya, terutama dari kalangan profesional muda yang selama ini bertebaran di luar negeri karena kurang mendapat peran di negeri sendiri. C. Kemiskinan yang Belum Terentaskan Tidak sulit untuk mengenali kemiskinan dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita. Kehidupan keluarga miskin, apalagi yang sangat miskin, terlihat berbeda dengan yang tidak miskin. Pakaian 190 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya yang dikenakan dan rumah yang ditinggali memperlihatkan ciri menyolok dari kondisi miskin mereka. Ketidakcukupan pangan dan gizi adalah soal yang kadang tidak terlihat namun bisa dipastikan dihadapi mereka. Soal kekurangan lain yang bisa diduga adalah lemahnya akses kepada layanan kesehatan dan pendidikan karena tidak memiliki dana yang cukup. Sedangkan soal yang samar namun terasa adalah kondisi psikologis mereka yang sebagiannya sudah berevolusi menjadi sikap budaya sebagai orang miskin. Fenomena yang mudah diketahui secara awam dan dirasakan masyarakat luas itu, ternyata sulit dipastikan pada tingkat agregat secara nasional dengan metode yang lebih ilmiah. Kontroversi biasa menyertai perhitungan jumlah orang dan keluarga miskin di Indonesia. Angka kemiskinan yang dipublikasi oleh BPS sebagai lembaga berwenang selalu menjadi bahan pro-kontra. Sebagai contoh, BPS (2007) mengumumkan angka kemiskinan pada tahun 2007 sebesar 16,58 % atau terdapat 37,17 juta penduduk miskin di Indonesia, yang berarti terjadi penurunan sebesar 2,13 juta jiwa dari setahun sebelumnya. Pemerintah mengklaimnya sebagai hasil dari kebijakan ekonominya, sementara para pengkritik justeru meragukan data itu sendiri. Penurunan sebesar itu dianggap tidak bersesuaian dengan perkembangan angka-angka lainnya pada periode yang sama. Angka pengangguran terbuka dan setengah penganggur yang masih tinggi diartikan sebagai tidak mendukung perbaikan sedemikian. Data pertumbuhan ekonomi memperlihatkan bahwa sektor yang tumbuh pesat adalah sektor yang tidak berkaitan secara langsung dengan peningkatan pendapatan kaum miskin. Ditambah lagi, perbaikan nilai tukar petani tercatat tidak signifikan dan upah riil buruh di beberapa sektor ekonomi justeru menurun. Akibatnya, angka statistik kemiskinan dari BPS dianggap oleh banyak pihak sebagai tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya. 191 Ada pengkritik yang menyoroti soal metodologi perhitungan, termasuk detil teknisnya. Namun, ada kritik yang sampai kepada masalah kredibilitas dan independensi BPS, sehingga mengarah kepada teori konspirasi. Ada tuduhan mengenai keterlibatan kepentingan politik dalam perhitungan dan publikasi angka kemiskinan BPS. 1. Perkembangan Angka Kemiskinan BPS BPS setiap tahun, sekitar bulan Juli-September, mengeluarkan data kemiskinan untuk keadaan bulan Februari-Maret tahun bersangkutan. Oleh karenanya dapat diketahui, misalnya, bahwa persentase penduduk miskin pada Maret 2007 masih lebih tinggi dibandingkan keadaan Februari 2005, dimana persentase penduduk miskin sebesar 15,97 persen. Juga bisa dicermati adanya fluktuasi jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2007 dari tahun ke tahun berdasar data BPS. Di sani dapat dibedakan antara perubahan jumlah absolut dengan perubahan persentase. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Persentase penduduk miskin meningkat dari 17,47 persen menjadi 23,43 persen pada periode yang sama. Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun 2005. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 19,14 persen pada tahun 2000 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005. Namun pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75 persen) pada bulan Maret 2006. Data BPS juga membedakan antara daerah perdesaan dengan daerah perkotaan. Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan turun 192 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya lebih tajam dari pada daerah perkotaan. Selama periode Maret 2006- Maret 2007, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,20 juta, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,93 juta orang. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2006, sebagian besar (63,13 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan, sementara pada bulan Maret 2007 persentase ini hampir sama yaitu 63,52 persen (lihat tabel 3.12). Tabel 3.12 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Sumber: BPS Pada data BPS, besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh Garis Kemiskinan. Sebagaimana yang diakuinya, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) untuk mengukur kemiskinan. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari Tahun Desa Kota Total Ribu jiwa % desa Ribu jiwa % kota Ribu jiwa % total 1976 1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 44,200 38,900 32,800 31,300 25,700 20,300 17,800 17,200 24,900 31,900 32,300 26,400 29,300 25,100 25,100 24,780 22,700 24,810 23,610 40.40 33.40 28.40 26.50 21.20 16.10 14.30 13.80 19.90 25.70 26.03 22.38 24.84 21.10 20.23 20.11 19,98 21,81 20,37 10,000 8,300 9,500 9,300 9,300 9,700 9,400 8,700 9,600 17,600 15,600 12,300 8,600 13,300 12,300 11,370 12,400 14,490 13,560 38.80 30.80 29.00 28.10 23.10 20.10 16.80 13.40 13.60 21.90 19.41 14.60 9.79 14.46 13.57 12.13 11.68 13.47 12.52 54,200 47,200 42,300 40,600 35,000 30,000 27,200 25,900 34,500 49,500 47,900 38,700 37,900 38,400 37,400 36,150 35,100 39,300 37,130 40.10 33.30 28.60 26.90 21.64 17.40 15.10 13.70 11.30 17.50 23.43 19.14 18.41 18.20 17.42 16.66 15.97 17.75 16.58 193 sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki ratarata pengeluaran per kapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Sedangkan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. Setiap tahun BPS melakukan penyesuaian terhadap garis kemiskinannya. Sebab utamanya adalah perubahan harga (inflasi), namun kadang juga oleh perubahan pola konsumsi masyarakat. Sumber data utama yang dipakai BPS untuk menghitung angka kemiskinan tahun 2007, misalnya, adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Panel Modul Konsumsi bulan Maret 2007. BPS juga menggunakan hasil survei SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar), yang dipakai untuk memperkirakan proporsi dari pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan. Selain itu, BPS juga biasa menambah sampel, sebagaimana yang dilakukannya untuk tahun 2007, dari 10.000 rumah tangga (RT) menjadi 68.000 RT. Akan tetapi banyak kritik atas garis kemiskinan versi BPS ini. Salah satu sebabnya adalah karena BPS tidak pernah transparan men- 194 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya jelaskan metodologi yang digunakannya untuk mengolah data menjadi garis kemiskinan. Beberapa perbincangan para ahli, meskipun seorang peneliti punya seluruh set data yang dibutuhkan menghitung garis kemiskinan, hampir dipastikan dia akan kesulitan untuk mereplikasi angka kemiskinan yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS). Padahal perlu dicatat bahwa ada bermacam-macam definisi garis kemiskinan ini – mulai dari pendekatan US$1 atau US$2, sampai ke pendekatan penghasilan yang dibutuhkan untuk memungkinkan konsumsi senilai 2.100 kalori per orang. Sementara itu, istilah pendekatan kebutuhan dasar tidak pernah dijelaskan memadai, baik penjelasan teknis maupun non-teknis, makna dari istilah “pendekatan kebutuhan dasar”. Untuk yang teknis, mestinya harus disertakan source code yang dipakai oleh program statistik BPS (sekaligus modifikasi-modifikasi non-programming yang dilakukan BPS), agar bisa diuji validitas analisis statistiknya dengan replikasi. Jika BPS lebih transparan maka para peneliti bisa mengkritisi asumsi yang digunakan sekaligus melakukan koreksi bila perlu. Dengan kata lain, BPS terkesan membuat penghitungan garis kemiskinannya menjadi misterius. Sebagian pihak menduga adanya konspirasi. Jika tuduhan konspiratif berlebihan, tetap saja tuntutan agar perhitungan BPS lebih transparan dan bersifat independen harus segera dipenuhi. 2. Angka Kemiskinan Bank Dunia Selain garis kemiskinan nasional yang diterbitkan BPS, ada pula garis yang cukup dikenal, yang biasa disebut sebagai "garis kemiskinan Bank Dunia". Ukurannya adalah pendapatan US$2 per kapita setiap harinya. Hanya saja US$2 yang dimaksud bukanlah benar-benar nominal pada nilai tukar sekarang (atau sekitar Rp 18.000), melainkan dua dolar yang sudah disesuaikan dengan dengan kemampuan daya 195 beli masyarakat masing-masing negara. Dengan garis kemiskinan US$2-PPP (purchasing power parity) per hari ini, menurut laporan Bank Dunia bulan Nopember 2007, tingkat kemiskinan Indonesia mencapai 49.0 %. Sekitar 42 persen diantaranya berpendapatan di kisaran US$ 1-US$ 2. Sekitar 7 % lagi berpenghasilan di bawah US$ 1, atau sangat miskin. Menurut laporan yang sama, kebanyakan penduduk miskin bergerombol di pendapatan dengan kisaran US$ 1,55-PPP per hari (ukuran BPS jika disetarakan dengan ukuran Bank Dunia). Akibatnya banyak penduduk tidak miskin sewaktu-waktu bisa berubah menjadi miskin. Dikatakan pula bahwa ukuran kemiskinan berdasar pendapatan (income poverty) tidak menggambarkan luasnya masalah kemiskinan yang sesungguhnya terjadi. Diingatkan juga tentang masalah ketimpangan regional, antar kepuluan dan daerah, merupakan masalah yang mendasar dan membutuhkan perhatian tersendiri. Kotak 3.12 n Angka kemiskinan dari BPS dianggap oleh banyak pihak sebagai tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya. Ada kritik yang menyoroti soal metodologi perhitungan, termasuk detil teknisnya, sampai kepada masalah kredibilitas dan independensi BPS n Angka kemiskinan BPS pada tahun 2007 adalah sebesar 16,58% atau terdapat 37,17 juta penduduk miskin di Indonesia. Jumlah itu menurun dibanding tahun sebelumnya, namun terhitung masih amat tinggi. n BPS menggunakan basic needs approach, dimana kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. n Dengan ukuran garis kemiskinan US$2-PPP, menurut laporan Bank Dunia 2007, tingkat kemiskinan Indonesia mencapai 49.0%. Sekitar 42 persen diantaranya berpendapatan di kisaran US$1-US$2. Sekitar 7% lagi berpenghasilan di bawah US$1, atau sangat miskin. 196 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya 3. Keparahan Kemiskinan dan Kompleksitas Permasalahannya BPS pun tampak menyadari dan merasa perlu memperhatikan tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Pada saat ini, BPS menghitung dan mempublikasikan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) setiap tahunnya bersamaan dengan angka kemiskinan. Namun, angka masih bersifat agregat dan rata-rata, yang memang menjadi kelemahan yang inheren dalam metode statistik. Sebagai contoh, pada periode Maret 2006-Maret 2007, BPS melaporkan P1 dan P2 yang menunjukkan kecenderungan menurun. P1 turun dari 3,43 pada keadaan Maret 2006 menjadi 2,99 pada keadaaan Maret 2007, sedangkan P2 turun dari 1,00 menjadi 0,84 pada periode yang sama. Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin menyempit. Sebuah kesimpulan yang mungkin mengundang tanya sebagaimana penurunan cukup drastis dari angka kemiskinan pada periode yang sama. Terkait dengan angka kemiskinan dan indeks keparahan, sebenarnya sudah lama diketahui adanya fenomena mengenai banyaknya penduduk Indonesia yang berada sedikit di atas garis kemiskinan. Angka kemiskinan nasional bisa menyamarkan fakta ini. Jika dilihat dari Laporan Bank Dunia (2007) yang disinggung di atas, maka perbedaan antara orang miskin dan yang hampir miskin sangat kecil. Dengan demikian, salah satu yang harus diwaspadai adalah adanya perpindahan posisi penduduk dari hampir/tidak miskin menjadi miskin. Sedikit guncangan ekonomi akan menyebabkan mereka berubah status. Laporan yang sama mengatakan: walaupun hasil survei tahun 2004 menunjukkan hanya 16,7 persen penduduk Indonesia yang tergolong miskin, lebih dari 59 persen dari mereka 197 pernah jatuh miskin dalam periode satu tahun sebelum survei dilaksanakan; serta lebih dari 38 persen rumah tangga miskin pada tahun 2004 tidak miskin pada tahun 2003. Kesimpulan untuk konteks lain adalah bahwa kebijakan instan bisa saja memperbaiki angka-angka agregat, namun bersifat sangat sementara. Sebagai contoh, kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam kurun waktu tertentu segera memperbaiki keadaan. Jika pendataan (sensus dan survei) dilakukan pada saat itu, maka hasilnya tidaklah mencerminkan keadaan yang sebenarnya dalam kurun waktu yang lebih panjang. Jika integritas BPS tidak dipertanyakan pun, angka-angkanya mudah berubah hanya dalam waktu satu tahun, serta tidak sulit ”diperbaiki”. Aspek kedalaman dan keparahan sebenarnya tidak terpisahkan dari aspek ketimpangan. Ketimpangan besar di Indonesia terlihat pada keadaan antar individu dan antar daerah. Perhitungan angka indeks gini rasio, yang dianggap mencerminkan sebaran pendapatan antar penduduk, memang menunjukkan kecenderungan membaik, namun relatif stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Sedangkan ketimpangan antar daerah, terutama antar provinsi dan kabupaten, masih memperlihatkan persoalan yang rawan secara sosial politik. Ketimpangan yang dilihat hanya dari angka-angka lebih mencerminkan ketimpangan absolut. Masih ada soal ketimpangan relatif yang lebih bersifat psikologis, namun tidak kalah pentingnya karena amat berpengaruh dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Sebagai contoh, analisa ketimpangan yang memperhitungkan faktor sosial dan psikologis, maka perkotaan mungkin akan dinilai lebih buruk. Berdasar data, angka kemiskinan di perkotaan cenderung lebih baik daripada di pedesaan, dan ketimpangan absolut di sebagian kota membaik secara signifikan. Namun, kaum miskin kota melihat secara langsung kehidupan penduduk kaya. Keadaan ke- 198 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya kurangannya lebih terasa karena melihat gaya hidup sebagian penduduk lainnya yang justeru amat berlebihan. Wajar jika ada pandangan bahwa ukuran kemiskinan harus dikaitkan secara erat dengan kondisi masing-masing masyarakat. Diperlukan definisi yang mengakomodasi pandangan orang miskin itu sendiri. Besar kemungkinan ada perbedaan antar wilayah dan antar budaya, yang jika diidentifikasi dengan baik akan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang tepat. Pendekatan yang selama ini digunakan meniscayakan adanya ciri-ciri kemiskinan yang dianggap bersifat objektif-universal, juga model penanggulangannya bersifat top-down dan seragam untuk semua kelompok sasaran. Padahal ciri-ciri kemiskinan dapat berbeda indikatornya dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya (Yahya dkk, 2007). Terlepas dari kontroversi angka BPS, kemiskinan secara ekonomi memang dapat dipandang mulai dari rendahnya tingkat pendapatan maupun dari dari sisi lemahnya akses terhadap sumberdaya dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pokok. Sebagai contoh, Friedman mengemukakan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kemampuan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial, yaitu: modal produktif atas asset, sumber keuangan yang memadai, organisasi yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, jaringan sosial untuk memperoleh pengetahuan atau pekerjaan serta penguasaan informasi yang bermanfaat untuk kehidupan. Contoh pendekatan dengan perspektif ekonomi lainnya adalah yang dikemukakan Robert Chambers bahwa inti dari masalah kemiskinan terletak pada kondisi yang disebut sebagai deprivation trap atau perangkap kemiskinan. Perangkap itu terdiri dari: kemiskinan itu sendiri, kelemahan fisik, keterasingan atau kadar isolasi, kerentanan dan ketidakberdayaan. Semua unsur itu saling terkait 199 satu sama lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan, serta mempersulit rakyat miskin untuk bangkit dari kemiskinannya. Dalam wacana ilmu sosial berkembang pula beberapa istilah yang mencerminkan adanya kompleksitas masalah kemiskinan. Diantaranya adalah istilah kemiskinan struktural dan kebudayaan kemiskinan. Kemiskinan struktural diartikan oleh Selo Soemardjan sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyakat itu, tidak dapat ikut menggunakan sumbersumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Istilah kebudayaan kemiskinan menekankan adanya kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan psikologis pada kaum miskin (Suparlan, 1984). Belakangan ini wacana yang populer adalah mengaitkan kemiskinan dengan hak asasi manusia untuk melangsungkan kehidupannya secara layak. Pengertian kemiskinan ditekankan pada kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya secara layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar dimaksud meliputi: terpenuhinya kebutuhan pangan secara layak, hidup dalam lingkungan yang sehat dan tidak kesulitan mengakses pelayanan kesehatan yang memadai, dapat mengakses lembaga pendidikan, dapat berpartisipasi dalam bidang pekerjaan dengan pendapatan yang memadai, mendiami rumah yang layak huni, tersedia air bersih yang cukup, kepemilikan dan kepenguasaan tanah yang terlindungi, aman dari perlakuan atau ancaman kekerasan, dan memiliki akses yang sama dengan warga lainnya untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial ekonomi dan politik, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Bank Dunia (2007) pun mengingatkan bahwa masalah kemiskinan dari segi non pendapatan (non-income poverty) lebih 200 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya serius daripada sekadar rendahnya penghasilan dari kaum miskin di Indonesia. Yang dijadikan indikasi antara lain adalah: tingginya tingkat malnutrisi, tingkat kematian ibu pada setiap kelahiran bayi, rendahnya tingkat pendidikan formal yang dienyam kebanyakan penduduk, kesulitan akses kepada persediaan air bersih, dan masalah sanitasi yang akut. Apabila diperhitungkan semua dimensi kesejahteraan itu, maka hampir separuh rakyat Indonesia dapat dianggap telah mengalami paling sedikit satu jenis kemiskinan. Kemajuan di bidang pengembangan manusia memang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Ada perbaikan seperti: pencapaian pendidikan pada tingkat sekolah dasar; cakupan pelayanan kesehatan dasar, khususnya dalam hal bantuan persalinan dan imunisasi; dan pengurangan sangat besar dalam angka kematian anak. Akan tetapi, Indonesia kurang berhasil mencapai kemajuan secara berarti untuk beberapa indikator, dan tertinggal dari negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Sebenarnya ada lagi banyak ukuran kesejahteraan, sekaligus ukuran kemiskinan, dari para ahli ekonomi pembangunan dan berbagai lembaga internasional. Diantaranya yang sering dibicarakan di Indonesia adalah indikator kunci pembangunan sosial ekonomi versi UNRISD (United Nations Research Institute on Social Development), Physical Quality Life Index (PQLI) yang diperkenalkan Morris, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) dari UNDP. Yang jelas, dengan ukuran apa pun kondisi Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir bisa dikatakan masih belum cukup baik. Jika yang dilihat hanya perubahannya saja, memang terdapat sedikit perbaikan dalam beberapa indikator, namun jauh dari memadai bila memperhitungkan potensi kekayaan alam dan potensi manusiawi dari bangsa ini. 201 Kotak 3.13 4. Komitmen Resmi dan Program Kemiskinan dari Pemerintah Soal kemiskinan telah secara terang benderang diamanatkan oleh Konstitusi Indonesia. Amanat konstitusi yang paling utama adalah tujuan nasional sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan yang demikian hanya mungkin dicapai jika kemiskinan bisa dientaskan dari kehidupan rakyat Indonesia. Substansi pasal-pasal Konstitusi terkait perekonomian pun sesungguhnya mengandung amanat itu. Bahkan, ada banyak pasal n Selain soal jumlah penduduk miskin, ada aspek kedalaman dan keparahan yang tidak terpisahkan dari aspek ketimpangan. Ketimpangan besar di Indonesia terlihat pada keadaan antar individu, kelompok masyarakat dan antar daerah. Ada pula soal ketimpangan relatif yang lebih bersifat psikologis. n Ada masalah kemiskinan dari segi non pendapatan (non-income poverty) yang lebih serius daripada sekadar rendahnya penghasilan dari kaum miskin di Indonesia. Yang dijadikan indikasi antara lain adalah: tingginya tingkat malnutrisi, tingkat kematian ibu pada setiap kelahiran bayi, rendahnya tingkat pendidikan formal yang dienyam kebanyakan penduduk, kesulitan akses kepada persediaan air bersih, dan masalah sanitasi yang akut. n Ada lagi banyak ukuran kesejahteraan, sekaligus ukuran kemiskinan, dari para ahli ekonomi pembangunan dan berbagai lembaga internasional, seperti: PQLI, IPM dan MDGs. Dengan ukuran mana pun kondisi Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir bisa dikatakan masih belum cukup baik. 202 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya Undang-undang Dasar 1945 yang secara eksplisit menyatakan hak-hak yang dimiliki warga negara, yang sesungguhnya jika dipenuhi maka mereka akan terbebas dari kemiskinan. Diantaranya adalah: Pasal 27 ayat 2, Pasal 28 A, Pasal 28 B ayat 2, Pasal 28 C, Ayat 1 dan ayat 2, Pasal 28 D Ayat 1 sampai dengan 4, Pasal 28 F, Pasal 28 G ayat 1, Pasal 28 H Ayat 1 sampai dengan 4, Pasal 28 I Ayat 1 sampai dengan 5, Pasal 31 ayat 1, Pasal 33 Ayat 1 sampai dengan 4, Pasal 34 Ayat 1 sampai dengan 3. Sewajarnya jika semua pemerintahan berupaya keras mewujudkan amanat konstitusi tersebut. Dalam arti legal formal, biasanya hal ini diakui, termasuk oleh pemerintahan SBY. Pemerintahan Presiden SBY sejak awal menyatakan komitmen untuk menurunkan angka kemiskinan menjadi 8,2 % pada tahun 2009. Secara konsisten dalam berbagai kesempatan, komitmen ini diberi penekanan, seperti dalam Nota Keuangan, Pidato Kenegaraan, dan dokumen resmi lainnya. Sebagai implementasi, ada banyak program disertai kucuran dana yang telah dilaksanakan. Untuk memberi gambaran, kita bisa menengok sedikit ke belakang, dimana setelah terjadinya krisis moneter dan ekonomi tahun 1997, pemerintah mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dikoordinasikan melalui Keppres Nomor 190 Tahun 1998 tentang Pembentukan Gugus Tugas Peningkatan Jaring Pengaman Sosial. Selanjutnya, melalui Keputusan Presiden No.34/ 2001 junto No.8/2002 dibentuklah Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) yang berfungsi sebagai forum lintas pelaku dalam melakukan koordinasi perencanaan, pembinaan, pemantauan dan pelaporan seluruh upaya penanggulangan kemiskinan. Dan dengan alasan untuk lebih mempertajam keberadaan KPK, dikeluarkan Peraturan Presiden No.54/ 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Tugas dari TKPK adalah melakukan langkah-langkah konkret untuk mempercepat pe- 203 ngurangan jumlah penduduk miskin di seluruh wilayah NKRI melalui koordinasi dan sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan yang pernah dilaksanakan setelah krisis antara lain: P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), TPSPKUD (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa), UEDSP (Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam), PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu), IDT (Inpres Desa Tertinggal), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), PPK (Program Pengembangan Kecamatan), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan), PDMDKE (Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi, P2MPD (Proyek Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah), dan beberapa program pembangunan sektoral (lihat situs pnpm-mandiri). Program penanggulangan kemiskinan dilakukan juga oleh koordinasi Bank Indonesia melalui berbagai program keuangan mikro bersama bank-bank pembangunan daerah (BPD) dan bank-bank perkreditan rakyat (BPR) bekerja-sama dengan lembaga-lembaga keuangan milik masyarakat seperti Lembaga Dana dan Kredit Perdesaan (LDKP) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Beberapa lembaga keuangan BUMN menyelenggarakan pula program keuangan mikro dengan berbagai variasi dan kekhasan masing-masing. Sejak 2004 (selama era pemerintahan SBY) diklaim ada sekitar 55 program atau proyek yang dilaksanakan oleh sekitar 19 departemen /lembaga pemerintah Non Departemen (LPND), yang terkait langsung dengan program kemiskinan. Pada bulan Oktober 2007, Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, Sujana Royat, mengatakan adanya 52 program yang masih berjalan. Namun, konteks 204 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya pernyataannya adalah berkenaan dengan tidak sampainya anggaran penanggulangan kemiskinan kepada sasaran, yang menurutnya mencapai 33 %. Jika dicermati secara teliti, penyebutan kegiatan pemerintah sebagai Program Pengentasan atau Penanganan Kemiskinan (biasa disebut dengan Program Kemiskinan saja) adalah bersifat klaim atau kebijakan politik. Pemerintah sendiri belum lama menyadari bahwa ada banyak aktivitasnya yang bisa dikategorisasikan sebagai program kemiskinan. Tatkala Kemenko Kesra mengemukakan adanya 55 program di berbagai departeman atau lembaga sekitar satu setengah tahun lalu, mereka belum pernah mempublikasikan (karena mungkin memang belum punya) data pasti mengenai rinciannya. Melalui berbagai hasil rapat koordinasi, rincian baru mulai dipublikasikan pada Desember tahun 2007 dan awal 2008. Perlu dicatat bahwa publikasi itu pun adalah versi kemenko kesra (atau TKPK), dan lebih bersifat nama program dan departemen/ lembaga yang mengelolanya. Tampaknya, tidak semua departemen/ lembaga senang programnya yang sudah berjalan dikategorikan demikian, sehingga laporan rinci (termasuk juklak/juknis) selalu tersendat diberikan kepada TKPK. Indikasinya terlihat dari upaya menyatukan semuanya ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri belum berjalan mulus. Tahun 2007 baru ada 2 program, tahun 2008 ada 6 program (termasuk program baru), padahal rencananya ada 17 program yang akan diintegrasikan. PNPM Mandiri sendiri diluncurkan pada tanggal 30 April tahun 2007. PNPM dijelaskan sebagai kelanjutan dari berbagai program sebelumnya, sekaligus sebagai upaya sinkronisasi semua program yang masih berjalan. PNPM Mandiri sebenarnya mencerminkan pula pengakuan akan kurangnya koordinasi antar instansi atau departemen yang selama ini mempunyai program penanggulangan 205 kemiskinan. Sering terjadi, ada masalah penanggulangan kemiskinan yang menumpuk di satu daerah, ataupun di satu bidang serta masalah yang tidak tertanggulangi. Pernyataan berbagai pejabat tentang anggaran yang dibelanjakan bagi Program Kemiskinan juga serupa dengan kesimpangsiuran mengenai soal jumlah dan rincian program. Khusus untuk tahun 2008, versi yang banyak beredar adalah Rp 80 triliun dan Rp 60 triliun. Sebelumnya, pada masa pembahasan APBN (Agustus-Oktober 2007) sempat mengemuka angka Rp 54 triliun. Perhatikan bahwa angka yang disebut biasanya bernada ”sekitar”, dan sampai saat ini belum ada publikasi mengenai rinciannya yang mendekati angka itu. Perlu diketahui bahwa dalam APBN, Belanja Negara terdiri dari Belanja pemerintah Pusat dan Belanja Daerah. Kemudian, Belanja Pemerintah Pusat diklasifikasikan atau dirinci atas dasar tiga hal, dan ditampilkan dalam tabel yang berbeda. Klasifikasinya adalah: atas dasar jenis belanja (klasifikasi ekonomi), atas dasar organisasi, dan atas dasar fungsi. Penjumlahan dari masing-masing rincian atas dasar yang berbeda itu akan menunjukkan besaran yang sama, sebagai angka belanja pemerintah pusat. Kepentingannya adalah untuk pencermatan atas uang yang dibelanjakan pemerintah pusat dari beberapa sudut pandang, sehingga dapat dipergunakan untuk evaluasi secara terus menerus. Klasifikasi pertama dan kedua berguna untuk prosedur perencanaan dan pelaksanaan anggaran, termasuk untuk kepentingan akuntabilitas. Sedangkan klasifikasi ketiga, atas dasar fungsi, adalah bersifat analisa, seperti untuk analisa makroekonomi. Menurut jenis belanja, anggaran belanja pemerintah pusat terdiri dari 8 jenis, yaitu: (1) belanja pegawai, (2) belanja barang, (3) belanja modal, (4) pembayaran bunga utang, (5) subsidi, (6) belanja hibah, (7) bantuan sosial, dan (8) belanja lain-lain. 206 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya Belanja pemerintah pusat menurut organisasi adalah semua pengeluaran negara yang dialokasikan kepada kementerian/lembaga, sesuai dengan program-program yang akan dijalankan. Belanja pemerintah pusat menurut fungsi dibedakan dalam 11 fungsi, yaitu: (1) pelayanan umum, (2) pertahanan, (3) ketertiban dan keamanan, (4) ekonomi, (5) lingkungan hidup, (6) perumahan dan fasilitas umum, (7) kesehatan, (8) pariwisata dan budaya, (9) agama, (10) pendidikan, dan (11) perlindungan sosial. Dalam konteks klasifikasi ini, ada pengeluaran yang memiliki fungsi tersendiri, seperti pembayaran bunga utang dan subsidi, yang kadang dicantumkan sebagai fungsi pelayanan umum, sehingga angka pos fungsi ini menjadi sangat besar. Harus difahami pula bahwa rincian belanja menurut fungsi bukan merupakan dasar pengalokasian anggaran. Pengalokasian anggaran didasarkan pada program-program yang diusulkan oleh kementerian negara/lembaga, yang dirinci menurut jenis belanja. Selanjutnya, program-program tersebut dikelompokkan sesuai dengan fungsi dan sub fungsinya. Dengan demikian, rincian belanja menurut fungsi adalah kompilasi dari anggaran program-program kementerian negara/lembaga, dan hanya digunakan sebagai alat analisis (tools of analysis). Dengan kata lain, semua pernyataan tentang dana program kemiskinan sebenarnya adalah pernyataan politik bukan pernyataan fiskal (anggaran). Tergantung apa saja yang mau dimasukkan. Bahkan yang dimaksud dengan bantuan sosial (jenis belanja no 7) tidak sepenuhnya bisa diartikan untuk kemiskinan, karena bisa untuk bencana atau yang sejenisnya (dan bisa tidak jadi direalisasikan). Bantuan sosial adalah semua pengeluaran negara dalam bentuk transfer uang/barang yang diberikan kepada masyarakat melalui kementerian/lembaga, guna melindungi dari terjadinya berbagai risiko sosial. 207 Sekali lagi diingatkan bahwa secara pendekatan anggaran (fiskal) hanya dikenal pengkategorian berdasar tiga hal (jenis, organisasi dan fungsi), yang tidak ada menyebut soal kemiskinan di dalamnya. Wajar jika tidak pernah dikeluarkan secara resmi rinciannya. Pernyataannya pun biasa dikemukakan oleh menkokesra atau pejabat di bawahnya, bukan oleh menteri keuangan. Ketika Kepala Badan Fiskal, Anggito Abimanyi yang bicara, angkanya justeru hanya Rp 60 triliun saja. Pada waktu siaran pers RAPBN 2008 (ada dalam kliping), sub judul kemiskinan tidak diberi jumlah totalnya, hanya diberi beberapa contoh. Lukman Edy bahkan menyebut angka Rp 93 triliun untuk daerah tertinggal yang ditafsirkannya pula sebagai untuk pengentasan kemiskinan. 5. Kesalahan Pemerintah dalam Program Penanggulangan Kemiskinan Mengapa kebanyakan program kemiskinan pemerintah tidak membuahkan hasil yang memadai? Sebagian pihak menyoroti soal kebocoran dana program, sebagaimana yang biasa terjadi dalam banyak kegiatan birokrasi. Soal salah sasaran program juga sering dikemukakan para pengamat. Dalam soal salah sasaran, yang terkait tidak hanya faktor korupsi, melainkan juga masalah konseptual. Diantaranya berupa ketidaksesuaian bentuk program dengan kebutuhan nyata, serta kesalahan sasaran kepada mereka yang sebetulnya tidak miskin. Sebagian masalah konseptual berjalin berkelindan dengan kesalahan pendataan kemiskinan, sehingga mirip dengan lingkaran kemiskinan itu sendiri. Sebagai contoh paling mutakhir adalah anggapan bahwa individu dan kelompok telah memiliki modalnya sendiri. Asumsi yang tidak sepenuhnya berdasar fakta ini mengakibatkan penyediaan akses kepada program hanya termanfaatkan golongan 208 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya hampir miskin. Tampak jelas, misalnya, kredit program hanya diberikan untuk "penduduk miskin" yang berpengalaman dagang. Ada bias pemikiran neoliberalisme dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan semacam ini. Suatu laporan penelitian (Rizky dkk, 2007) mengidentifikasi dan menjelaskan tentang beberapa kesalahan pemerintah. Diantaranya adalah: 1. Kesalahan pendataan, 2. Kesalahan indikator keberhasilan Program, 3. Terlampau menekankan faktor internal kaum miskin, 4. Kurang memperhatikan proses pemiskinan itu sendiri, 5. Pemerintah terlampau mengandalkan pertumbuhan ekonomi sebagai solusi, 6. Kesalahan tambahan di lapangan atau dalam pelaksanaan program, 7. Kesalahan menggali sumber pendanaan, dimana sebagian cukup besarnya berasal dari utang luar negeri. Untuk keperluan tulisan ini kita akan mengutip sebagian penjelasannya, yaitu kesalahan no 3, 4 dan 5. Pertama, soal pemerintah yang terkesan sering melihat soal kemiskinan pada faktor internal kaum miskin. Dalam banyak dokumen program, deskripsi kemiskinan kurang menyoroti faktor eksternal, seperti pola pembangunan ekonomi yang mengandung unsur ketidakadilan yang sedang dijalankan serta menjadi bagian dari proses pemiskinan itu sendiri. Padahal, berbagai studi menunjukkan bahwa persoalan kemiskinan harus dilihat pula dari persoalan ”kekayaan” (seperti bagaimana modal diakumulasikan, cara hidup kaum berpunya, kebijakan pemerintah kepada kaum berpunya itu, dll). Akhirnya semua kebijakan pemerintah dalam hal kemiskinan memang sangat kuratif, sekadar berusaha mengatasi masalah yang terlanjur terjadi. Tidak terlihat upaya serius mencegah proses pemiskinan ataupun upaya preventif menjaga agar penduduk yang sebelumnya tidak tergolong miskin untuk tak terjatuh kepada kemiskinan. Kesalahan serupa bisa dilihat dalam banyak dokumen program kemiskinan lainnya, baik yang bersifat perencanaan maupun lapor- 209 an pelaksanaannya. Ada yang mengulas soal kurangnya kesadaran masyarakat, kebodohan atau rendahnya tingkat pendidikan, soal tidak memiliki keterampilan ataupun modal usaha, soal ketidakjujuran, konflik antar masyarakat itu sendiri, dan sebagainya. Istilah pemberdayaan masyarakat sendiri menjadi amat kabur. Seolah ketidak berdayaan adalah keinginan mereka sendiri, sehingga perlu distimulan oleh orang luar agar menjadi berdaya. Kebutuhan akan bantuan atau stimulan pihak luar memang tak terelakkan, tetapi bias dari ”tuduhan” ke faktor internal semacam ini harus diluruskan terlebih dahulu. Bantuan dari pihak luar adalah suatu kewajiban, terutama dari pemerintah, dan sudah merupakan hak bagi kaum miskin. Tidak dibenarkan sikap seolah ini adalah hadiah atau belas kasihan (charity). Kedua, soal kurang memperhatikan proses pemiskinan itu sendiri. Salah satu akar kemiskinan yang kurang bahkan tidak dikenali oleh pemerintah adalah proses pembangunan ekonomi yang telah memiskinkan sebagian rakyat. Banyak kebijakan dan pola pembangunan ekonomi yang justeru telah menambah atau mempertahankan jumlah orang miskin. Lebih buruk lagi, meningkatkan keparahan dan kedalaman kemiskinan banyak penduduk miskin. Yang paling menyolok mata dan berakibat langsung adalah adanya proyek pembangunan (fisik) yang berakibat penggusuran tanpa kompensasi yang memadai. Kompensasi tidak bisa dilihat dari uang atau apa pun yang sekadar diberikan sebagai penghibur. Rumah atau lokasi tinggal kaum miskin adalah sumber penghidupan mereka, baik dalam arti sarana produksi maupun pertimbangan ongkos kepada akses pendapatannya. Begitu pula dengan ”penertiban” lokasi usaha kaum miskin demi melayani kebutuhan mereka yang tergolong berpunya (the have). Alasan ketertiban dan kenyamanan atau yang semacamnya dianggap lebih kuat daripada soal mati hidup penduduk yang miskin atau hampir miskin. 210 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Realita Perekonomian Indonesia (II): Fakta Lainnya Pembongkaran dan renovasi pasar juga sering berujung pada ”kejatuhan” penduduk yang tidak miskin kepada tingkatan yang nyaris miskin, namun meningkatkan kemampuan akumulasi modal bagi penduduk kaya. Daftarnya bisa ditambah dengan pemberian izin bagi pendirian pasar modern, mall, hyper market, dan sejenisnya. Juga pengembangan industri atau kawasan industri di daerah-daerah tanpa memperhitungkan akibatnya bagi industri rumahan para penduduk lokal atau pengubahan lahan pertanian produktif bagi rakyat. Kebijakan yang seolah tidak berakibat langsung kepada pemiskinan adalah soal izin impor yang amat luas bagi banyak komoditi, khususnya komoditi pertanian. Dalam jangka pendek memang bisa diperlihatkan bahwa harga-harga beberapa komoditi atau barang menjadi lebih murah dan terjangkau banyak penduduk. Dalam jangka panjang, tanpa ada upaya serius dari pemerintah karena berasumsi pasar akan membuat produksi penduduk lokal menjadi efisien dengan sendirinya, proses pemiskinan justeru terjadi lebih cepat. Singkatnya, program kemiskinan hanya berfungsi kuratif, tidak mengarah kepada pencegahan pemiskinan. Program sekadar disusun sebagai pelengkap yang menahan laju proses pemiskinan yang terjadi, bukan sungguh-sungguh berorientasi mengentaskannya. Ketiga, soal Pemerintah terlampau mengandalkan pertumbuhan ekonomi sebagai solusi. Pemerintah tampaknya memang memiliki alasan mengapa program kemiskinan bersifat kuratif saja. Pemerintah beranggapan bahwa berbagai kebijakan ekonominya akan membawa bangsa dan rakyat Indonesia kepada kemakmuran dan kesejahteraan. Jika rencana berjalan, kemiskinan dipastikan mereka akan berkurang dengan sendirinya. Proses pemiskinan yang disinggung di atas biasanya dinilai sekadar ekses sampingan. 211 Sangat diyakini bahwa pengejaran pertumbuhan ekonomi dengan penekanan kepada insentif bagi para penanam modal untuk berinvestasi akan memecahkan banyak soal ekonomi, termasuk kemiskinan. Oleh karena pemerintah sendiri kurang memiliki dana untuk investasi, maka pihak (modal) swasta lah yang diunggulkan, terutama sekali modal asing. Tidak lupa dijelaskan bahwa pemerintah hanya bisa berperan sebagai pengatur (regulator). Dikatakan bahwa seperti juga yang terjadi di negara-negara lain, saat ini peran kebijakan fiskal masih sangat penting, namun perannya sebagai pendorong pertumbuhan (source of growth) cenderung berkurang dibandingkan dengan peran sektor swasta yang memang diharapkan akan semakin meningkat. Kotak 3.14 n Soal perlunya pengentasan kemiskinan telah diamanatkan oleh Konstitusi Indonesia, baik dalam semangat maupun pasal-pasalnya secara eksplisit. n Semua era pemerintahan menyatakan komitmen formal yang bersesuaian dengan konstitusi. Pemerintahan Presiden SBY sejak awal menyatakan ingin menurunkan angka kemiskinan menjadi 8,2 % pada tahun 2009. n Jika dicermati, penyebutan kegiatan pemerintah sebagai Program Pengentasan atau Penanganan Kemiskinan bersifat klaim atau kebijakan politik. Pemerintah tidak pernah mempublikasikan rincian programnya secara memadai kepada masyarakat luas. Pernyataan tentang dana program kemiskinan pun lebih bersifat politik bukan pernyataan menurur kategori fiskal (anggaran). n Rendahnya hasil program kemiskinan pemerintah disebabkan antara lain : kebocoran dana, salah sasaran dan kekeliruan konseptual. 212 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA BAB IV NEOLIBERALISME SEBAGAI BENTUK MUTAKHIR KAPITALISME Pada bab pertama telah diisyaratkan pendapat penulis bahwa krisis ekonomi 1997 dan masih buruknya kinerja perekonomian Indonesia hingga kini pada dasarnya disebabkan oleh karena integrasinya yang semakin erat pada tatanan kapitalisme internasional. Sebab-sebab lain dapat dianggap bersifat sekunder atau sekadar memperparah keadaan. Terkait erat dengan pandangan itu, maka bukan kebetulan jika soal mekanisme pasar telah disinggung berulang kali (secara langsung ataupun tidak) dalam pembahasan berbagai aspek perekonomian Indonesia. Mekanisme pasar itu sendiri adalah salah satu komponen utama dari tatanan kapitalisme. Sebelum membahas lebih jauh mengenai soal keterkaitan perekonomian Indonesia pada tatanan kapitalisme internasional, kita perlu mengenali dahulu beberapa konsep umum dan dimensi kesejarahannya yang mendunia. Oleh karena alasan teknis, pembicaraan kita akan lebih terfokus kepada dimensi ekonomi dari kapitalisme, serta perkembangannya yang lebih mutakhir saja. Sejarah dan dimensi lainnya yang lebih kompleks hanya dibicarakan secara singkat. A. Kapitalisme Sebagai Tatanan Perekonomian Dunia yang Dominan Ada banyak definisi atau pengertian yang biasa diberikan pada istilah kapitalisme. Mulai dari yang sederhana, sampai dengan yang 213 rumit. Beragam makna tersebut pada dasarnya mencerminkan banyaknya sudut pandang (angle) atau penekanan (fokus) terhadap berbagai aspek dari kapitalisme. Selain soal fokus, ragam arti disebabkan oleh perbedaan dari fakta atau realita yang dikemukakan karena memiliki kurun waktu berlainan (ada faktor historis). Sebagiannya lagi disebabkan soal kewilayahan (geografis) yang memberi kontribusi pada keragaman arti. Jika dicermati, maka aneka ragam definisi kapitalisme tampak memberi isyarat tentang suatu fakta penting selama lebih dari dua abad terakhir. Kapitalisme telah tumbuh dan berkembang, serta berdampak menyeluruh (perpasive) atas seluruh kehidupan manusia. Hampir tidak ada wilayah geografis dan dimensi kehidupan manusia yang lepas dari pengaruh kapitalisme. 1. Perspektif dalam Memahami Kapitalisme Memperhatikan akhiran isme pada istilahnya, maka tidak terlampau salah jika diartikan sebagai suatu faham, bahkan semacam keyakinan. Kapitalisme terdiri dari kumpulan gagasan, yang kemudian mencapai bentuk ideologi. Ideologi dalam arti ide-ide besar yang terstruktur secara konsisten (sistematis) untuk hal-hal yang dianggap pokok bagi kehidupan manusia, terutama berkenaan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ideologi dimaksud juga dapat dianggap sebagai penglihatan ke depan (visi) yang komprehensif, atau sebagai cara memandang segala sesuatu. Sudut pandang melihat kapitalisme sebagai ide sistematis ini relevan bagi upaya mengidentifikasi gagasan dasarnya sebagai awal dari pemahaman secara umum. Sering pula disinggung soal siapa saja tokoh penggagas ide-ide itu, serta perbandingannya dengan ideologi lain. Bagaimanapun, penekanannya adalah pada gagasan besar yang menghasilkan fakta, atau ide-ide dibalik fakta. 214 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Bias yang mungkin terjadi dalam perspektif ini, seolah diperlukan keyakinan atau kepercayaan dari banyak orang agar dapat menjadi penganut suatu ideologi. Bahkan ada yang mengira diperlukan pernyataan konstitusi sebagai cirinya. Penalaran sederhananya, bukankah terlebih dahulu perlu difahami, diyakini, ditetapkan secara legal atau konstitusional, agar menjadi ideologi bagi suatu negara. Padahal, penalaran demikian tidak sepenuhnya berlaku untuk konteks kapitalisme Bias lainnya adalah penempatan ide dengan “porsi” yang berlebihan dalam memahami realita. Sebagaimana yang selalu menjadi perdebatan hingga kini, maka akan ada persoalan dengan apakah ide yang pada hakikatnya membuat perubahan, termasuk mengubah materi. Atau sebaliknya, materi dengan “mekanisme dan hukum” nya sendiri yang mempengaruhi ide-ide. Apakah gagasan-gagasan yang mendorong manusia untuk berbuat ataukah berbagai keadaan material (nafsu jasmaniah, kepentingan, cara-cara produksi, dan sebagainya) yang mendorong manusia melakukan sesuatu. Perbedaan ini akan sangat besar pengaruhnya pada analisis tentang perkembangan kapitalisme. Sudut pandang yang relatif berjauhan dari menyoroti kapitalisme sebagai ide, adalah dengan melihat kapitalisme sebagai fakta sosial ekonomi. Kapitalisme diidentifikasi sebagai struktur dan suprastruktur masyarakat, khususnya berkenaan dengan masalah ekonomi. Masalah ekonomi yang dimaksud adalah cara produksi (apa dan bagaimana), pola konsumsi (dipergunakan untuk apa saja), serta bagaimana distribusi (siapa saja yang mendapatkan dan dalam porsi seberapa) dari barang-barang dan jasa-jasa. Kapitalisme diberi pengertian atas cara-cara dasarnya memecahkan masalah tersebut. Kelemahan dari perspektif ini pada dasarnya sama dengan yang sebelumnya, hanya dalam arah yang berkebalikan. Kenyataan yang Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 215 bersifat materi dengan “mekanisme dan hukum” nya sendiri dipastikan sebagai penghasil ide-ide. Yang diakui telah mendorong manusia melakukan sesuatu hanyalah berbagai keadaan material seperti : nafsu jasmaniah, kepentingan, cara-cara produksi, dan sebagainya. Pandangan utamanya akan terlampau membenarkan tesis bahwa “bukan kesadaran yang menentukan kehidupan tapi, kehidupan yang menentukan kesadaran”. Untuk mengurangi kelemahan yang melekat pada kedua perspektif ekstrim itu, kita akan memakai keduanya secara saling melengkapi. Pemahaman kita terhadap kapitalisme pertama-tama adalah dengan mencermati berbagai pengertian yang banyak diterima, sembari melihat relasinya dalam konteks historis. Kemudian dicermati bagian apa saja dari masing-masing pengertian tersebut yang tidak mengalami perubahan secara berarti pada tunjukkan realita di berbagai kurun waktu dan atau wilayah geografis yang berbeda. Dari formulasi atas pencermatan itu, akan bisa ditarik kesimpulan tentang pandangan-pandangan dasarnya, jika memahami kapitalisme sebagai gugus ide sistematis. Dari hal itu dapat pula diidentifikasi dasar-dasar dari struktur sosial ekonominya, jika lebih melihatnya sebagai suatu tatanan (fakta) ekonomi dan politik. 2. Perkembangan Ide dan Tatanan Kapitalisme Ada beberapa ide pokok yang dianggap menjadi gagasan terpenting dan paling mendasar dalam kapitalisme dewasa ini. Pertama, diakuinya hak milik perorangan secara luas, bahkan hampir tanpa batas. Kedua, diakui adanya motif ekonomi, mengejar keuntungan secara maksimal, pada semua individu. Ketiga, adanya kebebasan untuk berkompetisi antar individu, dalam rangka peningkatan status sosial ekonomi masing-masing. Keempat, adanya mekanisme pasar yang mengatur persaingan dan kebebasan tersebut. 216 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Ide-ide itu sendiri mengalami sejarah dan proses pertumbuhan yang cukup panjang, serta memiliki berbagai variasi dalam masingmasing rinciannya. Sebagian ide memiliki asal usul dalam pikiran filosofis lama, sebagian lainnya justeru berkembang di kalangan praktisi, khususnya diantara para pedagang. Sebagian besar pertumbuhan ide tersebut dapat ditelusuri dua abad ke belakangnya, mulai dari awal abad 16. Bahkan, kebanyakan pandangan menghubungan kapitalisme dengan ide-ide masa awal pencerahan Eropa. Yang banyak dikemukakan adalah pemikiran Individualisme, Humanisme, Protestanisme, Liberalisme dan Pragmatisme. Pada kurun waktu belakangan, istilah liberalisme lebih sering dipakai untuk mewakili sebagian besar ide-ide yang tumbuh subur pada abad 17 dan 18 di Eropa. Seperti yang dikatakan Karl Popper bahwa asas liberalisme menuntut agar pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan individu yang tak terhindari dengan adanya pergaulan sosial sedapat mungkin dikurangi. Salah satu landasannya yang cukup ‘operasional’ dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara adalah rumusan John Locke yang mengatakan bahwa manusia adalah miliknya sendiri. Negara didasari pada suatu perjanjian yang dijalani manusia dalam rangka melindungi hak-hak mereka atas kebebasan, hidup dan milik. Pikiran-pikiran John Locke lah yang banyak dianggap dikembangkan lebih lanjut oleh Montesquieu, Immanuel Kant, Thomas Jefferson, John Stuart Mill dan banyak tokoh lainnya. Adapun sebagai rangkaian ide utuh yang mencakup setidaknya keempat gagasan dasar yang disebut di atas, maka Adam Smith dianggap yang pertama kali paling komprehensif mengutarakannya melalui buku An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations (1776). Sumbangan terbesar dari Adam Smith, selain Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 217 mengkompilasinya, adalah menegaskan apa yang dimaksud dengan mekanisme pasar. Dia menyebut adanya the invisible hand yang akan mengatur alokasi sumber daya secara efisien jika kebebasan individu dijamin dalam aktivitas ekonominya. Sebagai sesuatu yang “hidup”, kapitalisme justeru lebih tampak pada kaum pedagang dan industrialis pada abad 17-18. Mereka lah yang mempraktekkan nilai-nilai kapitalisme, sekalipun tidak dirumuskan sebagai suatu doktrin yang ketat atau sebagai suatu wacana ilmiah. Mereka pula yang memperjuangkannya menjadi cara hidup yang kemudian berangsur-angsur diterima oleh masyarakat luas. Pengertian memperjuangkan di sini tidak bersifat sloganistik, melainkan secara nyata, berupa: upaya agar hak milik pribadi semakin luas diterima; persaingan bebas diperkenankan secara adil, dimana negara bertindak menjaga aturan mainnya serta menjaga ketertiban dan keamanan; serta membentuk “harga-harga” atas semua barang dan jasa. Pada fase itu pula, kapitalisme sebagai ide mulai mengambil “bentuk” yang lebih nyata dan kuat dalam kehidupan masyarakat. Secara bertahap, berbagai institusi sosial politik menjadi amat terpengaruh, bahkan berhasil dikendalikan. Salah satunya adalah bentuk negara beserta tatacara pengelolaannya. Para pemilik modal besar (sekalipun bukan dari kaum bangsawan terkemuka) mulai bisa secara langsung mempengaruhi pengambilan keputusan politik, tanpa harus selalu melakukan suap kepada penguasa. Puncaknya adalah pada pertengahan abad 19, ketika Marx memberi nama semua fenomena tersebut, ide dan fakta sosial ekonomi, sebagai kapitalisme. Adam Smith sendiri banyak menggunakan istilah merchant-society (masyarakat dagang), sedangkan Hegel menyebutnya civil-society (masyarakat sipil). Segala sesuatunya sudah sangat terlihat berbeda dari fase-fase kehidupan masyarakat 218 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA sebelumnya. Semua pemikir cerdas telah menyadarinya, namun Marx yang paling mampu mengidentifikasikan dengan jelas dan lugas. Sekadar ilustrasi, kita bisa membayangkan era dimana dirasakan adanya dekonstruksi dan hancurnya sistem masyarakat feodal. Pada saat bersamaan dan pada waktu berikutnya terlihat beberapa fenomena seperti: meluasnya pertukaran dan pemakaian uang; pertumbuhan sektor keuangan; perkembangan teknik produksi yang baru, yang bahkan mampu menciptakan jenis-jenis komoditi baru pula; adanya hubungan produksi yang baru, antara lain ditandai dengan besarnya jumlah buruh upahan; tumbuhnya sekelompok orang kaya yang berhasrat dan memang tebukti menjadi semakin kaya; terjadinya perubahan dalam kekuatan-kekuatan yang menentukan dinamika politik kenegaraan, termasuk semakin kuatnya negaranegara nasional; dan lain sebagainya. Marx sendiri menyoroti kapitalisme dari berbagai sudut pandang. Dia tak begitu tertarik dengan Kapitalisme sebagai ide. Bahkan, dia cenderung mengatakan bahwa ide adalah sesuatu yang semu, tidak nyata. Ide hanya semacam bayangan atau derivasi dari fakta, khususnya fakta sosial ekonomi. Dengan sendirinya, kapitalisme lebih dipahami sebagai suatu struktur sosial yang dinamis. Tepatnya sebagai cara berproduksi (mode of production), yang berbeda dari masyarakat sebelumnya, dan akan berubah di kemudian hari. Konsisten dengan itu, kapitalisme dapat pula dilihat sebagai formasi sosial (social formation) dengan ciri tertentu. Bisa dikatakan bahwa formasi sosial adalah penyebutan untuk hubungan produksi (relasi sosial yang menopang cara berproduksi) dalam arti yang lebih kompleks dan menyeluruh. Ada baiknya kita mengetahui rumusan dari Howard dan King, sebagai salah satu tafsiran mengenai definisi Marx tentang kapital- Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 219 isme. Menurut mereka, Marx mengatakan, kapitalisme didasarkan pada empat ciri utama. Pertama, kapitalisme dicirikan oleh produksi komoditi (production of commodities). Produksi komoditi bermakna sebuah sistem dimana aktivitas ekonomi dilaksanakan oleh agen-agen yang independen namun dikoordinasikan oleh pasar pertukaran. Di masa pra-kapitalis aktivitas komersial memang telah ada namun tidak dominan, dan baru bersifat dominan pada kapitalisme. Kedua, adanya kerja-upahan (wage-labour). Tenaga kerja manusia berubah menjadi komoditi, bersamaan dengan kemunculan sistem kerja-upahan, dimana buruh bebas menjual tenaga kerja yang dimilikinya. Ketiga, kehendak untuk menumpuk kekayaan tanpa batas (acquisitiveness). Motivasi dan tujuan utama seorang kapitalis adalah akumulasi kekayaan, bukannya pada bentuk-bentuk tertentu dari kekayaan seperti tanah atau yang lainnya. Keempat, kapitalisme dicirikan oleh organisasi yang rasional. Organisasi semacam itu akan memungkinkan tujuan kapitalis dapat terwujud secara penuh. Akan terus ada pencarian dan pengadopsian alat-alat produksi yang terbaik. Sebagai contoh, salah satu organisasi rasional yang paling dimanfaatkan adalah Negara. Terlepas (jika kita tidak setuju sepenuhnya) dari pandangan Marx, kita memang dapat memberi arti Kapitalisme sejak abad ke 19 sebagai suatu formasi sosial. Formasi sosial yang dimaksud meliputi struktur sosial atau susunan masyarakat, mekanisme produksi, serta kinerja (performa) ekonomi yang utama. Secara singkat, kapitalisme dapat didefinisikan sebagai tatanan sosial kemasyarakatan yang didominasi oleh para pemilik modal, dimana mekanisme harga (pasar) menjadi cara pemecahan masalah yang utama dalam menentukan produksi, konsumsi dan distribusi. Tambahan ciri lain pada definisi tersebut adalah terjadinya penghisapan surplus ekonomi (nilai tambah dari perkembangan 220 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA produksi) secara terus menerus oleh kaum kapitalis (pemilik modal) atas yang lainnya, terutama atas kaum buruh. Ciri ini berkembang, dimana penghisapan surplus ekonomi mengambil berbagai bentuk, tidak lagi sekadar atas tenaga kerja. Dimulai sejak era Kolonialisme atas banyak negara, surplus ekonomi juga diambil dari berbagai wilayah di belahan dunia, atas kekayaan alamnya dan juga atas para petani. Bentuk hubungan produksi yang utama dalam kolonialisme adalah penyerahan (termasuk perdagangan) paksa, tanam paksa, dan kerja paksa. Variasi yang agak unik terjadi sejak pertengahan abad 20, setelah hampir seluruh negara menyatakan diri merdeka dari penjajahan atau kolonialisme. Telah lahir dan tumbuh kaum kapitalis domestik (mereka yang tergolong memiliki modal besar untuk ukuran domestik), yang berperan sebagai antek atau kaki tangan kaum kapitalis negara-negara kaya. Kaum kapitalis domestik umumnya adalah konco (kroni) para penguasa. Bahkan banyak dari pejabat atau mantan pejabat, sipil dan militer, yang berasal atau kemudian menjadi pengusaha (kadang dijalankan dalam waktu bersamaan). Kebanyakan industri di NSB dikembangkan untuk menjadi bagian dari proses produksi internasional. Kerjasama antar mereka juga cukup mampu mengatasi kemungkinan berkembangnya semangat anti asing di masing-masing NSB. Fenomena ini tetap bertahan sampai dengan sekarang, sekalipun kadang terjadi konflik mengenai soal besarnya pembagian surplus. Selain itu, seperti yang dikatakan Mansour Fakih (2004), berakhimya era kolonialisme, dunia memasuki era ‘neokolonialisme,’ dimana modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi. Fase kedua ini dikenal pula sebagai era developmentalism. Dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 221 dilanggengkan melalui kontrol terhadap teori dan proses perubahan sosial. Teori pembangunan menjadi bagian dari media dominasi, karena teori tersebut direkayasa untuk menjadi paradigma dominan untuk perubahan sosial Dunia Ketiga oleh negara Utara. Dengan kata lain, pada fase kedua ini kolonialisasi tidak terjadi secara fisik, melainkan melalui hegemoni yakni dominasi cara pandang dan ideologi serta discourse yang dominan melalui produksi pengetahuan. Pembangunan memainkan peran penting dalam fase kedua ini, yang akhimya nanti juga mengalami krisis. Variasi perkembangan yang lebih mendasar adalah mengenai peranan lembaga-lembaga internasional sebagai alat kaum kapitalis. Sebelum abad 20, alat utama kaum kapitalis adalah negara nasional (nation state), selain korporasi (perusahaan) mereka sendiri. Berikutnya, korporasi mereka tumbuh pesat dengan surplus ekonomi yang amat besar, sehingga menjadi perusahaan multinasional (MNC). Lembaga-lembaga internasional, yang lebih bersifat kemanusiaan, seperti PBB, dimanfaatkan sedemikian rupa. Setengah abad berikutnya adalah pertumbuhan bagi lembagalembaga pembangunan internasional yang “dikemas” sebagai sarana untuk membantu semua negara (Bank Dunia, IMF, ADB, dan sebagainya). Ada pula forum-forum internasional yang bersifat semi kelembagaan yang mampu melakukan “tekanan” agar best practices atau tatacara bertransaksi (barang, jasa, dan keuangan) tertentu bisa diselenggarakan, diantaranya adalah WTO dan BIS. Dan dalam dua dasawarsa terakhir, tanpa sungkan, diproklamirkan bahwa lembaga keuangan komersial dengan pasar uang dan pasar modal yang mengglobal, sebagai institusi terpenting dari perekonomian modern. Pandangan Dos Santos tentang hubungan antara negara-negara kaya di pusat dengan negara-negara miskin di pinggiran, yang dikemukakan pada pertengahan tahun 70-an masih relevan untuk di 222 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA simak. Dos Santos mengklasifikasikannya ke dalam tiga jenis, yaitu: ketergantungan kolonial (colonial dependence), ketergantungan industri keuangan (industrial-financial dependence), dan ketergantungan teknologi industri (technological-industrial dependence). Masing-masing jenis ketergantungan terkait dengan sejarah pertumbuhan kapitalis di pusatnya, serta sejarah negaranegara terkebelakang itu sendiri (Sritua Arief dan Adi Sasono, 1984 dan Arief Budiman, 1996). Secara cermat, Dos Santos menguraikan tentang faktor luar dan faktor dalam dalam perkembangan ekonomi kapitalis di negara-negara pinggiran, yang mengakibatkan terjadinya bentuk khusus yang disebutnya sebagai kapitalisme yang tergantung (dependent capitalism). Ketergantungan didefinisikannya sebagai suatu keadaan yang mengakibatkan aktivitas pengelolaan dan upaya-upaya menciptakan kemajuan perekonomian dari sekelompok negara tertentu didikte dan diatur oleh negara-negara lainnya (Todaro, 2002). Buku ini berpendapat bahwa pandangan dasar Dos Santos tersebut masih berlaku saat ini. Hanya saja, bentuk dan jenis ketergantungan yang terjadi menjadi semakin kompleks. Sebagai contoh, ketergantungan industri keuangan yang lebih kompleks ditandai oleh arus modal yang lebih cepat (sering berjangka pendek), dan arahnya bisa bolak-balik antara negara-negara pusat dan pinggiran. Begitu pula dengan ketergantungan teknologi industri yang lebih sulit diidentifikasi mengingat penyebaran pabrikan dan lisensi dari teknologi yang dipakai. Salah satu kelemahan pandangan Dos Santos jika diterapkan pada kondisi yang lebih mutakhir adalah penekanannya pada istilah negara-negara pusat, yang terasa berlebih dan sebagian sudah tidak relevan saat ini. Kompleksitas transaksi dan hubungan ekonomi mutakhir lebih mungkin difahami dengan melihat korporasi sebagai Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 223 alat utama para pemodal dibandingkan institusi negara. Sebetulnya, analisis Dos Santos pun telah mengidentifikasi hal ini, namun agak tersamarkan oleh peran negara. Hal tersebut bisa difahami karena tahap perkembangan Kapitalisme yang diamati memang masih demikian, dan korporasi cenderung memiliki ”kebangsaan” yang jelas. Sementara pada saat ini, korporasi multinasional memang benar-benar antar bangsa jika dilihat dari banyak aspeknya. Kembali kepada soal perkembangan ide-ide. Telah tergambarkan bahwa gagasan-gagasan awal dari yang nantinya disebut kapitalisme, berasal dan tumbuh dari berbagai kalangan berbeda, yang kadang tidak saling berhubungan secara langsung. Mulai dari filsuf, akademisi, pedagang, politisi, sampai dengan seniman. Dapat dikatakan bahwa sejak pertengahan abad ke 19, kapitalisme telah memiliki bentuk yang utuh, sebagai ideologi, sistem ekonomi, dan yang terpenting sebagai formasi sosial. Sejak saat itu, pemikiran dalam kapitalisme sendiri terus tumbuh, dan memiliki varians yang cukup banyak. Varians ide atau pandangan dalam beberapa masalah pokok ekonomi adalah yang paling sering mendapat perhatian. Wajar saja, oleh karena yang menjadi fokus dari sudut pandang apa pun dalam kapitalisme berakar pada probem dasar ekonomi. Jadi bukan kebetulan, jika ilmu ekonomi dan ekonom, makin memiliki peran yang sentral. Perhatikan pula ketika ilmu ekonomi pembangunan menjadi amat populer beberapa dasawarsa lalu, kemudian kembali ke ilmu ekonomi makro dalam dua dasawarsa terakhir. Belakangan, ilmu dan ahli keuangan (semula hanya cabang ilmu ekonomi) yang mengambil alih posisi ilmu ekonomi pembangunan dan ilmu ekonomi makro. Sementara itu, ilmu dan ahli manajemen, khususnya bidang pemasaran, selalu menjadi penunjang penting dalam semua kurun waktu. 224 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Perkembangan pemikiran para ahli ekonomi, keuangan dan manajemen tersebut kemudian membentuk semacam gugus atau rumpun pemikiran. Sering ada identifikasi mengenainya, kadang disebut sebagai aliran atau mazhab dalam kapitalisme. Taksonomi atas aliran tersebut biasa dikaitkan dengan dominasi idenya terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi pokok (sering diindikasikan oleh jabatan publik atau profesinya), yang dilaksanakan oleh unsur-unsur utama dalam formasi sosial dari kapitalisme. Unsur dimaksud dapat berupa negara nasional, lembaga ekonomi dan keuangan internasional, serta korporasi multinasional. Dalam konteks pemikiran, kebijakan, serta pelaku utama itulah kita dapat memahami secara lebih tepat tentang beberapa aliran dalam Kapitalisme. Aliran pemikiran dimaksud antara lain adalah: liberalisme klasik, keynesianisme, monetarisme, dan neoliberalisme. Beberapa varians yang lebih “teknis” sebetulnya juga dapat diidentifikasi, seperti: merkantilisme, aliran rational expectation, institusionalisme, faham welfare state, utilitarianisme, dan sebagainya. Namun sebagian dari kumpulan gagasan tersebut telah diakomodir oleh aliran lainnya, atau telah diabaikan begitu saja. Dengan demikian, kita akan memahami neoliberalisme dalam kerangka perkembangan kapitalisme: sebagai ide-ide atau pemikiran; sebagai kebijakan-kebijakan yang dijalankan; sebagai realita ekonomi, yang merupakan hasil dan akibat; serta sebagai proses yang tengah terjadi. Aspek yang terakhir, sebagai proses, sangat penting dicermati karena neoliberalisme sendiri akan terus berkembang. Bisa hanya sekadar pematangan ide atau penyempurnaan pelaksanaan. Bisa jadi pula akan terjadi perubahan dominasi aliran dalam kapitalisme. 3. Ciri Utama Tatanan (Perekononomian) Kapitalisme Sebelum kita menelusuri lebih lanjut ikhwal neoliberalisme ini, kita perlu menegaskan kembali tentang satu ciri mendasar dalam Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 225 kapitalisme di atas. Ciri itu adalah terjadinya pengalihan surplus ekonomi kepada kaum pemilik modal, secara terus menerus. Surplus ekonomi itu kemudian diakumulasikan dan harus “disalurkan” kembali agar mendapat surplus berikutnya, yang juga diupayakan agar terjadi secara berkesinambungan (sustainable). Surplus ekonomi itu setidaknya didapat dari rente ekonomi (bunga dan sewa) dan keuntungan usaha produksi. Bagi yang berpandangan radikal, surplus itu sebenarnya mengandung “bagian” yang bukan haknya kaum kapitalis, melainkan terutama haknya para buruh. Surplus ekonomi pada awalnya, lebih banyak didapat dari upaya produksi dan perdagangan domestik. Kemudian tumbuh menjadi bersifat internasional, baik dari sisi pasaran, maupun pasokan barang atau bahan baku. Belakangan, surplus lebih banyak diperoleh dari upaya yang tidak bersifat produktif secara langsung, melainkan melalui sektor keuangan. Ditunjang pula dengan berbagai institusi dan mekanisme perdagangan dan keuangan internasional, yang memungkinkan perolehan rente ekonomi (rent seeking), tanpa harus bersusah payah. Dengan menelusuri mekanisme dasar dari perolehan surplus ekonomi itu, kita bisa mengerti tahap-tahap perkembangan kapitalisme, secara internasional. Masa merkantilisme (abad 16-17), dimana yang diandalkan adalah suplus dari perdagangan barang, baik yang bersifat domestik ataupun yang tela bersifat internasional. Masa kolonialisme (abad 18-20), dimana selain surplus perdagangan juga dapat diperoleh surplus akibat penyerahan (perdagangan) paksa, tanam paksa, kerja paksa, atau pengurasan SDA tanpa harus memberi konsesi. Kolonialisme, dilihat dari sisi teknisnya, dapat juga disebut sebagai perdagangan yang dipaksakan. Masa pasca kemerdekaan (1950-1970an), ditandai dengan surplus dari perdagangan internasional yang telah disempurnakan; diantaranya melalui 226 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA “manipulasi” nilai tukar perdagangan, serta investasi langsung (PMA). Masa sekarang, yang sudah berlangsung tiga dasawarsa, dengan surplus dari sektor keuangan; melalui transaksi modal dam transaksi moneter. Tentu saja mekanisme perdagangan barang yang menguntungkan belum ditinggalkan. Penelusuran akan mekanisme eksploitasi tersebut juga dapat memahamkan kita akan pertumbuhan lembaga atau institusi penunjang kapitalisme. Negara-negara nasional (nation state), khususnya negara kaya seperti Amerika dan Inggris, tetap berperan dalam semua kurun. Korporasi raksasa yang bersifat multinasional (MNC, seperti perusahaan minyak raksasa) mulai tumbuh pada akhir abad 19, menggurita pada pertengahan abad 20, sampai dengan saat ini. Korporasi raksasa di sektor keuangan (Bank, perusahaan reksa dana, dsb) menggejala sejak pertengahan abad 20, dan sangat dominan pada saat ini. Beriringan dengan itu, secara internasional telah tumbuh berbagai pasar komoditi (bersifat amat spesifik seperti: minyak, emas, kopi, tembakau, gula, dsb); pasar uang (berbagai bentuk); dan pasar modal (seperti bursa saham). Dan jangan lupa yang ikut tumbuh pula adalah Bank pemberi utang resmi (Bank Dunia, ADB, dsb); lembaga keuangan internasional (terutama IMF); forum kerjasama ekonomi internasional (seperti WTO); forum perbankan internasional (seperti BIS); dan sebagainya. Dan hanya jika dikaitkan dengan konteks tersebut, segala aliran pemikiran dalam kapitalisme dapat dikenali. Termasuk pula timbul tenggelamnya beberapa ide dasar dalam masing-masing aliran. Sebagai contoh adalah soal naik turunnya porsi peran negara yang disarankan dalam pengelolaan perekonomian nasional. Perspektif buku ini menolak pandangan (biasanya oleh para ekonom mainstreams) yang menyatakan bahwa sudah sejak lama tidak ada lagi perbedaan antara kapitalisme dan sosialisme, meng- Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 227 ingat bahwa semua negara berperan penting dalam kehidupan ekonominya masing-maing. Semua perekonomian dianggap berfaham ekonomi campuran (mixed economy). Pandangan semacam itu patut dicurigai karena menyembunyikan fakta adanya formasi sosial yang secara nyata didominasi oleh kaum kapitalis, sehingga lebih pantas disebut dengan kapitalisme. Belakangan, peran negara bahkan ingin diminimalkan secara terang-terangan dalam konsep neoliberalisme. Masalahnya dapat disederhanakan menjadi soal bagaimana para kaum kapitalis bisa mengamankan modal, mendapatkan surplus ekonomi, mengakumulasikannya, dan berupaya tumbuh terus menerus, tanpa batas. Tentu saja mereka cukup “berhati-hati” agar semua berlangsung dengan tidak “menghancurkan” formasi sosial yang sudah terbentuk lebih dari satu abad. Tidak semua surplus ekonomi mereka ambil dan nikmati, dimana sebagiannya harus dibelanjakan untuk jaminan bagi keberlangsungan sistem, serta bertahannya formasi sosial yang ada. Tidak mengherankan jika wajah kemanusiaan juga memperoleh perhatian besar dalam kapitalisme. Perlu ditegaskan bahwa memang benar telah terjadi kemajuan material, produksi dan konsumsi barang dan jasa, yang nyata. Yang dipersoalkan adalah adanya sebagian umat manusia, cukup banyak, yang sama sekali tidak mengalami kemajuan dalam beberapa abad dominasi kapitalisme. Sebagian besar lainnya hanya menikmati sangat sedikit bagian dari kemajuan tersebut. Padahal semua mereka, secara langsung terlibat atau dipaksa terlibat dalam proses produksi. Secara tidak langsung, dengan berbagai cara, hak-hak mereka atas kekayaan alam (SDA) negerinya diambil pula. Agar mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kapitalisme dewasa ini, ada baiknya kita menyimak identifikasi dari James Petras dan Henry Veltmeyer (2002) mengenai struktur kunci 228 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA dalam sistem kapitalisme. Mereka menyebut lima hal untuk menggambarkan kapitalisme untuk kurun waktu sejak akhir abad 19 sampai dengan akhir tahun 1960-an. Pertama, konsentrasi dan sentralisasi modal yang berlangsung pada dekade-dekade akhir abad 19, dalam konteks krisis sistemik pada akhir tahun 1870-an, mengakibatkan berkolaborasinya industri besar dan bentuk-bentuk pembiayaan modal, tumbuhnya berbagai monopoli perusahaan, pembagian teritorial dunia menjadi koloni-koloni, ekspor modal, dan perluasan pasar ke seluruh dunia berdasarkan pembagian kerja antara negara-negara yang khusus memproduksi barang-barang manufaktur dan negara-negara yang berorientasi pada komoditi dan bahan-bahan mentah. Kedua, pengadopsian model Fordist atas akumulasi dan mode regulasi menghasilkan sebuah sistem produksi massal dan manajemen buruh secara ilmiah dalam kegiatan produksi pada berbagai formasi negara bangsa (nation-state). Ketiga, adanya sejumlah reformasi sosial ekonomi (di bawah tekanan serikat buruh dan partai kiri) yang menciptakan kondisikondisi politik bagi keseimbangan modal-buruh berdasarkan produktivitas buruh, redistribusi sosial pendapatan yang diperoleh dari pasar, dan legitimasi sebuah negara kapitalis dengan programprogram sosialnya (kesejahteraan, kesehatan dan pendidikan) dan jaminan penghapusan pengangguran. Keempat, dalam konteks pembagian dunia menjadi Timur-Barat pasca Perang Dunia II, yakni hegemoni Amerika Serikat dalam sistem perekonomian dunia, proses dekolonisasi dan kesepakatan Bretton Woods untuk membentuk tatanan ekonomi dunia yang liberal menciptakan sebuah kerangka bagi angka pertumbuhan ekonomi dan perkembangan kapitalisme yang cepat secara terus menerus selama dua puluh lima sampai tiga puluh tahun. Dengan kerangka ini pula, Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 229 banyak negara sedang berkembang digiring ke dalam proses pembangunan, yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan- kemajuan dalam pembangunan sosial yang tinggi. Kelima, negara dalam banyak contoh dikonversi menjadi agen utama bagi pembangunan nasional yang mengimplementasikan model ekonomi yang bersendikan nasionalisme, industrialisasi dan modernisasi, proteksi terhadap industri domestik dan penguatan serta perluasan pasar domestik untuk menyatukan kelas pekerja dan produsen-produsen langsung. Kotak 4.1 Ringkasan perkembangan Kapitalisme Catatan: Periode ketiga dan keempat berimpit; sebagian besar sumber perolehan surplus dan instrumen periode ketiga masih sangat penting, namun sumber dan instrumen khusus yang tercantum, tumbuh lebih pesat. B. Neoliberalisme Sebagai Bentuk Mutakhir dari Kapitalisme Neoliberalisme sebagai gagasan sudah dikenal sejak tahun 1930- an. Sebagai bagian dari perkembangan pemikiran ekonomi kapitalisme, konsep ini adalah kelanjutan dari konsep liberalisme. Seperti Periode Sumber surplus yang utama Instrumen yang utama Abad 16-17 Abad 18-20 1940an-1970an 1980an-sekarang Perdagangan dalam dan luar negeri Perdagangan, kolonialisme (tanam paksa, kerja paksa, eksplorasi secara paksa,dll) Perdagangan internasional, PMA, dan Utang Luar Negeri Perdagangan bebas, transaksimodal, transaksi keuangan Perusahan swasta, negara Kongsi dagang, negara MNC, negara, lembaga kreditur internasional, pemerintah, kapitaliskroni Lembaga keuangan komersial IMF, WTO, BIS, pasar uang dan modal 230 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA yang telah diutarakan di atas, kapitalisme itu sendiri lebih kita definisikan sebagai formasi sosial. Liberalisme klasik, neoliberalisme, Keynesian dan sebagainya adalah konsep tentang mekanisme dalam formasi tersebut, khususnya yang berkenaan dengan pokok-pokok kebijakan ekonomi. Perbedaan diantara varians kapitalisme itu antara lain adalah: tentang apa yang mestinya dilakukan atau tidak dilakukan oleh negara; seberapa besar “porsi” bagi mekanisme pasar; seberapa jauh kebebasan individu untuk kepemilikan dan persaingan perlu “dibatasi”, dan seterusnya. Sedangkan kesamaannya yang utama adalah pada kesepakatan akan kapitalisme sebagai formasi sosial; pengakuan akan kepemilikan pribadi dan kebebasan berusaha; serta mekanisme pasar sebagai “cara utama” memecahkan masalah ekonomi. 1. Perkembangan Neoliberalisme Ada tiga ide dasar dalam liberalisme (klasik) sebagai sistem atau tatanan ekonomi, yaitu: (1) pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) diakuinya kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi; dan (3) pembentukan harga barang-barang melalui mekanisme pasar yang sepenuhnya bebas. Gagasan pokok neoliberalisme dapat dipahami sebagai penyempurnaan ide dasar dari liberalisme klasik tersebut. Pemikir yang sering dianggap sebagai penggagas neoliberalisme (sebagai ide-ide sistematis) adalah Alexander Rustow, yang kemudian disempurnakan oleh para ekonom mazhab Chicago dan Mazhab Freiburger. Perbedaan yang paling mendasarnya dengan liberalisme klasik adalah pada ide tentang pembentukan harga pasar yang ternyata tidak bersifat alami, melainkan memerlukan campur tangan negara. Namun, penertiban pasar yang dilakukan negara itu adalah Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 231 melalui penerbitan peraturan perundang-undangan. Perlu dicatat bahwa maksudnya adalah agar mekanisme pasar bisa segera terbentuk dan operasional, tidak terintangi oleh faktor-faktor kelembagaan (seperti pranata sosial). Berkaitan dengan penertiban pasar ini, ada beberapa gagasan pokok tentang peranan regulasi negara dan apa yang dapat dilakukan oleh negara. Yang terutama adalah: (1) pengaturan persaingan usaha untuk mencegah monopoli dan kartel; (2) pengaturan pemungutan pajak untuk mendorong investasi dan pembagian pendapatan; (3) pengaturan ketenagakerjaan untuk menghindari terjadinya eksploitasi; dan (4) pengaturan sistem pengupahan, khususnya untuk menetapkan jumlah upah minimum (Baswir, 2006). Gagasan neoliberalisme yang awal ini kemudian agak “tenggelam”, karena varians yang lebih dominan sejak usai PD II sampai dengan era tahun 70-an adalah yang berasal dari Keynes dan Keynesian, semacam konsep negara kesejahteraan. Perbedaan paling pokoknya adalah mengenai “dosis” peran negara, yang lebih besar pada konsep Keynesian. Peran negara tidak sekadar penertiban agar mekanisme pasar bisa beroperasi dengan baik melalui regulasi. Melainkan memang ada intervensi, dimana negara (pemerintah) menjadi pelaku ekonomi (sebagai produsen dan konsumen) yang amat menentukan keadaan pasar. Kondisi perekonomian Eropa Barat ketika itu memang tengah membutuhkan “dorongan” negara agar memulihkan infrastruktur yang hancur akibat perang, dan akan lebih efektif jika negara campur tangan secara aktif. Sementara itu, di negara-negara yang baru merdeka, para pemilik modal internasional lebih suka berurusan dengan kaum elit (diktator atau oligarki) yang menguasai negara, seperti yang terjadi dalam kasus Indonesia. Mulai awal tahun 80-an, gagasan neoliberal kembali ke permukaan, dimana Reagan dan Thatcher adalah pemimpin negara adi- 232 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA daya yang menjadi ujung tombak kebangkitan varians pemikiran kapitalisme jenis ini. Perkembangan perekonomian di Amerika Utara dan Eropa Barat membutuhkan taktik dan teknik baru (seperti pengurangan pajak, pelonggaran aturan tertentu, kemudahan mobilitas modal, dsb). Gagasan neoliberal kemudian menjadi dominan sejak pertengahan 90-an, termasuk di negara-negara sedang berkembang (NSB). Di NSB, sebagian besarnya, menjadi dominan karena pemaksaan atau “rekayasa” lewat ujung tombak kaum neoliberal lainnya, yaitu IMF. Salah satu ide terpentingnya, yakni pengurangan peran negara dalam perekonomian, mendapat momentum penerapan di negara industri dan di negara terbelakang. Kinerja perekonomian yang memburuk di berbagai negara (secara bersamaan maupun dengan sedikit perbedaan kurun waktu) dianggap disebabkan oleh kegagalan pemerintah (government failures). Yang disoroti di negara industri adalah soal membengkaknya pengeluaran pemerintah yang mengakibatkan defisit berkepanjangan, serta persoalan derivatifnya seperti: inefisiensi birokrasi dan efek kontraksi bagi investasi swasta (crowding out). Sedangkan di negara berkembang, soalnya diperparah oleh berbagai krisis yang dialami, seperti : krisis utang, krisis moneter, krisis neraca pembayaran internasional, dan lain sebagainya. Khusus untuk kondisi perekonomian negara-negara berkembang, yang sebagian besarnya sempat mengalami krisis (meskipun berbeda skala dan kurun waktunya), neoliberalisme memperoleh momentum ”sosialisasi” konsepnya. Pada awalnya, berbagai isi dari konsep itu agak tersamar dan disebarkan melalui berbagai forum dan program ekonomi internasional. Neoliberalisme juga lebih banyak ”bersembunyi” dibalik tema globalisasi. Konsepnya menjadi dikenal publik luas secara lebih sistematis ketika diperkenalkan oleh John Williamson sebagai Konsensus Washington Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 233 (Washington Consensus) pada akhir tahun 1980-an. Yang dimaksud adalah kesamaan pandangan lembaga-lembaga yang bermarkas di Washington (IMF, World Bank, dan US Treasury Department) mengenai rekomendasi kebijakan bagi negara-negara berkembang yang dilanda krisis. Tentu saja rekomendasi itu merupakan ”pemaksaan secara halus” karena lembaga-lembaga itu (dan yang berada di bawah pengaruhnya) memiliki kekuasaan atas banyak hal (seperti akses dana yang besar) yang dibutuhkan dalam mengatasi krisis. Pada tahun-tahun kemudian, Wiliamson mengakui bahwa Konsensus Washington memang merupakan konsep berdasar neoliberalisme. Kita bahkan bisa menyamakan penyebutan keduanya hingga kurun waktu sampai dengan akhir 1990-an. Pada dekade berikutnya memang ada beberapa revisi dari kalangan ekonom neoliberal sendiri atas Konsensus Washington. Akan tetapi neoliberalisme tampak masih menjadi konsep utama yang dianut. Wacana globalisasi pun masih diandalkan sebagai sarana sosialisasi yang efektif. Terlepas dari hal itu, keberhasilan gagasan neoliberal (terutama Konsensus Washington) mudah diterima secara luas sebagai sebuah dogma pembangunan ekonomi juga terletak pada kesederhanaannya, sebagaimana yang disinyalir Stiglizt (2002). Rekomendasi kebijakan yang diturunkan dari butir-butirnya bisa dikelola dengan menggunakan instrumen serta indikator perekonomian yang sederhana. Indikator seperti tingkat inflasi, pertumbuhan pasokan uang (money supply), tingkat suku bunga, defisit anggaran dan perdagangan bisa dijadikan dasar bagi seperangkat rekomendasi kebijakan perekonomian makro dalam waktu yang relatif singkat. Lebih jauh dikatakan Stiglitz bahwa keunggulan lain dari Washington Consensus dalam merekomendasikan kebijakan adalah fokusnya pada isu-isu prioritas utama ekonomi makro, kemampuan- 234 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA nya menciptakan kerangka yang mudah dipahami serta relatif bebas dari subjektivitas pengamatan individu dan memberikan batasan yang jelas dengan memusatkan informasinya semata pada prasyarat dasar pembangunan ekonomi. Secara sederhana, Keynesian yang memberi porsi peran negara lebih besar, akan bertumpu pada kemampuan fiskal (keuangan) pemerintah. Untuk mendukung peran negara yang cukup besar dalam perekonomian, untuk membangun suatu negara kesejahteraan, pengeluaran atau belanja negara akan makin besar, yang berarti membutuhkan pendapatan yang makin besar pula. Di negara maju, pendapatan negara terutama sekali bersumber dari pajak. Sedangkan di negara yang belum maju, bersumber dari pendapatan sumber daya alamnya (SDA), serta dari Utang luar negerinya (ULN). Dalam konteks ULN inilah peran lembaga kreditur “bantuan resmi” internasional semacam World Bank/IBRD (Bank Dunia), ADB, dan lembaga sejenisnya menjadi sangat penting. Forum yang khusus untuk melayani suatu negara, atau kawasan tertentu, semacam IGGI/CGI adalah partnernya. Negara-negara kaya, lembaga kreditur bantuan resmi internasional, serta lembaga keuangan komersial internasional merupakan “pemasok” ULN. Sebagian besar ULN pada awalnya “dikemas” bersifat bantuan, sangat lunak. Perhatikan penyebutannya yang utama adalah Official Development Assistance (ODA), bantuan resmi pembangunan. Sebetulnya, negara-negara Eropa sendiri sempat dipasok ULN oleh Amerika melalui Marshal Plan, setelah berakhirnya PD II. Bahkan keberhasilan program tersebut dijadikan salah satu dasar argumen perlunya ULN bagi NSB. Namun banyak hal yang berbeda, terutama pada “kemampuan” memanfaatkan faktor ULN tersebut untuk membangun perekonomian. Negara-negara Eropa Barat, pasca PD II, menggunakan ULN untuk “pemulihan” perekonomiannya. Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 235 Sementara itu, NSB menggunakannya untuk “memulai” pembangunan perekonomian. Bisa diduga, hasilnya amat jauh berbeda, dengan sedikit pengecualian, seperti Korea Selatan. Mengalirnya ULN di NSB diikuti oleh Penanaman Modal Asing (PMA). PMA diterima dengan antusias, karena diharapkan akan menumbuhkan perekonomian: menaikkan pendapatan nasional, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan perolehan devisa melalui ekspornya. ULN lebih banyak dipakai untuk prasarana fisik dan sosial: jalan raya, pembangkit listrik, infrastruktur telekomunikasi, serta pembenahan birokrasi. PMA masuk ke sektor-sektor ekonomi yang menguntungkan di NSB, seperti : pengurasan Sumber Daya Alam (SDA), atau melayani “kebutuhan” yang meningkat dari sebagian masyarakat yang menikmati hasil pembangunan, seperti: kendaraan bermotor dan barang elektronik. Makin berkembang perekonomiannya, makin banyak sektor yang akan diminati, bahkan sampai kepada barang toilletres, seperti: shampo, sabun, parfum, dan sebagainya. Perhatikan hubungan antara ULN dan PMA. ULN memfasilitasi agar PMA bisa beroperasi dengan efisien. PMA, misalnya, tidak perlu membangun jalan raya, pembangkit listrik, prasarana telekomunikasi, serta sudah siap “dilayani” birokrasi yang lebih modern. Dan ada lagi proyek yang banyak didukung oleh ULN, yakni proyek di bidang pendidikan. Artinya, pasokan tenaga kerja terdidik juga sudah tersedia, dengan harga yang lebih murah daripada seluruhnya dibawa dari negara asal PMA. Berlalunya waktu, negara-negara kaya mulai kesulitan dengan peningkatan pengeluaran negaranya yang makin membesar. Sektor swasta mulai mengeluhkan pajak yang sudah terlalu besar. Dana untuk ULN mulai menipis, karena sebagian besar NSB mulai kesulitan membayar, sedangkan kebutuhannya makin meningkat. 236 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Pengurasan SDA tidak memberi keuntungan “super besar” seperti dahulu lagi, sekalipun sebenarnya masih besar. Salah satu sebabnya adalah muncul “kesadaran” bernegoisasi dari NSB, sekalipun mungkin hanya untuk kepentingan elit ekonomi dan politik yang meminta tambahan bagian keuntungan. Singkat cerita, gagasan neoliberalisme untuk mengurangi porsi peran negara menjadi lebih menarik dan layak dijalankan. Pasokan baru ULN tidak perlu sebesar dahulu lagi. Kebanyakan NSB telah memiliki sarana dan prasarana untuk melayani kebutuhan konsumsi dunia. Banyak pabrik industri yang justeru berada di NSB. Pengurasan SDA pun tidak memerlukan investasi “sebesar” dahulu, tinggal masalah “teknis” eksploitasi. Yang difikirkan mereka adalah bagaimana cara menguasai produksi tersebut secara terus menerus. Jalannya sudah selesai dirintis. NSB telah terjerat utang. Kapasitas terpasang dari pabrik-pabrik industri NSB masih bergantung pasokan impor, apalagi untuk pengembangan teknologi lebih lanjutnya. Dan yang paling penting “jaringan pemasaran” tetap dikendalikan. Namun semua ini dianggap masih belum menjamin, sehingga perlu direkayasa agar mekanisme perekonomian dunia dan di masing-masing negara tetap menguntungkan bagi negara-negara maju, atau tepatnya bagi pemilik modal besar (kaum kapitalis) di negara maju. Bahaya adanya nasionalisasi atau pun kesadaran regional atau kesadaran peradaban, seperti Islam, Amerika Latin, atau Cina, dinilai masih laten. Konsep neoliberalisme yang telah disempurnakan menyediakan cara yang efektif. Konsep paket kebijakan dari neoliberalisme yang telah disempurnakan tersebut tercermin dalam konsensus washington. Diantaranya yang terpenting adalah: liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi perdagangan, pengetatan anggaran belanja negara, dan privatisasi BUMN. Pada pokoknya, jika agenda-agenda Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 237 tersebut berjalan, maka proses pengalihan surplus ekonomi kepada kaum kapitalis, akan tetap terjamin. Tampaknya agenda yang pertama adalah yang akan sangat diandalkan dalam tahun-tahun mendatang ini. Volatilitas nilai tukar mata uang, fluktuasi indeks saham berbagai bursa, perbedaan suku bunga antar negara, dan semacamnya, adalah piranti teknis kaum kapitalis. Piranti teknis itu bahkan terkesan aman dan legal. Aman, karena kesadaran dan reaksi banyak orang di NSB sulit untuk tumbuh menjadi semacam nasionalisme ketika era kemerdekaan. Selain bentuknya yang makin canggih, para anteknya di NSB juga makin setia. Legal karena keputusan untuk meliberalisasikan sektor keuangan dinyatakan dalam perundangundangan negara bersangkutan. Sebagai perbandingan dalam penggambaran kapitalisme sejak akhir 1960-an hingga akhir 1990-an, kembali kita menyajikan pendapat James Petras dan Henry Veltmeyer (2002) secara panjang lebar. Beberapa dasar sistem kapitalisme menurut mereka (seperti lima hal yang disinggung di atas) mengalami gangguan yang sangat serius pada akhir tahun 1960-an sampai tahun 1970-an. Terdapat kondisi umum dari produksi yang relatif stagnan, produktivitas yang menurun, persoalan konflik modal-buruh, dan hal-hal lainnya yang memperkecil keuntungan yang bisa didapat oleh modal. Akibatnya ada beberapa respon strategis yang bisa diidentifikasi di seluruh wilayah kehidupan dari kapitalisme. Pertama, berbagai upaya pemerintah Amerika Serikat untuk mengatasi tekanan pasar dunia pada alat-alat produksinya. Termasuk dalam upaya ini adalah pembatalan kesepakatan Bretton Woods tentang standar emas yang tetap bagi kurs dolar, serta manipulasi nilai tukar dan suku bunga oleh The Fed. Kedua, relokasi operasi-operasi industri padat karya milik perusahaan transnasional untuk mencari buruh yang lebih murah. 238 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Dalam proses ini, muncullah pembagian kerja internasional yang baru yang ditandai oleh sebuah sistem produksi global baru berdasarkan operasi perusahaan-perusahaan transnasional dan cabang-cabangnya. Sekitar separoh dari nilai pasar dari operasi tersebut sebenarnya berupa transfer-transefer intra perusahaan. Ketiga, internasionalisasi modal dalam bentuk-bentuk yang produktif (investasi untuk memperluas perdagangan dan produksi) dan bentuk-bentuk yang spekulatif. Kekuatan penentu dibalik proses ini adalah kebijakan liberalisasi dan deregulasi. Strateginya dirancang dan dikembangkan oleh para ekonom yang tergabung dalam lembaga-lembaga keuangan internasional, dan diadopsi oleh seluruh pemerintahan di dunia yang dikuasai modal transnasional atau yang tunduk pada ketentuan-ketentuannya. Keempat, pembentukan dan pertumbuhan sebuah sistem produksi integral berdasarkan pembagian kerja internasional yang baru, operasi-operasi global dan strategi-strategi perusahaanperusahaan transnasional, kerangka kebijakan yang mendukung dan teknologi-teknologi baru. Kelima, pengadopsian metode-metode produksi yang baru dan flesibel berdasarkan model akumulasi pasca-Fordist dan mode (atau struktur sosial) regulasi modal dan buru. Keenam, pada tahun 1980-an dan 1990-an, modal secara langsung menyerang upah buruh, kondisi dan kepentingannya, serta kapasitasnya untuk mengatur dan menegosiasikan kontrak-kontrak mereka. Ketujuh, pembentukan Tatanan Dunia Baru diwujudkan dengan mendirikan IMF dan Bank Dunia, yang menentukan kerangka institusional bagi proses perkembangan kapitalisme dan perdagangan internasional yang bebas. Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 239 Kedelapan, restrukturisasi negara kapitalis untuk menjalankan proyek imperial. Meskipun terbukti bahwa negara merupakan agen bagi proses pembangunan global bertahan lama, kekuatan negara bangsa berkurang secara signifikan yang kemudian memberi jalan bagi masuknya pengaruh lembaga-lembaga internasional. Namun, pengamatan yang cermat atas lembaga-lembaga itu menunjukkan bahwa sejumlah negara-negara kapitalis maju mendominasi pengambilan kebijakannya. 2. Paket Kebijakan Konsensus Washington dan Kritik Atasnya Agar pembaca mendapat gambaran yang lebih baik, kita perlu membahas lagi mengenai paket stabilisasi yang diajukan diajukan Washington Consensus dalam menangani krisis ekonomi, baik yang terjadi di Amerika Latin maupun di Asia. Disinggung pula kritik mendasar terhadap paket itu, yang sebagian besarnya dikutipkan dari Stiglizt, ekonom ternama yang mulai memposisikan diri sebagai penentang gagasan ekonomi neoliberalisme. Sebagaimana telah umum diketahui dan telah sedikit disinggung di atas, konsensus washington mencerminkan pendekatan pasar bebas terhadap pembangunan yang (harus) dijalankan oleh negaranegara sedang berkembang. Konsensus yang awal, pada dekade 1980- an dan 1990-an, memiliki 10 butir kebijakan pembangunan yang amat direkomendasikan oleh Washington (IMF, Bank Dunia, dan lembagalembaga utama pemerintahan AS), yaitu: disiplin fiskal, peninjauan ulang prioritas pengeluaran pemerintah, reformasi perpajakan, suku bunga pada tingkat moderat yang ditentukan pasar, stabilitas nilai tukar yang kompetitif, mengamankan hak milik, deregulasi, liberalisasi perdagangan, lberalisasi keuangan dan penghapusan hambatan PMA, dan privatisasi BUMN. 240 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Belakangan, sejak akhir 1990-an, ada upaya mengkaji ulang konsensus tersebut oleh para pendukungnya sendiri. Namun, banyak yang menilai para neoliberalis itu bukan mengubah pandangannya secara radikal atau memperoleh pencerahan, melainkan hanya sekadar revisi atau penyempurnaan. Bisa dikatakan, revisi itu justeru bermaksud mengamankan prinsip pokok konsensus dengan modifikasi sejumlah resep pokok yang masih dianggap kurang. Bahkan, karakter neoliberalnya meningkat dalam beberapa hal, seperti pengembangan fleksibilitas pasar tenaga kerja. Dani Rodrik, pentolan neoliberlis yang berasal dari Harvard, menyebut gejala itu sendiri sebagai ”Perluasan Konsensus Washington” (Augmented Washington Consencus). Salah satu hasil modifikasi itu disebut sebagai konsensus Santiago (merujuk kepada Summit of the Americas tahun 1998 di Santiago, Cili). Dimensi penting dari konsensus baru ini adalah penekanan tanggung jawab pemerintah untuk berfokus pada pengentasan kemiskinan. Pembangunan dianggap tetap harus berbasis pasar, namun terdapat kegagalan pasar yang memerlukan peran aktif pemerintah untuk memperbaikinya (terutama melalui regulasi). Sedangkan pemerintah sendiri tetap direkomendasikan untuk tidak berkecimpung dalam usaha produksi langsung. Dalam praktiknya, ada banyak kebijakan ekonomi (yang lebih teknis lagi) yang diperlukan untuk mendukung 10 butir kebijakan pokok dari konsensus wahington. Beberapa diantaranya lebih diprioritaskan dibandingkan yang lain, termasuk segera diterapkan pada saat krisis akan diatasi. Kebijakan terpenting yang diajukan Washington Consensus adalah pengendalian inflasi. Seperti yang dikatakan Stiglizt (2002), argumen ilmiah yang diajukan bersandar pada tiga premis dasar. Pertama, inflasi menimbulkan biaya tinggi (costly) bagi perekonomi- Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 241 an sehingga harus bisa ditekan bahkan jika mungkin dihindari; kedua, ketika inflasi dibiarkan meningkat maka dia mempunyai kecenderungan untuk terus membumbung tanpa terkendali. Premis ini memberikan dorongan yang kuat bagi diberlakukannya tindakan dini pengendalian inflasi karena resiko kenaikan inflasi dipandang jauh lebih berbahaya jika dibandingkan efek negatif kebijakan antiinflasi terhadap pertumbuhan output perekonomian dan tingkat pengangguran. Ketiga, premis terakhir bagi pengendalian inflasi adalah pandangan bahwa penurunan tingkat inflasi merupakan suatu upaya yang mahal. Ini menyebabkan upaya untuk menekan inflasi selalu lebih didahulukan ketimbang misalnya, penekanan tingkat pengangguran untuk menghindari resiko timbulnya resesi di kemudian hari ketika pengendalian inflasi harus dilakukan saat inflasi sudah jauh melambung. Akan tetapi menurut Stiglitz (2002), sebenarnya bagi banyak negara berkembang seharusnya pengendalian inflasi bukan lagi menjadi proritas yang mendesak. Fokus yang berlebihan terhadap inflasi tidak saja bisa mendistorsikan kebijakan ekonomi dengan menghambat pencapaian pertumbuhan penuh dari output potensial, namun juga menciptakan hambatan-hambatan kelembagaan yang bisa menurunkan fleksibilitas perekonomian tanpa menghasilkan keuntungan yang memadai. Komponen selanjutnya dari paket stabilisasi makroekonomi adalah pengurangan peran pemerintah, serta pengendalian defisit anggaran dan neraca berjalan. Permasalahan yang timbul adalah ada dilema dalam masalah ini. Di satu sisi, banyak bukti menunjukkan bahwa defisit anggaran yang besar akan berdampak buruk terhadap kinerja perekonomian. Sedangkan di sisi lain, tiga cara yang biasa ditempuh untuk membiayai defisit semuanya bisa membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi perekonomian. 242 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Pembiayaan internal bisa meningkatkan suku bunga domestik, pembiayaan eksternal sering kali tidak berkelanjutan sedangkan pencetakan uang bisa menimbulkan inflasi. Tidak ada rumusan sederhana yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat defisit anggaran yang optimal. Defisit yang optimal sangat bergantung pada keadaan, seperti siklus perekonomian yang tengah berlangsung, prospek pertumbuhan mendatang, penggunaan pengeluaran pemerintah, ketangguhan pasar finansial serta tingkat tabungan dan investasi nasional. Begitu pula dengan tingkat optimal defisit neraca berjalan yang juga sulit untuk ditentukan (Stiglitz, 2002). Dengan demikian, paket stabilisasi yang seragam akan bermasalah dan sering menjadi destruktif bagi beberapa perekonomian. Kenyataannya pula, buruk baiknya defisit sangat bersifat kondisional, bergantung bagaimana penggunaan dana yang berasal dari defisit tersebut. Jika kebijakan stabilitas makroekonomi sepenuhnya merujuk pada Washington Consensus, seringkali ada pengaruh yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran, serta terjadi konstraksi perekonomian yang parah. Padahal, pengangguran berskala besar merupakan inefisiensi ekonomi yang mencerminkan banyak sumber daya produktif yang tidak termanfaatkan serta bisa menimbulkan masalah sosial yang pelik. Kebijakan lain yang dikedepankan adalah pentingnya penguatan sistem finansial, yang di Indonesia disebut dengan stabilitas sistem keuangan (SSK). Sayangnya, arti penting dari SSK lebih ditujukan sebagai upaya menghindari terjadinya kembali krisis ekonomi. Akibatnya, fungsi sistem finansial sebagai “perantara yang cerdas”, yang mengumpulkan dana dari pihak-pihak yang tengah mengalami kelebihan untuk dialokasikan kepada aktivitas oleh pihak lain, menjadi terganggu. Di Indonesia, hal ini diindikasikan oleh LDR perbankan yang amat rendah, serta menumpuknya dana di pasar Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 243 uang dan pasar modal. Sementara itu, sektor produktif mengeluh kekurangan dana atau merasakan mahalnya biaya modal. Memang harus diakui bahwa SSK diperlukan agar krisis tidak mudah terjadi lagi, namun keuntungan yang didapatkan dari stabilitas yang terjadi jauh melebihi biaya yang harus ditanggung. Sementara itu, juga kuat rekomendasi kebijakan berkenaan dengan stabilisasi nilai mata uang yang dinilai amat dibutuhkan untuk kekuatan dasar perekonomian serta mencegah melejitnya inflasi akibat meroketnya harga barang-barang impor. Rekomendasi ini didasarkan pada asumsi tentang reaksi pasar terhadap hal-hal yang bisa memulihkan kepercayaan serta fundamental ekonomi. Akan tetapi, Stiglitz (2002) mengingatkan bahwa kepercayaan dan fundamental ekonomi adalah dua hal terkait yang tidak bisa dipisahkan. Dapatkah kebijakan yang melemahkan perekonomian, khususnya sektor finansial, bisa memulihkan kepercayaan pasar? Jika perekonomian menghadapi tingkat inflasi yang tinggi sebagai akibat dari tingginya ekses permintaan agregat, naiknya tingkat suku bunga dipandang akan bisa memperkuat fundamental ekonomi dengan memulihkan stabilitas makro. Sedangkan dalam perekonomian yang tidak menunjukkan bukti yang mencukupi tidak akan menyeret perekonomian ke kemerosotan dan kemerosotan ini bersama dengan tingginya tingkat suku bunga, pada gilirannya, akan meruntuhkan sistem finansial. Stiglitz akhirnya menekankan bahwa stabilitas perekonomian makro dan pembangunan ekonomi jangka panjang membutuhkan sistem finansial yang kokoh. Namun proses bagi hal itu adalah penataan ulang sistem regulasi dan bukan liberalisasi sektor finansial. 244 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Kotak 4.2 Ringkasan Ide Pokok dan Agenda Utama Neoliberalisme Sumber: Todaro (2002) dan Baswir (2006), dengan perubahan C. Cara Agenda Neoliberalisme Disosialisasikan Ada berbagai macam cara agar agenda neoliberalisme, yang pandangan pokoknya berasal dari konsensus washington, secara umum dilaksanakan di Negara Sedang Berkembang (NSB), secara sukarela maupun terpaksa. Pertama, melalui penjelasan “akademis” tentang keuntungan-keuntungannya. Para ahli ekonomi dan keuangan di NSB “dicekoki” argumen yang sulit dibantah (meskipun kita telah memberi contoh sebagian bantahan dari Stiglitz). Ditambah lagi dengan sebagian dari para ahli ekonomi NSB itu memang diuntungkan secara finansial, melalui keahlian dan afiliasi politiknya. Sosialisasi gagasannya mulai dari pendidikan umum pada level S1 fakultas Ekonomi sampai dengan berbagai “bantuan teknik”, seperti: pelatihan dan penyediaan berbagai manual pelaksanaan bagi para staf ahli, birokrat dan bankir di NSB. Sangat mirip dengan cara pada saat mulai mengalirkan ULN dan PMA ke NSB beberapa dasawarsa Ide pokok Neolib yang awal Agenda utama neolib saat ini n Pengembangan kebebasan individu untuk bersaing di pasar n Kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui n Penertiban agar mekanisme pasar berjalan baik n Disiplin fiskal n Peninjauan ulang prioritas pengeluaran pemerintah n Reformasi perpajakan n Suku bunga pada tingkat moderat yang ditentukan oleh pasar n Stabilitas nilai tukar yang kompetitif n Liberalisasi keuangan dan Penghapusan hambatan PMA n Liberalisasi perdagangan n Privatisasi BUMN n Deregulasi n Mengamankan hak milik Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 245 lalu. Istilah mafia barkeley atau mafia poros washington, untuk kasus Indonesia, cukup menggambarkan tentang hal ini. Ada langkah lain yang bersifat lebih halus (sehingga perlu ekstra kritis untuk memahaminya), namun merupakan bagian dari cara, yakni mengembangkan ilmu dan teknik akuntansi (keuangan) yang sesuai. Langkah ini sudah berlangsung sejak lama (beriringan dengan pertumbuhan kapitalisme), dan pada era neoliberalisme sekarang hanya bersifat penyempurnaan. Dengan begitu, soal standarisasi akuntansi (“catat mencatat” dan perhitungan keuangan) saja sebenarnya tidaklah objektif atau bebas nilai, melainkan telah diformulasi untuk kepentingan kaum kapitalis. Sebagai contoh, salah satu yang mendasar adalah arti dan seluk beluk perhitungan nilai tambah dalam akuntansi (lihat Mulawarman, 2006). Ilmu akuntansi secara sistematis telah dirancang untuk menyembunyikan adanya eksploitasi terhadap tenaga kerja, pengrusakan lingkungan, serta monetarisasi (materialisasi) hampir semua unsur kemanusiaan. Kedua, pendiktean kebijakan yang harus dijalankan NSB melalui perjanjian dengan IMF. Perjanjian tersebut, dikenal dengan Letter of Intent (LoI), terpaksa dilakukan karena NSB butuh pasokan devisa buat mengatasi krisis keuangan yang dialami. Krisis tersebut umumnya berbentuk kemerosotan nilai tukar yang drastis dalam waktu singkat. Bentuk-bentuk krisis lainnya, sebagian merupakan derivasi dan ada juga penyebab dari krisis utama tadi, antara lain: defisit neraca pembayaran yang terus menerus karena ekspor tidak bisa mengimbangi impornya, atau karena pelarian modal keluar negeri (capital flight); krisis utang, dimana pembayaran cicilan dan bunga sudah tak tertanggungkan lagi; produksi domestik menjadi merosot tajam karena ketidakmampuan membiayai input yang harus dibeli dari luar negeri; iklim investasi yang tidak bergairah menyusul keadaan sektor keuangan yang tidak stabil; inflasi yang mulai tidak terkendali, dan sebagainya. Singkatnya, paket kebijakan dengan 246 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA gagasan dari konsensus washington, neoliberalisme, harus dijalankan NSB sebagai syarat pasokan bantuan dari IMF. Ketiga, rekayasa melalui lembaga-lembaga internasional, seperti World Trade Organisation (WTO) dan Bank for International Settlements (BIS), untuk menjalankan secara “sukarela” beberapa bagian dari agenda neolib. Yang dikembangkan antara lain adalah argumen “saling menguntungkan” bagi perdagangan bebas. Dalam kasus BIS yang dikedepankan adalah sistem keuangan dan perbankan yang dikesankan akan memperkuat daya tahan perekonomian suatu negara teradap goncangan eksternal. Sifat pemaksaannya dihaluskan, dimana jika tidak bersedia ikut, maka tak akan disertakan atau “dikucilkan” dari transaksi perdagangan internasional, termasuk transaksi keuangan (perbankan). Yang menarik dalam hal peran lembaga-lembaga internasional tersebut adalah kecerdikan untuk mengoptimalkan siklus naikturunnya pamor dari masing-masing lembaga. Di masa lalu, World Bank sangat berpengaruh, terutama sekali dalam rekomendasinya agar suatu negara di beri utang oleh negara industri atau lembaga keuangannya, serta akses kepada bantuan dari World Bank sendiri. IMF kala itu sudah eksis, namun “kurang aktif”. Baru kemudian setelah masalah neraca pembayaran internasional banyak negara bermasalah (yang sebenarnya bersumber dari masalah utang piutang luar negeri dan ketimpangan perdagangan internasional), IMF mulai berperan penting, bakan mengalami era keemasannya. Secara hampir bersamaan, WTO yang sejatinya cuma forum pertemuan, juga mulai naik daun terkait dengan topik perdagangan (yang lebih) bebas. Sekarang ini, pamor IMF mulai turun, dikritik dimana-mana dan utang terhadapnya segera dilunasi oleh banyak negara. Posisi World Bank sedikit membaik karena lebih banyak terlibat dalam tema kemiskinan. Semantara itu, kedudukan WTO masih naik turun, belum established. Akan tetapi, telah ada lembaga lain yang tengah Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 247 naik daun, yaitu Bank for Internatinal Settlements (BIS). BIS sejatinya hanya forum antar bank sentral, namun memiliki pengaruh kuat dalam soal penciptaan best practices bagi dunia perbankan dan sistem finansial pada umumnya. Bassel I dan Bassel II diakomodasi oleh kebanyakan negara, termasuk oleh Indonesia, yang ujungnya adalah liberalisasi sektor keuangan dan integrasi industri perbankan secara internasional. Keempat, perbaikan operasional perusahaan-perusahaan multinasional (MNC). Sebagian dilakukan agar memudahkan transfer keuntungan, atau dalam bentuk yang lebih luas adalah transfer pricing, yang dibuat menjadi rumit bagi pihak lain (para penentang) untuk difahami. Cukup sulit untuk menghitung secara akurat transfer pricing dari MNC yang beroperasi di suatu negara ke para pemilik modalnya, karena bisa melalui banyak cara (seperti: pembelian pasokan, pemasaran, penggunaan jasa, dsb dari jaringannya sendiri). Belum lagi jika memperhitungkan mekanisme pasar valuta asing dan pasar modal yang dimanfaatkan untuk hal tersebut. Siapa pun tidak mudah mencari nama individual (orang), siapa saja sebenarnya yang memiliki modal besar di dunia saat ini, mengingat tatacara persahaman dan obligasi yang berlapis-lapis. Selain itu, perbaikan operasional MNC dilakukan dengan perubahan wajah yang bisa bekerjasama dengan simbol domestik (perusahaan patungan, anak perusahaan, kepemilikan saham dominan, dsb), jika dibutuhkan. Wajah kemanusiaan dengan iklan di media masa atau dukungan (pendanaan) atas program yang bersifat sosial kerap dikedepankan. Hal ini lebih mungkin dilakukan jika bersamaan dengan cara kelima. Kelima, membangun hubungan yang makin kuat dan saling menguntungkan dengan kaki tangannya di NSB. Kaum kapitalis domestik, sebagai salah satunya, memang sempat mengalami hubungan yang buruk, namun proses jual beli korporasi domestik 248 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA dan transaksi keuangan yang terjadi, memperlihatkan ada kesepakatan baru yang tercapai. Pendukung utama lainnya adalah para politisi yang in power, serta para ekonom dan bankir yang sedang berposisi penting. Tema gerakan anti asing di banyak negara pada masa lalu menjadi pelajaran bagi modal internasional untuk membuat pola-pola yang lebih “rumit”, sehingga perlawanan serupa bisa diminimalkan. Orang kebanyakan akan sulit mengerti bahwa perusahaan rokok Sampurna adalah milik asing; begitu pula dengan bank BCA, dan hanya soal waktu bank lain yang sebagiannya masih disebut bank persero (pemerintah). Lihat pula ulasan tentang SUN di bab 2, di mana utang luar negeri sepertinya berkurang dan digantikan oleh utang dalam negeri, namun hakikatnya tetap saja lebih banyak kepada pihak asing. Pola bagi hasil atau kontrak karya dengan perusahaan asing dalam eksplorasi sumber daya alam dikesankan membaik (porsi domestik membesar), namun dicari kiat lain untuk mendapat keuntungan berlebih bagi modal internasional. Cermati soal penggelembungan ongkos operasional, cost recovery, dan jangan lupa berbagai taktik transfer pricing yang sophisticated (oleh karena jaringan bisnis internasional terkait dengan industri ini dikuasai sepenuhnya oleh mereka). Keenam, pendekatan “kultural”, mengembangkan tema globalisasi yang menjanjikan bagi perkembangan umat manusia. Tema ini disosialisasikan melalui media populer, cetak dan elektronik. Dunia yang satu, dan satu untuk semua, atau slogan sejenis dihembuskan kepada masyarakat luas di NSB, khususnya bagi yang terpelajar. Ketujuh, jika dianggap perlu, memecah belah komponen masyarakat, semacam divide et impera versi baru. Tema disintegrasi negara, konflik horisontal, kesenjangan pendapatan, dan semacamnya, kadang-kadang dipakai untuk mengamankan kepentingan mereka. Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 249 Setidaknya agar biaya modal menjadi lebih murah, mengingat tinnginya kemampuan negosiasi suatu negara yang kuat dan kohesif. Strategi yang dilaksanakan kadang bersifat moderat, yakni mengkondisikan agar tidak tercipta kohesivitas masyarakat dan negara kuat yang berpihak kepada rakyat banyak. Langkah semacam yang terakhir ini justeru suka ditampilkan dalam wajah demokrasi, yang oleh para pengkritik disebut dengan demokrasi pasar (lihat Pontoh, 2005). Semua cara tersebut diramu, kadang secara agak berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Strategi dasarnya tetap sama. Sebagian besar nya dikemas berupa janji manis akan terciptanya keadaan yang lebih baik. Tak sembarang janji, tetapi dengan penalaran yang sistematis. Sebagai percepatan sosialisasinya, ada pula unsur pemaksaan politik, melalui negara adi daya, IMF ataupun lainnya. Kotak 4.3 Ringkasan Cara agar Agenda Neoliberalisme dijalankan Negara Sedang Berkembang D. Dampak Dominasi Neoliberalisme bagi Perekonomian Negara Berkembang Ketika berbagai kebijakan neoliberalisme direkomendasikan ke hampir semua negara berkembang, paketnya digambarkan sebagai n Sosialisasi penjelasan akademis tentang keuntungan-keuntungannya n Pendiktean kebijakan melalui perjanjian dengan IMF n Rekayasa melalui lembaga-lembaga internasional, seperti WTO dan BIS, agar agenda diterima sukarela n Memperbaiki cara operasional MNC n Memperkuat hubungan mutualistik dengan para antek (domestik), terutama yang memiliki kekuatan dan akses yang besar dalam ekonomi dan politik n Pendekatan “kultural”, pengembangkan tema globalisasi yang diimajinasikan akan menguntungkan semua orang n Jika dianggap perlu, memecah belah komponen masyarakat, semacam divide et impera versi baru 250 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA satu-satunya jalan menuju kemakmuran ekonomi global saat ini. Para penganjurnya bahkan menjadi lebih bersemangat setelah satu sampai dua dasawarsa kebijakan neoliberalisme dijalankan. Negaranegara yang mengalami krisis pada pertengahan dan akhir tahun 1990-an justeru dianggap tidak menerapkan atau setidaknya kurang konsisten dalam penerapannya. Sementara itu, pembahasan kita telah mengarah kepada kesinambungan dominasi kapitalisme atas perekonomian dunia, dan neoliberalisme hanyalah bentuk mutakhirnya yang berlangsung hampir tiga dekade ini (terhitung sejak awal 1980-an). Segala macam ”janji” neoliberalisme harus ditelusuri sejak era-era sebelumnya, baik dari aspek konseptual maupun realita yang berkembang. Kita memang akan kesulitan memisahkan antara kehidupan dunia modern dengan kapitalisme. Segala macam kemajuan teknologi, peningkatan produksi barang dan jasa, taraf kehidupan rata-rata yang meningkat, dan lain sebagainya bisa saja diklaim sebagai bukti keberhasilan tatanan perekonomian kapitalisme. Kemajuan itu akan tampak jelas jika dilihat dari ukuran-ukuran teknis ekonomi, seperti : pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, nilai perdagangan antar negara, ketersediaan barang dan jasa, tingkat konsumsi, dan berbagai ukuran konsumsi lainnya. Jika kita sederhanakan, keberatan yang utama dari para pengkritik neoliberalisme adalah pada ketidakadilan dalam soal distribusi sumber-sumber ekonomi dan pendapatan. Ada ketimpangan yang lebar dan cenderung semakin melebar dalam perbandingan antara negara-negara yang industri maju dan yang sedang berkembang, dan antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin di seluruh dunia. Bahkan, ada pula yang melihat terjadinya perlambatan pertumbuhan produksi total dalam banyak komoditi penting sejak neoliberalisme menjadi konsep kebijakan yang dominan di seluruh dunia. Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 251 1. Klasifikasi Negara-Negara Berdasar Pendapatan Bank Dunia melakukan klasifikasi berdasar tingkat pendapatan nasional bruto (gross national income disingkat GNI) per kapita atas sekitar 208 perekonomian. Hampir semua entitas perekonomian yang dimaksud adalah negara nasional (secara politik), namun ada beberapa diantaranya tidak dalam pengertian negara merdeka. Bank Dunia membedakan mereka menjadi pendapatan rendah (low income biasa disingkat LIC), pendapatan menengah-bawah (lower-middle income disingkat LMC), pendapatan menengah-atas (upper-middle income disingkat UPC), pendapatan tinggi menurut OECD, dan negara-negara berpendapatan tinggi lainnya. Secara periodik batas angka GNI per kapita yang dijadikan ukuran klasifikasi mengalami perubahan. Perekonomian dengan GNI per kapita pada tahun 2005 (masih dipakai dalam laporan Bank Dunia tahun 2008) diklasifikasi sebagai berikut: kurang dari sampai dengan USD 905 disebut LIC; antara USD 906 sampai dengan USD 3.595 disebut LMC; antara USD 3.596 sampai dengan USD 11.115 disebut UPC; diatas USD 11.115 adalah high-income (OECD atau pendapatan tinggi lainnya). Perlu diketahui bahwa penggunaan istilah negara berkembang oleh PBB agak sedikit berbeda dengan klasifikasi tersebut. Perbedaan utamanya berkenaan dengan sebagian perekonomian yang tergolong pendapatan tinggi lainnya (seperti Kuwait, Qatar dan Uni Emirat Arab) yang tetap dianggap negara berkembang. Ukuran yang dipakai antara lain menyangkut soal tingkat pendidikan, akses kepada kesehatan, struktur ekspor, dan lain sebagainya. Ada sekitar 160 negara yang dianggap negara berkembang pada saat ini. Dari 208 perekonomian menurut sistem klasifikasi Bank Dunia berdasar GNI per kapita pada tahun 2005, ada 61 yang termasuk berpendapatan tinggi, dan 147 yang berpendapatan rendah dan menengah. Ada sekitar 5,49 miliar penduduk yang hidup di 147 252 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA perekonomian itu, atau sekitar 84,21 persen dari 6,52 miliar penduduk dunia (tahun 2006). Khusus di negara berpendapatan rendah (LIC) ada sekitar 2,40 miliar jiwa atau 36,87 persen dari penduduk total dunia. Sekadar gambaran awal dalam hal ini bisa disimak tabel 4.1, yang diolah dari laporan Bank Dunia tahun 2008, yang memakai data tahun 2005 dan tahun 2006. Perhatikan bahwa keadaan umum perekonomian dengan GNI per kapita yang rendah disertai pula dengan ciri-ciri lain yang secara perbandingan menunjukkan keadaan lebih buruk daripada kelompok pendapatan di atasnya. Ada soal pertumbuhan penduduk yang tinggi dan soal komposisi penduduk dengan persentase usia 0-14 tahun yang tinggi, yang mencerminkan tingkat ketergantungan pada penduduk usia produktif. Ada pula soal tingkat melek huruf dan tingkat harapan hidup. Dengan beberapa kalimat sederhana kita akan bisa menyimpulkan bahwa kurang dari seperenam penduduk dunia hidup di negara dengan GNI per kapita per tahun sebesar USD 37.528, yang hanya memiliki 18 % penduduk usia muda (yang hidupnya dianggap ditanggung oleh mereka yang berusia produktif), dengan kemungkinan bisa hidup selama 80 tahun dan hampir seluruh penduduk dewasanya bisa baca tulis. Sementara itu, sebagian besar penduduk dunia hidup dengan taraf yang berbeda. Secara lebih khusus, ada lebih dari sepertiga penduduk dunia hidup di negara berpendapatan rendah dengan GNI per kapita USD 650, dengan 36 % penduduk usia muda, harapan hidup sebesar 59 tahun dan hanya sekitar 61 % penduduk dewasanya yang melek huruf. Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 253 Tabel 4.1 Beberapa Indikator Pembangunan Menurut Kelompok Negara Sumber: World Development Report 2008, diolah Penggambaran ketimpangan secara indikator ekonomi (pembangunan) antara berbagai penduduk dunia ini akan terlihat lebih buruk jika yang dibandingkan adalah antara 20 persen penduduk dunia yang terkaya (yang sebagian besarnya hidup di negara berpendapatan tinggi) dengan 20 persen penduduk dunia yang termiskin (yang sebagian besarnya hidup di negara berpendapatan rendah dan menengah). Ketimpangan antara mereka semakin memburuk, terutama ketika neoliberalisme menjadi konsep pengelolaan ekonomi yang dominan di kebanyakan negara. Perhatikan tabel 4.2 dimana keadaan sejak tahun 1980 justeru semakin parah. Pada tahun 2000, posisinya adalah tujuh puluh lima kali lipat, yang besar kemungkinan akan memburuk lagi pada akhir dasawarsa ini. Tabel 4.2 Rasio Pendapatan 20% Penduduk Dunia Terkaya dan Termiskin Sumber: Todaro (2003) yang mengolah berbagai edisi Human Development Report dari UNDP Tahun Rasio 1960 1970 1980 1991 2000 30 banding 1 32 banding 1 45 banding 1 61 banding 1 70 banding 1 Kelompok Penduduk % usia 0–14 tahun GNI per kapita $(2006) Harapan Hidup (2005) % Tingkat Melek Huruf Juta (2006) pertumbuhan L P Low income Lower middle income Upper middle income High Income Dunia 2,403 2,276 810 1,029 6,518 1.9 0.9 0.8 0.7 1.2 36 25 25 18 28 650 2,037 5,913 37,528 7,439 58 69 66 76 66 60 73 74 82 70 61 89 94 99 82 254 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sesungguhnya, data-data di atas hanya mengindikasikan sebagian masalah akibat dominasi kapitalisme (yang saat ini berwujud neoliberalisme) bagi keadaan kebanyakan negara dan penduduk dunia. Kita bisa melihat pertandanya pula dalam keadaan umum perekonomian negara berkembang. Berbagai buku teks ilmu ekonomi pembangunan (yang berarti cukup diakui oleh ilmu ekonomi mainstreams) telah membahas berbagai ciri perekonomian tersebut selama beberapa dekade terakhir. Sejauh ini, segala rekomendasinya tidak memperbaiki keadaan secara berarti. Ciri-ciri negara berkembang itu yang masih menyolok antara lain: standar hidup yang rendah bagi kebanyakan warganya; pertumbuhan penduduk dan beban ketergantungan yang masih tinggi; struktur ekonomi yang terutama bergantung kepada produksi pertanian dan atau ekspor bahan-bahan mentah (seperti hasil pertambangan); perekonomian yang tergantung pada hubungan internasional (asing) dan amat rentan terhadap gejolak eksternal. Termasuk dalam ciri yang terakhir itu adalah keadaan utang luar negeri, arus keluar masuk modal asing, serta dominasi asing atas komoditi ekspor-impornya. Ketimpangan ekonomi antar negara pada dasarnya telah diindikasikan oleh hampir semua indikator yang dikenal dalam ilmu ekonomi. Diantaranya kita bisa memperhatikan soal arus perdagangan barang internasional, arus modal internasional, pemakaian energi, produktivitas tenaga kerja, kepemilikan atau penguasaan sumber-sumber ekonomi, nilai tukar komoditi, nilai tukar mata uang, dan lain sebagainya. 2. Tingkat Kemiskinan yang Amat Tinggi Kita sudah mengetahui bahwa keadaan umum penduduk di negara berkembang jauh berada di bawah negara industri maju. Namun perlu ditambahkan bahwa masih ada ketimpangan lagi Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 255 dalam kehidupan internal perekonomian negara bersangkutan. Standar hidup dari sebagian besar penduduknya sedemikian rendah, sehingga mereka biasa disebut penduduk miskin, baik dalam ukuran nasional maupun internasional. Jadi kita harus membaca GNI per kapita yang sudah rendah itu masih merupakan rata-rata dari sebagian mereka yang kaya dan sebagian yang miskin. Sekadar gambaran, kita bisa mencermati tabel 4.3 yang menyajikan tingkat kemiskinan dari beberapa negara berkembang (ada yang termasuk LIC, LMC dan UPC) yang memiliki jumlah penduduk besar. Ukuran kemiskinan USD 1 dan USD 2 per hari per kapita berarti adalah sekitar USD 360 dan USD 720 per tahun. Namun, cara perhitungannya sedikit rumit karena yang dimaksud adalah dalam ukuran yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli (purchasing power parity -PPP) negara bersangkutan. Kita tidak perlu menjelaskan di sini, karena dimaksudkan sebagai alat penggambaran keadaan kemiskinan dan ketimpangan saja. Yang jelas, masih ada sekitar seperlima penduduk dunia atau 1,3 miliar penduduk sangat miskin (ukuran 1 dolar) dan hampir separoh penduduk dunia jika ukurannya 2 dolar. Perhatikan bahwa dengan ukuran 2 dolar maka kebanyakan penduduk negara berkembang adalah miskin. Contohnya: Bangladesh (84 %), Ethiopia (77,8 %), India (80,4 %), Nigeria (92,4 %), dan Pakistan (73,6). Untuk Indonesia, menurut tabel adalah 52,4 %, sedangkan data yang lebih baru dari Bank Dunia (2007) hanya sedikit membaik, yaitu 49 %. Yang perlu dicatat adalah standar 1 dolar dipakai lebih belakangan, yang nampaknya berkaitan dengan terlampau tingginya jika yang dipergunakan adalah ukuran 2 dolar. Semula dimaksud untuk memprioritaskan penanganan mereka yang termiskin, namun belakangan jadi ukuran prestasi pembangunan. Sebagai contoh, proyek MDGs lebih suka memakai ukuran 1 dolar itu, sehingga ke- 256 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA majuannya lebih mungkin untuk diklaim sebagai keberhasilan proyek. Tabel 4.3 Tingkat Kemiskinan Beberapa Negara Berkembang Sumber: World Developmen Report, diolah Catatan lain, tabel 4.3 itu hanya menyajikan negara berkembang yang berpenduduk amat banyak, Sebagian diantaranya sebenarnya tergolong berpendapatan menengah atas (UMC), seperti : Brazil dan Meksiko. Ada banyak negara lain yang kondisinya lebih buruk dari sebagian negara dalam tabel itu. Diantaranya (angka dalam kurung merupakan jumlah penduduk pada tahun 2006) adalah: Angola (16 juta), Burkina Faso (14 juta), Burundi (8 juta), Kamerun (17 juta), Kamboja (14 juta), Pantai Gading (18 juta), Ekuador (18 juta), Ghana (23 juta), Uganda (30 juta), Srilangka (20 juta), dan beberapa negara lain yang berpenduduk jutaan pula. Kita pun harus memahami bahwa kemiskinan adalah penamaan kondisi yang kompleks, namun intinya adalah kesulitan melangsungkan hidup secara layak sebagai manusia. Mereka harus Negara Penduduk 2006 (juta) Garis kemiskinan nasional Garis kemiskinan internasional Tahun survei % miskin Tahun survei $1 a day $2 a day Bangladesh Brazil Kolombia Ethiopia India Indonesia Mesir Meksiko Nigeria Pakistan Philipina 144 189 46 73 1.110 223 75 104 145 159 85 2000 2002-03 1999 1999-00 1999-00 1999 1999-00 2004 1992-93 1998-99 1997 49,8 21,5 64,0 44,2 28,6 27,1 16,7 17,6 34,1 32,6 36,8 2000 2004 2003 1999-00 2004-05 2002 1999-00 2004 2003 2002 2003 41,3 7,5 7,0 23,0 34,3 7,5 3,1 3,0 70,8 17,0 14,8 84,0 21,2 17,8 77,8 80,4 52,4 43,9 11,6 92,4 73,6 43,0 Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 257 mengkonsumsi makanan dengan kalori yang tidak mencukupi, kesulitan mendapatkan air bersih, tinggal di rumah tak layak dan lingkungan yang amat tidak sehat, kurang mendapat layanan kesehatan, tidak mampu mengakses pendidikan yang baik, mendapat perlakuan buruk dalam layanan publik, serta berbagai ketidakberdayaan lainnya. Pada saat bersamaan, mereka sempat melihat dengan mata kepala sendiri (atau melalui media seperti televisi) cara hidup yang amat berkebalikan dari sekelompok orang lain. 3. Mitos Pembangunan Neoliberalisme Dalam kondisi kemiskinan dan ketimpangan yang buruk (antar negara, antar penduduk berbeda negara, dan antar penduduk dalam suatu negara) itu, para pendukung neoliberalisme tetap bersikukuh bahwa konsep mereka adalah yang paling mungkin untuk memperbaiki keadaan. Sekalipun sudah tidak setegas pada pernyataan awalnya dimana terkenal ungkapan ”tidak ada alternatif”, kaum neoliberalis masih terus mengedepankan keyakinannya hingga kini, dan hanya sedikit ”memperbaiki” konsep kebijakan yang dianggap kurang. Uraian berikut meminjam analisis Chang dan Grabel (2004) yang menyebutkan adanya enam mitos yang dikedepankan oleh kaum neoliberalis sebagai dasar dari berbagai kebijakannya. Disebut sebagai mitos karena ternyata tidak memiliki cukup dasar pembuktian yang kuat, setidaknya tidak sepenuhnya benar. Mitos itu adalah: negara kaya mencapai kemakmuran berkat komitmen yang kuat terhadap pasar bebas; neoliberalisme berjalan dengan baik; globalisasi neoliberal tidak dapat dan tidak akan berhenti; kapitalisme ala Amerika adalah sistem ideal yang mesti diikuti semua negara berkembang; model Asia-Timur itu unik, sedangkan model Anglo- Amerika itu universal; dan negara berkembang membutuhkan 258 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA aturan yang ditetapkan oleh institusi lokal pembuat kebijakan yang independen secara politik. Chang dan Grabel membongkar mitos itu satu per satu. Sebagai contoh, mitos pertama dibantah dengan mengajukan fakta-fakta bahwa negara-negara kaya itu dahulunya (bahkan masih berlangsung dalam tingkat tertentu) melakukan intervensi dan proteksi atau tidak terlampau menganut perdagangan dan arus finansial bebas. Sementara itu, kisah sukses sebagian negara berkembang justeru adalah karena program intervensi yang dirancang dengan baik. Mitos kedua dibantah dengan menunjukkan fakta bahwa neoliberalisme tidaklah membawa pertumbuhan perekonomian, bahkan dalam ukuran yang dianut oleh kaum neoliberalis itu sendiri. Disodorkan pula realita seperti: sistem itu terbukti tidak mampu menutupi biaya-biaya yang ditimbulkannya; kesenjangan dalam negeri dan antar negara yang semakin buruk; kemiskinan yang semakin parah dan kondisi sosial yang mengalami kemunduran; dan tidak menumbuhkan demokrasi seperti yang dijanjikan. Mitos ketiga yang dibangun atas argumentasi bahwa globalisasi digerakkan oleh kemajuan teknologi, sehingga menjadi amat mahal jika menolaknya, juga dibantah. Antara lain dikemukakan bahwa globalisasi bukan hasil akhir dari kecanggihan teknologi yang tak dapat dielakkan; bahwa penggerak utama dibalik globalisasi adalah keputusan politik, bukan teknologi; jaringan antara globalisasi dan neoliberal dapat dihancurkan. Mitos keempat dan kelima dikatakan Chang dan Grabel sebagai lebih didasarkan angan-angan mengenai kedigdayaan Amerika, bukan hasil analisa yang seksama dan obyektif. Dikatakan pula bahwa secara empiris justeru model Asia Timur telah memainkan peranan yang jauh lebih penting dalam mendorong pembangunan ekonomi di seluruh dunia. Yang jelas, model Anglo-Amerika justeru tidak universal. Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 259 Mitos keenam berujung kepada pelucutan peran politikus yang dipilih secara demokratis kepada para teknokrat yang mendasarkan diri pada aturan yang ditetapkan oleh institusi internasional. Masalahnya, sampai saat ini tidak ada bukti bahwa mengisolasi kebijakan dari proses politik telah meningkatkan kinerja perekonomian. Bahkan, yang terjadi adalah pemberian beban biaya yang berat pada sektor perekonomian domestik dan terutama pada segmen masyarakat yang paling rentan. Kotak 4.4 Ringkasan Argumen Dibalik Mitos Pembangunan Neoliberalisme Argumen Kontra Argumen n Negara kaya mencapai kemakmuran melalui perdagangan dan arus finansial bebas n Negara berkembang menderita karena mengadopsi kebijakan intervensi pasar n Rahasia sukses mereka bukan perdagangan dan arus finansial bebas n Kisah sukses sebagian negara berkembang karena program intervensi yang dirancang dengan baik n Neoliberalisme meraih sukses, ketika kebijakan lain gagal n Setelah berjalan dua dekade, neoliberalisme memang membuahkan hasil n Neoliberalisme tidaklah membawa pertumbuhan perekonomian, bahkan dalam ukurannya sendiri n Tidak mampu menutupi biaya-biaya yang ditimbulkannya n Memperburuk kesenjangan dalam negeri dan antar negara n Kemiskinan yang semakin parah dan kondisi sosial yang mengalami kemunduran di negara berkembang n Tidak menumbuhkan demokrasi n Globalisasi digerakkan oleh kemajuan teknologi n Akan menjadi mahal jika menjalankan kebijakan lain diluar neoliberalisme n Globalisasi bukan hasil akhir dari kecanggihan teknologi yang tak dapat dielakkan n Penggerak utama dibalik globalisasi adalah keputusan politik, bukan teknologi n Jaringan antara globalisasi dan neoliberal dapat dihancurkan. 260 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Neoliberaisme Sebagai Bentuk Mutahir Kapitalisme 261 Argumen Kontra Argumen n Konsep ekonomi baru tahun 1990an merefleksikan dinamisme dan keunggulan model ekonomi ala Amerika n Keunggulan model Amerika juga ditunjukkan oleh kegagalan ekonomi di Eropa dan Jepang n Didasarkan angan-angan mengenai kedigdayaan Amerika, bukan hasil analisa yang seksama dan obyektif n Tidak pernah ada konsep ekonomi baru di tahun 1990an n Ledakan ekonomi tahun 1990an tidak menguntungkan kehidupan masyarakat awam Amerika n Keruntuhan gelembung pasar saham Amerika mengindikasikan korupsi korporasi dan alokasi sumber daya yang salah kaprah n Banyak negara industri lain yang menunjukkan kinerja ekonomi sama atau lebih baik dari Amerika n Model Asia Timur tidak bisa diterapkan di luar wilayah itu karena kondisi budaya dan kesejarahannya n Model Anglo-Amerika sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal n Kesuksesan model Asia Timur tidak hanya bisa dijelaskan atas dasar keunikannya n Secara empiris, model Asia Timur telah memainkan peranan yang penting dalam mendorong pembangunan ekonomi di seluruh dunia dibanding model Anglo-Amerika n Model Amerika Serikat dan Inggris yang justeru bersifat khusus n Kebijakan ekonomi seharusnya tidak diserahkan ke tangan para politikus dan pegawai negeri n Disiplin yang berhubungan dengan institusi ekonomi yang independen secara politis sangat penting di negara berkembang n Pejabat pemerintahan telah merancang kebijakan ekonomi yang baik di banyak negara n Tidak ada bukti bahwa pegawai negeri punya sifat korup bawaan atau menghambat proses pengambilan kebijakan n Menempatkan wewenang pengambilan kebijakan ke tangan para teknokrat bertentangan dengan prinsip demokrasi Sumber: diringkas dari uraian dalam buku Chang dan Grabel (2004) BAB V AGENDA NEOLIBERALISME DI INDONESIA Krisis yang terjadi di Indonesia, mulai pertengahan tahun 1997 sampai dengan beberapa tahun setelahnya, memenuhi hampir semua kriteria atau ciri suatu krisis yang dikenal dalam wacana ekonomi. Peristiwa tersebut bisa dikatakan sebagai krisis nilai tukar, krisis perbankan, krisis moneter, ataupun krisis ekonomi. Cakupannya sangat luas, melanda hampir semua sektor ekonomi. Kondisi dan kejadian buruk berlangsung selama kurun waktu berkepanjangan. Upaya pemulihan krisis pun berjalan secara lebih lambat daripada di negara-negara lain yang mengalami krisis yang serupa dan pada saat hampir bersamaan. Para ekonom berusaha memberi penjelasan mengapa krisis 1997 tersebut bisa terjadi, serta mengapa pula upaya pemulihan berjalan dengan lambat. Uraian mereka disertai rekomendasi apa yang sebaiknya sekarang dan di masa mendatang harus dilakukan. Bagi para ekonom internasional pun, soal ini menjadi lebih menarik untuk dikaji, mengingat adanya perubahan fokus kajian terhadap Indonesia secara cukup mendadak. Indonesia dahulunya dianggap contoh untuk negara-negara berkembang lainnya, terutama negara-negara yang berkembang lambat di Afrika. Kala itu prestasi Indonesia dikaji untuk mencari tahu bagaimana: mencapai stabilisasi yang pesat; pertumbuhan ekonomi yang tinggi; memperkuat ekonomi hasil pangan; menurunkan angka kemiskinan; memperkuat struktur produksi komoditi; dan sebagainya. Sekarang perhatiannya berbalik menjadi: mengapa keadaan ekonomi Indonesia bisa jatuh secara dramatis dari lintasan pertumbuhan yang tinggi? Dengan kata lain, studi tentang Indonesia yang belakangan lebih 262 Agenda Neoliberalisme di Indonesia cenderung dimotivasi oleh keinginan untuk mengindari kehancuran ekonomi dan finansial yang hebat yang pernah dialaminya (Hill, 2001). Meskipun banyak dikaji, sebenarnya masih terdapat perbedaan pandangan diantara para ekonom mengenai sebab-sebab utama dari krisis, terutama berkenaan dengan bobot dari masing-masing faktor penyebab krisis. Misalnya saja, apakah goncangan eksternal, khususnya efek penularan dari krisis regional, ataukah rapuhnya fundamental ekonomi, yang menjadi faktor penyebab terpenting. Kesepakatan umum semula hanya kepada hal yang telah jelas dengan sendirinya, yaitu urutan dan rangkaian peristiwa yang disebut krisis. Padahal, urutan peristiwa tidak selalu berarti kausalitas atau hubungan sebab akibat. Sementara itu, dinamika berikutnya pun berlangsung secara susul menyusul atau terjadi secara bersamaan. Ada satu hal yang mesti dicermati dan menjadi pelajaran berharga di kemudian hari mengenai krisis ekonomi Indonesia pada tahun 1997. Krisis yang begitu dahsyat dan berdampak amat buruk bagi rakyat Indonesia itu ternyata tidak teramalkan oleh para ahli ekonomi. Beberapa ekonom yang kritis dan yang bukan mainstreams memang terlebih dahulu mengkhawatirkan keadaan dan sempat lebih dahulu menyadari buruknya keadaan. Namun, pihak Pemerintah dan ekonom kebanyakan sama sekali tidak menduga akan adanya kejadian- kejadian pada tahun 1997 dan setahun setelahnya. Ketidakjelian pengamatan itu tidak hanya berlaku ekonom yang berasal dari Indonesia, namun juga yang berasal dari luar negeri. Hall Hill, seorang ekonom dari Australia yang dianggap sangat ahli Indonesia, mengakui bahwa dia samasekali tidak menduga atau meramalkan kejadian itu. Tatkala selesai menulis edisi kedua buku Ekonomi Indonesia-nya yang terkenal, pada bulan Mei 1999, Hall Hill (2001) mengaku masih juga belum bisa menebak dan memastikan arah perubahan selanjutnya dari rangkaian peristiwa yang terjadi. 263 A. Agenda Tersembunyi Dibalik Penjelasan Tentang Krisis Sekalipun masih ada perbedaan, berbagai pandangan secara berangsur- angsur mengerucut ke dalam gugus ide tertentu yang sesuai dengan mainstreams economics. Pandangan para ekonom beraliran utama itu mendominasi cara berfikir dan arah kebijakan ekonomi Indonesia saat ini. Mereka ”berhasil” memberi penjelasan mengapa krisis 1997 bisa terjadi, serta mengapa pula upaya pemulihan berjalan dengan lambat. Uraian mereka disertai rekomendasi apa yang sebaiknya sekarang dan di masa mendatang harus dilakukan. Kebanyakan analisis yang disodorkan mengetengahkan sebab-sebab internal, yang berasal dari dalam negeri Indonesia. Faktor eksternal justeru lebih dianggap sebagai pemicu saja. Dalam bahasa sederhana, jika perekonomian Indonesia kokoh maka guncangan eksternal tidak akan berpengaruh besar. Berbagai faktor pun kemudian ditelusuri sampai jauh ke kurun waktu sebelumnya, tetapi tetap menekankan kepada keadaan domestik. Kerapuhan faktor internal itu sendiri kemudian dianalisa dari semua aspek, dan sering melampaui batasan ilmu ekonomi tradisional. Ada aspek yang berkenaan dengan perilaku, mental, budaya, kesalahan kebijakan, maupun kekurangan lain dari perekonomian dan dari bangsa Indonesia. Kita akan membahas beberapa diantaranya, sekaligus mengkritisi pandangan tersebut. Pertama, adanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang luar biasa buruk dan dianggap telah membudaya di Indonesia. Berbagai proyek pembangunan ekonomi digerogoti KKN; penggunaan dana utang luar negeri bocor oleh KKN, sehingga tak sepenuhnya sesuai dengan rencana; sebagian dana hasil minyak ditilap; hutan dibabat habis, dan hanya pura-pura direboisasi, serta hasil yang disetor kepada negara menjadi lebih kecil dari semestinya. KKN dinilai terjadi di semua level birokrasi, sehingga merupakan gejala umum. Pokoknya, banyak ekonom yang berpendapat bahwa 264 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Agenda Neoliberalisme di Indonesia seandainya KKN tidak sebegitu parah, perekonomian Indonesia tak akan menjadi seterpuruk itu. Rekomendasi perbaikan yang disodorkan terkesan sederhana, yakni memberantas KKN. Meskipun sederhana, rekomendasi semacam itu tidak mudah dilaksanakan, membutuhkan waktu bertahun-tahun agar terlihat dampak positifnya bagi perekonomian. Hal itu pun baru akan terwujud jika upayanya dilakukan secara konsisten. Sistem birokrasi dan budaya KKN telah terbentuk selama berpuluh tahun, maka pemberantasannya pasti membutuhkan waktu yang tak singkat. Upaya yang harus dilakukan sedikitnya mencakup aspek pembenahan prosedur birokrasi, reformasi perundangan, dan penegakkan hukum. Terlepas dari kesetujuan kita tentang perlunya diberantas, apakah benar bahwa KKN merupakan akar permasalahannya? KKN adalah gejala umum di banyak Negara Sedang Berkembang (NSB), hanya berbeda tingkat keparahannya. Korea Selatan, Thailand, Malaysia, dan China juga sempat dilanda KKN yang serius. Mengapa kedaam mereka tidak seburuk kita? KKN jelas akan memperburuk keadaan suatu perekonomian. KKN membuat perekonomian nasional menjadi tidak efisien, sehingga lebih rentan terhadap berbagai gejolak ekonomi, namun bukanlah penyebab utama dari krisis ekonomi itu sendiri. Artinya, perbaikan yang mengandalkan pada pemberantasan KKN dapat dipastikan tidak akan menyelesaikan akar masalahnya. Hasil paling maksimal hanya akan mengobati beberapa gejala, atau sekadar menambah “daya tahan” rakyat atas penderitaan. Dalam uraian selanjutnya nanti kita juga akan melihat bahwa fenomena KKN di Indonesia tidak sepenuhnya merupakan dinamika faktor internal (domestik). Meluasnya KKN terkait erat dengan operasi perusahaan (korporasi) multinasional di Indonesia, yang tidak segan memanfaatkan KKN bagi kelancaran usahanya. Banyak pula bukti tentang soal kebocoran dana utang dan bantuan luar negeri yang melibatkan pihak (oknum dan sistem birokrasi) lembaga 265 internasional itu sendiri. Bagaimanapun, KKN harus dilihat dari dua sisi, penawaran dan permintaan. KKN menjadi meluas antara lain karena penawarannya yang membesar (kesempatan dan besarannya) pula, yang justeru diberikan oleh pihak luar (asing). Pada praktiknya, pelaksanaan rekomendasi ini bisa dikatakan lebih banyak memberantas korupsi skala ”kecil”. Korupsi dengan nilai yang terhitung kecil jika dilihat secara skala makroekonomi, sehingga tidak memadai dianggap sebagai penyebab utama krisis dan buruknya perekonomian. Rekomendasi itu juga tidak bersungguh- sungguh dalam artian tidak sampai mencakup apa yang oleh Amien Rais (2008) disebut state capture corruption. Selain itu, kita pun sulit untuk mengadili sesuatu yang tidak melanggar hukum formal (karena isinya juga telah direkayasa), namun secara nyata merugikan bangsa dan rakyat Indonesia. Kedua, porsi negara yang terlalu besar dalam perekonomian. Sebagian penalaran tentang hal ini masih berkaitan dengan KKN, dimana keadaan demikian dinilai memberi peluang besar bagi KKN. Selain soal KKN, para analis ekonomi menekankan bahwa negara atau birokrasi bersifat lamban dan tidak efisien dalam mengelola perusahaan. Ketidakefisienan ini berdampak buruk tidak hanya kepada birokrasi dan BUMN, melainkan bagi produktivitas perekonomian nasional. Sementara itu, terlampau banyaknya kebijakan ekonomi yang bersifat campur tangan pada dunia usaha, juga dinilai amat buruk, sekalipun bermaksud baik dan tidak berunsur KKN. Dikatakan bahwa bagaimana mungkin para birokrat lebih tahu daripada pelaku bisnis tentang keadaan dunia usaha. Pendapat bahwa porsi negara yang besar sebagai akar masalah dari krisis juga merujuk pada kasus Korea Selatan, dimana ada penyaluran pinjaman yang diarahkan oleh pemerintah dan hubungan yang mesra antara pemerintah dan konglomerat Chaebol. 266 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Agenda Neoliberalisme di Indonesia Yang dilupakan adalah bahwa keberhasilan telah berlangsung selama puluhan tahun sebelumnya, di mana hal ini justeru terbukti memberikan kontribusi yang positif. Sampai saat ini pun di Korea Selatan, setelah krisis, hasil pencapaian tersebut sebagian besarnya masih bertahan. Perlu dicatat, pemerintah Korea Selatan terbukti mampu membangun pabrik baja paling efisien di dunia. Begitu pula dengan beberapa perusahaan negara dari Singapura, yang berkembang menjadi korporasi raksasa dan menginternasional. Artinya, fakta ini membantah pandangan bahwa hanya perusahaan swasta yang bisa efisien. Disamping itu, argumen tentang penyebab krisis adalah karena terlampau besarnya campur tangan negara juga bisa dibantah dengan cara serupa seperti bantahan atas isyu KKN. Campur tangan negara pada perekonomian China, Korea Selatan, dan Malaysia tidak kalah besar dibandingkan dengan Indonesia. Sebaliknya pula, beberapa negara di Amerika Latin dan Thailand, pada kurun tertentu saat mereka belum diterpa krisis, telah sangat mengurangi peran negara dalam perekonomiannya. Pengurangan peran itu sesuai dengan advis IMF. Hasilnya tetap tidak lah menggembirakan, Amerika Latin masih sulit mengembangkan perekonomian yang kokoh sekaligus tumbuh sampai sekarang ini. Di masa berikutnya, mungkin saja pemerintah memang harus memfokuskan tindakannya pada hal-hal yang mampu dilakukannya serta menyerahkan produksi banyak komoditas kepada sektor swasta. Akan tetapi pokok permasalahannya bukanlah peran pemerintah yang telalu berlebih di berbagai bidang ekonomi, melainkan justeru karena masih terbatasnya peran pemerintah di beberapa bidang utama yang menjadi kunci efisiensi perekonomian. Ada masalah berupa ketiadaan peraturan pemerintah untuk mengendalikan laju investasi pada suatu bidang atau sektor, tata korporasi (corporate governance) yang lemah, pengaturan yang baik di sektor finansial, dan 267 semacamnya. Tidak otomatis akan menjadi masalah jika pemerintah suatu negara mengarahkan pembangunan ekonominya kepada sektor tertentu sesuai dengan potensi yang dimiliki negara tersebut. Seperti yang dikatakan Stiglitz (2002), tak dapat disangkal bahwa pemerintah memang kerap terlibat dalam terlalu banyak hal secara tidak terfokus, sehingga menurunkan efisiensi perekonomian. Akan tetapi menurutnya, negara memiliki peran penting yang harus dimainkan dalam regulasi yang tepat, perlindungan sosial dan penciptaan kesejahteraan. Pilihannya bukan apakah negara seharusnya terlibat atau tidak, namun bagaimana negara harus terlibat. Pertanyaan utamanya dengan demikian bukanlah cakupan dari keterlibatan pemerintah namun aktivitas dan metode pemerintahan. Negara yang memiliki perekonomian yang kuat selalu didukung oleh pemerintah yang terlibat dalam cakupan aktivitas yang luas. Ketiga, adanya kesalahan strategi pembangunan ekonomi Orde Baru. Kesalahan terutama dituduhkan atas kurangnya orientasi bagi pertumbuhan ekspor. Orde Baru dianggap tidak mau, dan ketika mencoba memulai, tidak berhasil menjalankan kebijakan yang berorientasi “keluar”. Pembangunan ekonomi Orde Baru dianggap berlebihan dalam fokus kepada pemenuhan kebutuhan domestik, industrinya dikembangkan hanya untuk menggantikan kebutuhan akan barang (konsumsi) impor saja. Segala upaya dan bantuan diberikan sebagai kemudahan, termasuk “proteksi” terhadap pesaing dari luar. Akibatnya, setelah kebutuhan domestik terpenuhi, dan ingin diekspor, sebagian besar industri manufaktur kita tidak mampu bersaing. Tatkala kebutuhan devisa sudah sedemikian besar, untuk pembayaran utang luar negeri (ULN) dan membiayai impor, hasil ekspornya tak mencukupi. Rupiah pun terpuruk, karena kebutuhan akan dolar tak diimbangi dengan persediaannya. Argumen yang menyatakan bahwa proteksionisme akan menghambat inovasi sebenarnya agak kabur dan mulai banyak dibantah. 268 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Agenda Neoliberalisme di Indonesia Berbagai fakta perekonomian menunjukkan bahwa pemerintah mampu menciptakan persaingan di antara perusahaan-perusahaan domestik yang akhirnya akan memberikan insentif bagi perusahaan domestik, termasuk insentif bagi pengembangan teknologi baru. Harus diakui bahwa di Indonesia memang terjadi kegagalan menciptakan persaingan internal (domestik) di beberapa sektor ekonomi. Akan tetapi kuncinya adalah kegagalan menciptakan persaingan internal yang sehat, dan bukan proteksionisme lah yang menyebabkan terjadinya stagnasi perekonomian. Secara logis, persaingan dari luar negeri akan berpeluang memperketat persaingan yang terjadi di pasar, dan bisa diharapkan meningkatkan efisiensi. Akan tetapi proteksionisme bisa dibenarkan untuk keperluan yang lebih luas karena bila perusahaan domestik tersisih dampaknya akan lebih buruk, terutama dalam jangka yang lebih panjang. Sebenarnya, sekalipun agak terlambat, strategi berorientasi ekspor sudah mulai dilakukan oleh Orde Baru sejak pertengahan 80- an, jauh sebelum adanya krisis 1997. Industri tekstil, misalnya, sempat tumbuh amat pesat. Begitu pula beberapa sektor komoditi lainnya. Dan ingat, hasil komoditi primer, terutama migas dan pertambangan umum, masih cukup besar, dan selalu menyumbang devisa yang besar. Jika tidak ada “force majeur”, krisis moneter tahun 1997, neraca pembayaran internasional Indonesia secara teknis jauh lebih baik dari Meksiko atau negara Amerika latin lainnya ketika mereka mengalami krisis utang. Atas dasar kondisi itu pula, pada awalnya, Indonesia diduga (termasuk oleh ahli bank Dunia dan IMF) akan lebih kuat daripada Thailand dalam menghadapi krisis berantai di Asia Timur dan Selatan sejak pertengahan 90-an. Argumen bantahan lain adalah bahwa negara-negara yang sangat berorientasi kepada ekspor seperti Korea Selatan pun tetap mengalami krisis yang serius. Artinya, berorientasi ekspor atau tidak, bukan 269 merupakan penyebab utama krisis. Memang sangat mungkin faktor itu berpengaruh bagi upaya pemulihan dengan resep IMF, dimana Korea Selatan dan Thailand menjadi lebih cepat pulih. Catatannya, kondisi demikian lebih dikarenakan jenis resep pemulihannya. Dapat diibaratkan sebagaimana tubuh manusia, resep pengobatan dengan antibiotik kimiawi pasti berbeda dengan pengobatan memakai tetumbuhan atau bahan alami lainnya. Resep IMF dan cara hidup yang kemudian dianjurkan justeru mengakibatkan “metabolisme” perekonomian selalu rentan dengan berbagai penyakit, bahkan untuk penyakit yang sama. Lagipula, bukankah telah dapat diartikan bahwa kurangnya orientasi kepada ekspor sebagai bukan faktor penyebab. Kesalahan strategi Orde Baru dalam konteks ini bukan merupakan penyebab krisis, paling jauh hanya memperparah keadaan dan memperlambat pemulihan dengan “resep” tertentu (IMF). Keempat, argumen-argumen lama yang populer ketika memulai pembangunan tahun 1970-an, khususnya sewaktu membenarkan ULN dan penanaman modal asing (PMA) masuk secara besar-besaran, diutarakan kembali. Diantaranya adalah: kurangnya sumber daya manusia yang terdidik dan terlatih; perkembangan teknologi produksi yang lamban; dan modal (untuk investasi) yang masih kurang, akibat kecilnya tabungan domestik. Bahkan ada ahli yang tetap tega “menuding” bahwa rakyat kita masih banyak yang malas, kurang motivasi, dan semacamnya. Semua hal tersebut adalah tidak benar sebagai penyebab. Sebagian besar pandangannya bersifat mitos, yang sejak puluhan tahun lampau sudah dihembuskan oleh teori modernisasi, suatu konsep induk dari kapitalisme bagi negara terbelakang. Bangsa Indonesia tidak terdiri dari orang-orang yang bodoh, malas, dan tak punya motivasi untuk maju. Terbukti sebagian besar rakyat sungguh cepat belajar, rajin, berhasrat ingin maju, dan bersedia menabung. Lebih dari segalanya, mereka 270 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Agenda Neoliberalisme di Indonesia kebanyakan penyabar, masih peduli satu dengan lainnya, dan sangat berorientasi pada perdamaian. Masalahnya menjadi berbeda jika mereka dibodohi, dibuat tak berdaya, dan dibuat menjadi konsumeris. Tidak beralasan kuat pula pandangan bahwa kita selalu kekurangan modal. Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) kita merupakan modal yang amat besar, disamping lahan pertanian yang subur secara alamiah. Indonesia bukan negara yang tidak memiliki apa-apa. Mitos akan perlunya modal (uang dan teknologi) untuk pengurasannya telah terbukti selama lebih dari tiga puluh tahun makin “memiskinkan” Indonesia. Apa yang terjadi ketika Indonesia membuka diri seluas-luasnya bagi modal asing (dan teknologinya)? Lebih dari 10 milyar barel minyak mentah sudah diambil; 70% hutan alam kita rusak; beberapa milyar ton batubara dikuras; ribuan ton emas dan perak diangkut ke luar negeri; keadaan perikanan laut kita sudah memprihatinkan; pertanian kita menjadi bergantung pada pupuk kimia dan pestisida; lingkungan hidup berubah menjadi memburuk; dan sebagainya. Sementara itu, dalam ukuran konvensional (ilmu ekonomi) pun, perekonomian Indonesia belum membaik secara berarti (lihat lagi bab 2 dan 3). Harap diingat sekali lagi, ada jutaan orang miskin (37 juta menurut ukuran BPS, dan 100 juta menurut ukuran Bank Dunia) serta puluhan juta pengangguran (tertutup dan terbuka) yang mestinya berhak atas hasil SDA tersebut. Luar biasanya lagi, Indonesia masih harus menanggung beban utang luar negeri (sekarang ditambah utang dalam negeri) untuk membayar hasil berupa kondisi semacam itu. Ingat juga uraian pada bab 4 tentang adanya dana (baca sebagai modal) menganggur di perbankan dan yang belum optimal pemanfaatan dana dari bursa saham. Ada indikasi tentang bukan ketiadaan dana yang menjadi masalah, melainkan kemampuan kita untuk mengarahkannya agar bisa menjadi investasi di sektor 271 produksi. Soal ketepatan pengelolaan (bukan soal kekurangan) modal untuk investasi ini juga tercermin dari pengelolaan APBN yang masih buruk, sejak dari perencanaan hingga realisasi. Kelima, Indonesia dianggap tidak memiliki komitmen yang kuat dan kurang konsisten menerapkan kebijakan pasar bebas, khususnya dalam hal perdagangan bebas dan arus finansial bebas. Para penentu kebijakan Indonesia pada masa lalu dinilai cenderung mengadopsi kebijakan ekonomi intervensi pasar. Antara lain yang dituding adalah: kebijakan proteksi infant industry, strategi industrialisasi substitusi impor, subsidi berlimpah, terlalu banyaknya BUMN, regulasi yang terlampau ketat atas sektor keuangan, pembatasan berlebih atas arus keluar masuk modal internasional, dan lain sebagainya. Semuanya dianggap mendistorsikan pasar sehingga alokasi sumber daya menjadi tidak efisien, dan ada hambatan besar bagi perekonomian untuk melakukan penyesuaian (ke arah keseimbangan) jika terjadi goncangan eksternal. Sejak pertengahan 1980an sebenarnya pemerintah Indonesia telah mulai menerapkan kebijakan yang tergolong agenda neoliberalisme, baik karena pertimbangan para teknokratnya maupun akibat tekanan kekuatan (modal) internasional. Namun, analisis para pendukung neoliberal setelah terjadinya krisis tetap menyalahkan lambatnya upaya liberalisasi itu sehingga perekonomian tidak kuat menahan goncangan eksternal, yang kemudian berujung pada krisis. Mereka amat merekomendasikan agar Indonesia saat ini lebih konsisten dalam menerapkan kebijakan pro pasar, terutama sekali berupa kebijakan perdagangan bebas dan arus finansial bebas. Argumen lama mengenai keunggulan perdagangan (internasional) bebas banyak dikedepankan lagi, terutama yang berbasis teori keunggulan komparatif. Intinya, jika pemerintah tidak mendistorsi perdagangan, maka masing-masing negara akan 272 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Agenda Neoliberalisme di Indonesia mengkhususkan diri dalam produksi dan ekspor barang yang sesuai dengan sumber daya (faktor produksi) yang dimilikinya. Seandainya suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut pun, masih terbuka kemungkinan untuk memproduksi barang karena memiliki keuntungan (efisiensi) secara relatif. Argumen tambahan yang bersesuaian dengan itu adalah akan ”murahnya” barang akibat globalisasi yang ditopang pasar bebas, dan sebaliknya jika akan dirintangi. Sebagaimana yang beberapa kali dibahas terdahulu, negaranegara industri kaya itu (termasuk Amerika dan Inggris) dahulunya melakukan intervensi pasar atau tidak sepenuhnya menganut perdagangan dan arus finansial bebas, yang bahkan masih berlangsung dalam tingkat tertentu (sebagian secara terselubung). Sementara itu, kisah sukses sebagian negara berkembang justeru adalah karena program intervensi yang dirancang dengan baik, atau tidak menjalankan perdagangan yang betul-betul bebas. Dengan kata lain, soal perdagangan dan arus modal yang bebas lebih bersifat mitos, baik sebagai argumen untuk menunjukkan keberhasilan ataupun tuduhan atas penyebab krisis jika tidak dianut secara mutlak. Fakta lainnya adalah mengenai tingkat keparahan krisis yang justeru lebih rendah pada negara yang taraf liberalisasi perdagangan dan keuangannya lebih rendah pula, seperti Malaysia dan Taiwan. Bahkan, mereka bisa dikatakan tidak mengalami krisis. Dapat saja dikatakan hal yang sebaliknya dari pandangan pendukung neoliberalis, yakni justeru perdagangan bebas (khususnya arus modal bebas dan sistem nilai tukar bebas) yang lebih berperan sebagai penyebab krisis. Untuk kasus Indonesia, kita telah melihat tema-tema deregulasi dan pasar bebas sangat mendominasi wacana para pengambil kebijakan dan para ekonom sejak pertengahan tahun 1980 an, jauh sebelum krisis. Sulit diterima argumen bahwa karena kebijakannya masih kurang liberal sehingga tetap Indonesia tetap mengalami 273 krisis. Mustinya kita malah mengandaikan tidak akan terjadi krisis jika kebijakan perdagangan bebas dan arus modal bebas (termasuk sistem devisa dan nilai tukar) tidak diadopsi secara membabi buta. Pada masa yang akan datang, kemungkinan krisis akan berulang (meskipun dalam eskalasi yang berbeda) akan menjadi lebih besar dengan segala kebijakan neoliberal. Pada saat ini saja, setiap fluktuasi perekonomian dunia (bahkan jika hanya terjadi pada komoditi tertentu) secara langsung mempengaruhi perekonomian Indonesia. Sangat jelas bahwa pilihan yang paling potensial bagi Indonesia adalah memanfaatkan perdagangan dan arus modal internasional secara lebih strategis dan berhati-hati. Kotak 5.1 Ringkasan sebab krisis Indonesia Kembali kepada pertanyaan semula, mengapa krisis bisa terjadi sedemikian parah dan kondisi perekonomian kita sampai saat ini masih sedemikian buruk?. Tadi kita telah menolak seluruh pandangan di atas, setidaknya dalam arti menganggapnya sebagai faktor Penyebab krisis Argumen bantahan KKN yang besar dan membudaya KKN serupa terjadi di negara lain, tetapi keadaan ekonomi tak separah kita; Ada “penawaran” KKN yang berasal dari luar Porsi negara/pemerintah yang terlalu besar dalam perekonomian, tidak efisien Ada negara dengan porsi negara setara, keadaannya jauh lebih baik; Intervensi negara dalam perekonomian kadang bisa efisien Strategi pembagunan ekonomi salah, kurang berorientasi ekspor Negara dengan orientasi ekspor, juga terkena krisis Argumen lama, seperti ketika mulai pembangunan: kurang modal, masyarakat kurang motivasi, kurang rajin dan kurang pintar Sebagian besar bersifat mitos; kita kaya SDA, rakyat rajin, bermotivasi, cepat belajar dan mau menabung Kurang konsisten menerapkan kebijakan pro pasar bebas, khususnya dalam hal perdagangan bebas dan arus finansial bebas Bersifat mitos atau prasangka atau tak berdasarkan fakta empiris, bisa saja dikatakan hal yang sebalinya 274 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Agenda Neoliberalisme di Indonesia utama. Sudah pula diingatkan di bagian awal, semua pendapat ini menjadi bias karena terlampau melihat “ke dalam” negeri sendiri. Mestinya kita juga harus sangat mencermati faktor eksternal yang amat mempengaruhi bahkan memaksa dinamika ekonomi tertentu kepada perekonomian Indonesia. Jawaban yang lebih masuk akal dan dapat pula menempatkan berbagai pandangan tadi secara proporsional akan dapat diperoleh dengan mencermati berbagai faktor eksternal yang amat mempengaruhi perekonomian Indonesia sejak dahulu. Dengan cara demikian, menurut pandangan saya, faktor penyebab utama dari krisis 1997 dan kondisi buruk (yang digambarkan oleh bab 2 dan 3) adalah karena terintegrasinya perekonomian Indonesia pada tatanan kapitalisme internasional. Soal KKN dan lain-lainnya memang turut memperburuk keadaan. Hanya harus dicatat bahwa sebagian dari sebab yang disebutkan di atas, justeru timbul ketika kita mulai terjerat pada mekanisme ekonomi internasional yang eksploitatif terhadap Indonesia, sebagaimana yang terjadi terhadap Negara Sedang Berkembang (NSB) lainnya. B. Sejarah Singkat Kapitalisme di Indonesia Proses integrasi tersebut harus ditelusuri sejak masa kolonial, bersesuaian dengan fase perkembangan dari Kapitalisme. Keadaan kita saat ini tidak bisa dilepaskan dari era perdagangan rempahrempah dengan armada dagang Eropa; masa penyerahan paksa dengan VOC; masa tanam paksa; pengembangan industri gula beserta perkebunan tebu yang menjadi sektor enclave; masuknya perusahaan minyak asing sejak akhir abad 19; berkembangnya industri perbankan sejak pertengahan abad 19; dan seterusnya. Pada mulanya, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) melakukan perniagaan biasa dengan para penduduk di beberapa wilayah pelabihan nusantara. VOC yang resminya adalah perusahaan 275 swasta Belanda itu berangsur-angsur memiliki kekuatan monopoli di sebagian wilayah pada awal abad 17, baik karena kekuatan ekonomi (armada dan modalnya) maupun kekuatan militernya (karena dipersenjatai dan memiliki pasukan tentara). Sejak akhir abad ke 17, VOC menguasai perdagangan monopolistik atas beberapa komoditi (terutama rempah-rempah) di hampir semua wilayah perdagangan nusantara. Dilihat dari segi teknis produksi, VOC tidak melakukan perubahan yang berarti dalam tatanan agraria nusantara, begitu pula dengan banyak aspek perekonomian lainnya. Pengecualian tidak mengintervensi produksi hanya terjadi di sedikit wilayah seperti Maluku dan kabupaten Priangan, di mana ada kewajiban dan larangan menanam komoditi tertentu. Secara keseluruhan, VOC lebih berupaya memperoleh (memaksakan) hak pembelian dan penjualan tunggal saja (monopoli). Bagaimanapun, perdagangan paksa selama kurang dari satu abad membuat VOC tumbuh menjadi korporasi raksasa pertama di dunia. Hal ini antara lain ditandai oleh : kepemilikan atas ratusan kapal dagang dan kapal perang, puluhan ribu karyawan, dan ribuan pasukan. Semuanya dimungkinkan karena surplus ekonomi yang dihasilkannya begitu besar. Dengan ongkos yang besar saja, para pemilik saham di Belanda masih mendapatkan keuntungan yang besar, begitu pula dengan pajak yang diterima oleh kerajaan Belanda. VOC kemudian memang bubar dan dinyatakan ”bangkrut” pada tahun 1799. Namun, hal itu lebih karena soal teknis manajemen dan keuangan internalnya, bukan karena tidak besarnya surplus yang diambil dari nusantara. Kerajaan Belanda mengambil alih segala aset VOC, dan membentuk pemerintahan Hindia Belanda di nusantara. Wilayah yang telah dikuasai VOC kemudian bahkan diperluas (sejak 1817) dan 276 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Agenda Neoliberalisme di Indonesia dikelola secara lebih baik bagi sumber surplus ekonomi Belanda. Sejak abad 19 itu pula, perekonomian nusantara semakin banyak mengalami diversifikasi dan semakin terkait dengan pasaran internasional (tidak hanya bertumpu kepada komoditi rempahrempah saja). Sebagai contoh, pemerintah Hindia Belanda menjalankan sistem Cultuurstelsel (tanam paksa) di banyak wilayah, terutama di pulau Jawa. Istilah Cultuurstelsel itu sendiri sebenarnya hanya berarti ”sistem pembudidayaan”, namun dikenal luas sebagai tanam paksa oleh sejarawan dan bangsa Indonesia karena sifat memaksa dan eksploitatifnya. Rakyat dipaksa untuk menanami seperlima hingga separuh dari tanah mereka (tergantung wilayahnya) dengan tanaman ekspor yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Tanaman yang utama adalah : tebu, indigo, teh, kopi, lada, kayumanis dan tembakau. Petani memang diberi upah namun secara sepihak oleh Belanda atau agen (penguasa) lokal yang ditunjuk. Selain itu, bagian tanah yang ditanami dengan komoditi pilihan sendiri pun masih dikenakan pajak. Salah satu yang nantinya berpengaruh besar (selain soal eksploitatif) dari era tanam paksa dan pajak tanah ini adalah dikenalnya uang sebagai alat pembayaran yang diterima secara lebih luas (sampai ke desa-desa). Salah satu pilar kapitalisme mulai masuk dalam kehidupan masyarakat umum. Penghapusan sistem tanam paksa diikuti oleh masuknya modal swasta Belanda sejak tahun 1870. Modal itu diinvestasikan ke dalam sektor-sektor perkebunan besar di Jawa dan sumatera. Seluruhnya berorientasi ekspor, dan menciptakan sektor-sektor enclave yang hampir tidak berkaitan dengan dinamika ekonomi penduduk lokal. Paling jauh hanya penggunaan tenaga kerja dengan bayaran yang amat murah (bisa dikatakan mendekati arti kerja paksa). 277 Politik ekonomi yang lebih liberal itu kemudian mengundang lebih banyaknya modal asing yang masuk, tidak hanya Belanda. Seiring dengan pertumbuhan perekonomian dunia, investasi pun merambah beberapa sektor produksi dan pertambangan. Beberapa perkembangan yang penting dan berpengaruh kuat bagi fondasi kapitalisme di Indonesia adalah : soal pemakaian (sewa) tanah rakyat oleh pengusaha, peraturan perburuhan, dan peraturan pertambangan. Ketika Indonesia merdeka secara politik pada tahun 1945, pemerintah baru masih disibukkan untuk mempertahankannya selama bertahun-tahun dari upaya kaum kolonial untuk kembali. Pada saat bersamaan, agenda konsolidasi politik bangsa juga membuat sebagian besar agenda ekonomi terabaikan sampai waktu yang lama. Segala konsep dasar perekonomian (termasuk strategi pembangunan industri dan pertanian) sebenarnya sudah mulai berhasil dirumuskan, namun terhalang beberapa agenda politik yang lebih mendesak. Meskipun dominasi kapitalisme atas Indonesia di era 1945-1965 tidak terlihat langsung, sebenarnya dinamika perekonomian Indonesia masih cukup kuat dipengaruhinya. Struktur ekonomi dan mekanisme perekonomian yang diwariskan VOC dan pemerintah Kolonial Belanda tidak serta merta punah dengan kepergiaannya secara fisik. Jangan dilupakan bahwa perdagangan internasional masih terus berlangsung pada saat itu, dan sebagian besar pertambangan tetap berproduksi (meskipun dengan kondisi berfluktuatif). Perdagangan itu masih memberi surplus bagi wilayah sentral kapitalisme. Perkembangan keadaan eskploitatif bagi Indonesia dari waktu ke waktu tersebut konsisten dengan fase pertumbuhan kapitalisme internasional (saat ini biasa disebut kapitalisme global), yang telah kita bahas pada bab 4. Oleh karenanya kita tidak mengupas lebih lanjut dan dalam mengenai fase kolonialisme. Begitu pula pembahasan tentang pasang surut hubungan Indonesia dengan kapital- 278 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Agenda Neoliberalisme di Indonesia isme internasional pada era Soekarno, karena memerlukan detil yang lebih teliti. Yang perlu dicatat adalah kapitalisme tidak pernah benarbenar mau melepas Indonesia sebagai salah satu sumber surplus ekonominya yang utama, sekalipun pada saat itu rezim berkuasa kurang bersahabat dengan mereka. Kita akan lebih banyak membahas era pemerintahan Soeharto. Maksud utama uraian adalah memberi argumen sekaligus untuk menegaskan pendirian bahwa sebab utama krisis saat ini adalah karena terintegrasinya perekonomian Indonesia dalam tatanan kapitalisme global. Masa awal Orde Baru ditandai dengan masuknya ULN dan PMA secara besar-besaran. Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI, yang didalamnya terdapat: Bank Dunia, ADB, Jepang dan Amerika) menjadi forum penting bagi konsultasi dan pencairan ULN, serta memberi rekomendasi bagi perusahaan swasta asing (Multinational Corporation/MNC) agar berinvestasi di Indonesia. Indonesia terutama sekali diwakili oleh pemerintahnya, yang berarti bahwa peran negara amat besar. Semua proyek ULN berhubungan dengan pemerintah (negara). Sementara itu, selain dengan pemerintah, kebanyakan proyek PMA berurusan dengan kaum kapitalis domestik yang sebagian besar merupakan konco (kroni) politik para penguasa. Proyek PMA terbesar tentu saja di bidang pengelolaan SDA dan energi, yang sebagiannya melanjutkan usaha terdahulu yang sempat tersendat-sendat karena kebijakan kurang bersahabat di era Soekarno. Berbagai kontrak karya yang baru atas migas dan mineral lainnya dibuat, juga proyek kerjasama dengan kapitalis domestik dalam pemungutan hasil hutan dan laut. Ada beberapa proyek PMA atau patungan lainnya, terutama yang sama sekali baru, yang berorientasi sebagai produsen barang substitusi impor. Bisa dikatakan bahwa proyek ULN berfungsi “memperlancar” operasional PMA tersebut, dan demi kelancaran bisnis selanjutnya, para kapitalis kroni 279 terlibat hampir di semua sektor. Mudah dibayangkan tentang arti penting infrastruktur (jalan, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik, dll) dan ketersediaan sumber daya manusia dengan kualifikasi yang dibutuhkan (terutama melalui sarana pendidikan) bagi keberlangsungan bisnis kaum kapitalis. Yang belakangan ini diarahkan agar dibiayai oleh ULN, yang nantinya dibayar oleh rakyat Indonesia. Lihat bedanya dengan saat ini, dimana mereka (CGI, IMF, MNC, dan lain-lain) mengeluhkan besarnya peran negara dan adanya KKN. Dahulu mereka mengoptimalkan kondisi rezim otoriter, yang biasa disebut para kritisi dengan rezim developmentalis represif. Merundingkan utang dan investasi asing akan jauh lebih mudah dengan pihak yang terbatas, tanpa melibatkan rakyat kebanyakan. Bagi kaum kapitalis asing, masalahnya hanya bagaimana memperhitungan secara ekonomis, dengan memasukkan unsur KKN sebagai biaya tambahan. Asalkan hasil nantinya memberi keuntungan atau surplus yang besar, KKN akan ditoleransi, bahkan dimanfaatkan. Sekarang, pada saat mereka harus menerima pembayaran ULN (cicilan dan bunga), serta memikirkan cara agar perolehan labanya bisa lebih besar lagi, maka konsep baru perlu diperkenalkan. Rezim yang terkesan tampil lebih demokratis, akan lebih menguntungkan. Pihak legislatif, misalnya, tidak akan mudah bersepakat dengan pemerintah untuk “ngemplang” utang. Mereka juga bisa membeli BUMN dengan harga sangat murah, karena kebutuhan pemerintahan baru yang sedang kesulitan dana anggaran. Korporasi swasta (apalagi yang dahulunya sangat dekat dengan penguasa politik) yang sedang kesulitan, dapat dibeli pula dengan harga cukup murah. Padahal, sebagian perusahaan (BUMN dan swasta) itu dahulunya dibangun dengan ULN dan PMA. Pihak legislatif dan pemerintah kebingungan akibat beban anggaran yang amat besar, sehingga bersedia melakukan apa saja untuk mengatasinya. Disamping itu, demokratisasi juga diwujudkan dengan adanya 280 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Agenda Neoliberalisme di Indonesia pemisahan secara tegas antara fungsi kebijakan fiskal yang ada pada pemerintah dengan fungsi kebijakan moneter yang berada pada Bank Indonesia. Lebih jauh lagi, agar fluktuasi nilai rupiah bisa dikendalikan, maka sektor keuangan harus diinternasionalisasi, serta sepenuhnya menggunakan sistem nilai tukar bebas. Jangan salah, pengendalian nilai rupiah versi pihak kapitalis tidak selalu sejalan dengan yang tertuang dalam tujuan Bank Indonesia, sekalipun sementara ini masih bersesuaian. Ironi terjadi. Ketika mengambil keputusan tentang perlunya ULN dan PMA, beserta strategi pembangunan ikutannya, Indonesia diwakili oleh rezim otoriter. Hampir seluruh keputusan diambil tanpa kontrol sama sekali oleh rakyat. Ketika sampai masa puncak bagi penanggungan beban, maka keputusan harus melibatkan lebih banyak pihak, dengan slogan demokrasi. Perhatikan sekali lagi, kewenangan dibagi sedemikian rupa, sehingga tindakan radikal yang bisa merugikan kapitalisme internasional, justeru bisa diminamalisir. Sekadar ilustrasi: Gubernur Bank Indonesia adalah anggota dewan gubernur IMF, sedangkan menteri keuangan adalah anggota dewan gubernur Bank Dunia; penyusunan dan pelaksanaan APBN melibatkan DPR hampir sepanjang periode anggaran dan dalam banyak detil. Seandainya ada Presiden terpilih yang sangat nasionalis dan populis, misalnya, maka wewenangnya untuk mengambil keputusan pun tidak “mencukupi” untuk “ngemplang utang”. Ada kecurigaan bahwa jatuhnya Gus Dur, yang sempat didukung oleh para ekonom nasionalis populis, sedikit banyak berkaitan dengan persoalan ini. C. Pelaksanaan Agenda Neoliberalisme di Indonesia Sebenarnya, konsep neoliberalisme sudah dikenal dan mulai dijalankan sebagiannya di Indonesia pada pertengahan era 80-an. Pada saat itu, harga minyak mentah jatuh, pembayaran ULN mulai besar, sedangkan proyek-proyek pembangunan ekonomi belum terlalu 281 berbuah hasil jika dilihat dari kemampuannya memasok devisa ataupun pendapatan ke kas negara. Pemerintah Orde Baru mendapat kesulitan dalam APBNnya. Berkembanglah tema-tema seperti: liberalisasi, khususnya bidang perbankan dan keuangan; debirokratisasi dan deregulasi; privatisasi BUMN; upaya memacu ekspor nonmigas, dan sebagainya. Persis seperti yang disarankan kaum neoliberalis. Pasti bukan suatu kebetulan, jika IMF sudah secara intens memberikan laporan khusus tentang ekonomi Indonesia dan memberikan banyak “bantuan teknik”, sekalipun belum bisa memaksa sepenuhnya. Oleh karena rezim Orde Baru beserta kroninya masih cukup kuat menguasai politik dan ekonomi, agenda tersebut berjalan dengan “pilih tebu”, sesuai dengan yang menguntungkan mereka saja. Sebagian tema tersebut hanya wacana, belum betul-betul dilaksanakan, misalnya tentang debirokratisasi. Kadang ada konflik kepentingan, berebut jatah, antara kapitalis internasional dengan kapitalis kroni Soeharto. Orde Baru juga agak terbantu, ketika harga minyak mentah mulai merangkak naik, dan Yendaka (kenaikan yen atas dolar, yang memperberat beban ULN Indonesia) berangsur-angsur stabil. Pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal secara masif baru berlangsung setelah Indonesia mengalami krisis pada tahun 1997. Dengan dimandori oleh IMF, pemerintah Indonesia secara resmi menjalankan sebagian besar paket kebijakan ekonomi neoliberal. Ingat bahwa LoI adalah surat resmi dari pemerintah Indonesia kepada IMF, yang berisi komitmen untuk menjalankan suatu paket kebijakan ekonomi. LoI selalu diperbaharui mengikuti assesment (analisa penilaian) dan review (penilaian dan rekomendasi) IMF. Ada 24 LoI selama periode akhir tahun 1997 sampai dengan tahun 2003 (rata-rata satu LoI setiap tiga bulan). Nota Keuangan RAPBN dan pernyataan resmi lainnya dari pemerintah pun tak begitu menutupi adanya agenda tersebut, meski tidak menyatakan secara terbuka 282 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Agenda Neoliberalisme di Indonesia sebagai paket kebijakan Konsensus Washington atau neoliberalisme. Yang jelas pula, ada upaya sosialisasinya sebagai satu-satunya alternatif untuk keluar dari krisis. Pengecualian hanya ada di sebagian masa jabatan Gus Dur, ketika beberapa menteri di bidang ekonomi sempat terlihat berupaya kuat untuk bernegosiasi. Wajar jika para pendukungnya mencurigai adanya campur tangan pihak asing (kekuatan modal) dalam proses kejatuhan Gus Dur. Sebelumnya, pemerintahan Habibie tak berdaya, karena mendapat tekanan dari luar dan dalam negeri, sehingga menurut saja dengan IMF. Masih kuatnya kroni Soeharto, membuat pemerintahan Habibie hanya “mengulur waktu” dalam melaksanakan LoI, berkenaan dengan upaya mereka menyelamatkan aset ekonomi kelompoknya. Pemerintahan Mega dan SBY sudah menjalankan sepenuhnya segala rekomendasi IMF. Menteri dan pejabat penting yang relevan dengan agenda neoliberal, hampir seluruhnya berasal dari poros Washington. Mega berganti dengan SBY, akan tetapi perhatikan bahwa beberapa nama di kementerian perekonomian (termasuk pengelolaan SDAE) dan pejabat Bank Indonesia tidak “pensiun”. Paling jauh bertukar posisi, atau menaikkan beberapa “kader muda”nya. Ada beberapa tokoh, yang terkesan berupaya “negosiasi” soal privatisasi, namun pada dasarnya hanya berkaitan dengan “harga”, bukan dengan soal orientasi kebijakan. Paket program IMF, yang resminya adalah surat komitmen dari pemerintah Indonesia kepada IMF (sewaktu menuliskannya sudah “dibimbing”), dikenal pula dengan sebutan Program penyesuaian struktural (Structural Adjustment Program/SAP). SAP yang berisikan agenda di atas bemaksud “menyesuaikan” struktur ekonomi Indonesia agar bisa lebih terintegrasi dengan perdagangan internasional, tepatnya denga kapitalisme internasional. Pengertian 283 struktur di sini berbeda dengan dalam analisa politik. Struktur dimaksud berkenaan dengan segala hal yang menunjang liberalisasi perdagangan dan lembaga keuangan, serta menjamin akuntabilitas penggunaan keuangan negara. Cakupannya antara lain: peraturan perundang-undangan, pembenahan lembaga-lembaga keuangan, mekanisme keuangan dan devisa, serta kebijakan publik. Menggunakan kalimat sederhana, maka seluruh paket SAP mengarah kepada pengecilan peran negara, sekaligus meningkatkan peran mekanisme pasar dalam perekonomian. Negara lebih terfokus sebagai penjamin keamanan, memberlakukan hukum untuk ketertiban, dan hanya dalam keadaan terpaksa memberi bantuan “darurat”. Pasar lah yang dianggap paling berkompeten memutuskan tentang: apa saja yang akan diproduksi dan seberapa banyak jumlahnya; seberapa banyak orang yang bisa bekerja (berarti seberapa yang menganggur), berapa upahnya; siapa saja yang akan lebih menikmati pertumbuhan ekonomi; dan sebagainya. Yang dijanjikan, sebagaimana semua konsep kapitalisme yang terdahulu, jika dilaksanakan dengan konsisten maka akhirnya semua orang akan sejahtera, meskipun dengan tingkatan yang berbeda. Bukankah sejak awal telah dikatakan oleh ajaran kapitalisme: “jika setiap individu mengejar kepentingan ekonominya sendiri dengan sungguhsungguh, maka hasil keseluruhannya bagi kesejahteraan orang banyak akan lebih baik daripada jika mereka bersama-sama merencanakan dan berusaha untuk itu.” Sebagaimana yang sudah diingatkan Gramsci, bahwa gagasan yang mendominasi karena didukung oleh suprastruktur akan menjadi power yang tak tertandingi oleh apa pun. Kondisi tersebut diperoleh oleh konsep kapitalisme neoliberal. Ada gagasan yang sistematis dan konsisten, dan dapat dijelaskan seolah menguntungkan bagi semua orang di dunia. Ada suprastruktur, berupa negara, lembaga resmi internasional, pasar keuangan dan pasar modal dunia, 284 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Agenda Neoliberalisme di Indonesia serta korporasi multinasional (MNC). Dan ada suprastruktur di masing-masing NSB, yang lebih melicinkan jalan bagi mereka. Kotak 5.2 Ringkasan Agenda dan instrumen Neoliberalisme di Indonesia D. Sisi lain dari Kapitalisme di Indonesia Pandangan seorang pemikir tentang para tiran, dapat dipakai untuk menggambarkan dosa kapitalisme neoliberalisme terhadap umat manusia saat ini. Dikatakannya bahwa: “Kejahatan mereka yang terbesar bukanlah karena mereka telah menindas dan menyengsarakan hidup kami, melainkan karena mereka telah memperkenalkan dan mengajarkan cara-cara yang yang jahat.” Kapitalisme jelas telah mengakibatkan pengambilan hak-hak ekonomi banyak orang di seluruh dunia; Kapitalisme telah menghabiskan banyak sumber daya alam dan merusak lingkungan; Kapitalisme telah n Agenda Neoliberalisme di Indonesia: - liberalisasi keuangan; antara lain: kurs bebas, devisa bebas, pengembangan BEJ. - liberalisasi perdagangan; meratifikasi keputusan WTO. - pengetatan prioritas APBN, termasuk pencabutan subsidi. - privatisasi BUMN. - penjualan korporasi domestik kepada modal internasional. - perlindungan maksimal bagi hak milik pribadi (swasta). - penerapan harga pasar bagi energi. - mekanisme harga bagi pasar tenaga kerja; minimalkan perlindungan buruh. - Bank Indonesia sepenuhnya mengikuti BasselI dan BasselII dari BIS. n Instrumen utama neoliberalisme pada tingkat internasional: IMF, negara adidaya, World Bank, WTO, BIS, MNC, pasar uang/ modal internasional,dan lain-lain n Instrumen utama neoliberalisme pada tingkat domestik: UU/ peraturan, kebijakan ekonomi pemerintah, kebijakan moneter/ perbankan dari Bank Sentral, kapitalis kroni, bursa saham, ahli ekonomi, ahli keuangan dan akuntansi, opini publik 285 menyengsarakan hidup banyak manusia. Akan tetapi lebih dari itu, kapitalisme memperkenalkan dan membuat banyak orang berfikir dan bertindak seperti yang “diajarkannya”. Tentu saja kita tidak bermaksud mengatakan bahwa masyarakat sudah menjadi penganut kapitalisme, atau menjadi pendukung kaum kapitalis. Sebagian kecil dari mereka memang sudah demikian. Sebagian besar lainnya adalah korban (victims), yang dipaksa hidup dengan dominasi dari kapitalisme sebagai formasi sosial. Akan tetapi menarik untuk memahami fenomena para “penganut” kapitalisme tersebut, terutama yang hidup di Indonesia saat ini. Secara umum kita bisa membaginya dalam empat kelompok, dimana seseorang bisa saja masuk ke dalam lebih dari satu kategori. Pertama, mereka yang memiliki kepentingan langsung dalam proses pemupukan atau akumulasi kapital (rent seeking dan capital acumulation), karena mereka sendiri tergolong memiliki kapital yang besar jika dibandingkan kebanyakan orang lain. Sebagian besar mereka berasal dari kapitalis konco era Orde Baru, dan sebagian lainnya adalah mantan pejabat, sipil dan militer, yang “berubah” menjadi kaum kapitalis domestik. Merekalah yang saat ini paling menikmati bunga obligasi atau utang dalam negeri pemerintah. Kedua, para pekerja profesional, terutama para ahli ekonomi dan keuangan, yang keahliannya memang menjelaskan dan menjalankan sebagian dari mekanisme kapitalisme di Indonesia. Mereka berada di bank sentral, perbankan umum, perusahaan keuangan, bursa saham, konsultan bisnis, dan sejenisnya. Tidak sedikit yang berada di pemerintahan, dalam departemen keuangan atau menjadi petinggi di BUMN. Mereka ini yang sangat bertanggung jawab atas fenomena dominasi headline news tentang kurs rupiah, suku bunga, IHSG, cadangan devisa, dan yang semacamnya. Ketiga, kalangan akademisi, yang berada di kampus dan di lembaga riset atau penelitian. Mereka berperan ganda, menjelaskan 286 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Agenda Neoliberalisme di Indonesia kepada publik dan mendidik kader baru. Penjelasan kepada publik, melalui media massa, mengandalkan kredibilitasnya sebagai pakar atau ahli. Dalam konteks akademis, mereka banyak melakukan penelitian dan riset yang hasilnya menguatkan atau “menyempurnakan” mekanisme kapitalisme di Indonesia. Mereka pula yang membuat kurikulum pendidikan, terutama ilmu ekonomi dan keuangan, serta menulis atau menerjemahkan buku teks. Mereka yang bertanggung jawab atas penjelasan akademis tentang tujuan akhir yang mulia dari kapitalisme, kemakmuran bagi seluruh rakyat. Keempat, para politisi yang membutuhkan akses kepada modal untuk keperluan mempertahankan atau meningkatkan posisinya. Para politisi yang in power, umumnya “menyadari” bahwa penentangan serius melawan kapitalisme sebagai formasi sosial saat ini adalah tidak menguntungkan. Sikap politik yang dikemas sebagai seolah bersifat perlawanan, terbukti hanya berujung pada negosiasi soal “harga”. Tentu kita tidak menafikan ada beberapa politisi, yang cukup nasionalis populis, melakukan penentangan terhadap kapitalisme neoliberal. Namun jumlahnya masih sangat sedikit (minoritas). Istilah mafia barkeley yang dahulu pernah populer, menggambarkan elit dari kelompok ketiga. Mereka adalah ekonom lulusan Universitas California di Barkeley, Amerika. Mereka yang menjadi pemikir ekonomi terpenting pada masa awal Orde Baru. Belakangan, mereka dan murid-muridnya, yang meski bukan lulusan almamater yang sama namun memiliki aliran serupa, bahkan menjadi petinggi pemerintahan, khususnya di bidang perekonomian. Para penerus ini dikenal dengan sebutan para ekonom poros Washington. Penamaan ini adalah berkenaan dengan aliran pemikiran mereka yang merujuk kepada konsensus Washington era 80-an yang berisi agenda neoliberalisme, seperti yang telah dibahas di atas. Sekalipun beberapa detil pemikiran mereka berbeda, sesuai dengan perkembangan varians dalam kapitalisme, mafia poros Washington berposisi sama dengan 287 pendahulunya dalam pengelolaan ekonomi nasional. Bisa difahami jika para tetuanya itu bisa akur dengan generasi yang lebih muda. Pada awalnya pengertian konsensus Washington merujuk kepada instrumen kebijakan yang “direkomendasikan” kepada negaranegara Amerika Latin sebagai reformasi kebijakan ekonomi yang disetujui oleh Washington (tentunya terkait dengan bantuan yang akan diberikan) pada penghujung tahun 80-an. Istilah Washington merujuk kepada para politikus Dewan Kongres Washington, anggota senior adminstrasi dan teknokrat international financial institutions di Washington, badan ekonomi pemerintah amerika serikat, Dewan Bank Sentral AS (Federal Reserve Board), dan para think thank. Belakangan, pengertian konsensus Washington diperluas mencakup rekomendasi kebijakan bagi negara-negara Asia yang mengalami krisis pada pertengahan tahun 90-an. Beberapa bagian konsepnya juga berkembang menjadi lebih teoritis, dan diakomodasi dalam berbagai buku teks ekonomi yang banyak dipakai oleh perguruan tinggi ternama. Dengan sendirinya, para pengambil kebijakan dan akademisi ekonomi dari NSB pun bisa memahaminya dengan lebih mudah. Tentu saja penamaan mafia poros Washington biasa diberikan oleh mereka yang berpandangan amat kritis, sehingga pihak yang disebut (di negara seperti Indonesia) mungkin tidak mau menerimanya. Akan tetapi, perhatian kita adalah pada pokok-pokok pikiran dan penalaran mereka dalam masalah ekonomi negeri ini, yang secara terang-terangan dikatakan atau ditulisnya. Kita juga tidak menutup mata bahwa sebagian dari mereka tidak bermaksud “jahat”. Ada juga yang memang menginginkan kemakmuran bagi rakyat banyak, seperti yang dikatakan atau bahkan diperjuangkannya. Kebetulan saja mereka meyakini kebenaran penalaran kapitalisme, termasuk agenda neoliberalisme, yang dinilai bisa menjadi alat atau cara. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka 288 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Agenda Neoliberalisme di Indonesia memang telah menikmati posisi sosial ekonomi sebagai ahli atau petinggi yang diuntungkan oleh dominasi gagasan demikian atas negara. Yang menarik adalah pemikiran para ekonom kampus yang sebetulnya tidak atau belum menikmati posisi yang berarti, namun “ikut-ikutan” berpendirian serupa. Boleh jadi penyebab utamanya adalah dominasi ilmu ekonomi mainstreams (arus utama) dalam pendidikan, dalam dan luar negeri. Sehingga satu-satunya penalaran yang dikuasai adalah yang demikian. Kekritisan mereka justeru diarahkan pada konsistensi perekonomian melaksanakan agenda neoliberalisme. Misalnya, mereka banyak memperdebatkan bagaimana agar iklim investasi menarik bagi PMA, atau bagaimana mereprofiling utang pemerintah agar tetap bisa membayar. Sementara itu, sebagian besar masyarakat yang dipaksa hidup dalam dominasi kapitalisme, dikendalikan dengan berbagai cara. Berbagai mekanisme eksploitatif, sesuai tahap perkembangan kapitalismenya, telah dibahas di atas. Ada cara lain yang lebih “halus”, yang telah dikembangkan dalam beberapa puluh tahun terakhir, yang bersifat “kultural”. Cara itu pada dasarnya bermaksud “mengendalikan” konsumsi orang banyak, terutama dengan penciptaan gaya hidup (life style). Media yang dipakai, mulai dari pendidikan, hiburan, sampai dengan iklan. Kebutuhan akan barang dan jasa tertentu memang diciptakan melalui pergeseran nilai-nilai budaya. Bahkan mereka yang berada pada posisi sosial ekonomi yang dirugikan (miskin) pun di beri impian. Impian untuk bisa hidup dengan pola konsumsi tertentu nantinya. Keberhasilan kapitalisme mencitrakan pola konsumsi yang metropolis, gaya hidup global, cukup mengejutkan. Konsumsi masyarakat di negara maju, jauh melebihi total konsumsi dari seluruh penduduk sisa dunia yang jauh lebih banyak. Gaya hidup yang disosialisasikan, terutama melalui media visual, sebenarnya hampir untouchable (tak tersentuh). Namun justeru diimpikan di seluruh 289 dunia. Melalui sebagian masyarakat domestik yang ikut menikmati surplus ekonomi kapitalisme, impian tersebut terkesan menjadi sangat dekat, sekalipun tetap tak akan tergapai oleh orang banyak. Secara menyederhanakan kita dapat memetakan orang dan kelompok orang atas sikapnya terhadap agenda neoliberalisme di Indonesia (lihat kotak 5.3). Ada kelompok penganut, pendukung yang dengan sadar memperjuangkan hampir semua agenda, seperti yang telah kita bahas di atas. Ada kelompok pendukung, meski dilakukan secara kurang sadar, dimana mereka bisa menerima agenda karena tetap bisa survive atau sedikit diuntungkan secara langsung ataupun tidak. Kelompok mayoritas adalah rakyat kebanyakan yang menjadi korban, yang dipaksa mendukung, secara sadar ataupun tidak. Tentu saja telah ada kelompok orang yang berusaha menolak dan melawan, secara individual maupun secara cukup terorganisir. Kotak 5.3 Pemetaan umum sikap atas agenda neoliberalisme Penganut n kaum kapitalis domestik, berkepentingan dgn rent seeking n para pekerja profesional (para bankir, ahli keuangan,dll) n kalangan akademisi, ekonom n Para politisi yang in power Pendukung secara kurang sadar n masyarakat umum yang bisa survive: kaum profesional, pengusaha menengah,dll Korban, dipaksa mendukung n rakyat kebanyakan: buruh, petani, pedagang kecil,dll Penentang n bersifat individual dari berbagai kalangan; sebagian bersifat cukup terorganisasi 290 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA BAB VI SIKAP KRITIS DAN TEGAS TERHADAP NEOLIBERALISME SEBAGAI SUATU KEHARUSAN Konsekwensi logis dari uraian dalam bab-bab sebelumnya sudah cukup jelas bahwa kita, bangsa dan rakyat Indonesia, seharusnya menolak agenda neoliberalisme yang akan dan sedang dilaksanakan di negeri ini. Tingkat penolakan mestinya ditampilkan dalam bentuk yang maksmimal, yakni perlawanan. Baik berupa perlawanan konseptual maupun yang bersifat aksi; individual maupun komunitas; perlawanan rakyat maupun perlawanan negara. Sikap tegas dan berpihak kepada kepentingan bangsa (rakyat kebanyakan) seharusnya diperlihatkan oleh para pemimpin dan intelektual. Mustinya, semua perlawanan itu bisa dilakukan sesuai dengan mekanisme politik yang ada, secara demokratis dan tanpa kekerasan. Namun, karena prosedur perjuangan parlementer sering tidak bisa diandalkan, maka yang bersifat ekstra parlementer pun patut dipertimbangkan. Pertimbangannya, mekanisme politik itu sendiri sebagiannya sudah direkayasa bagi kepentingan status qua dominasi kapitalisme di seluruh dunia. Permasalahan utamanya adalah agenda neoliberalisme sudah berjalan sangat jauh, dan telah hampir sepenuhnya mencengkeran perekonomian Indonesia. Cengkeraman ini pada dasarnya ditopang oleh infrastruktur kapitalisme yang telah berhasil dibangun sejak masa kolonialisme. Selain berupa komponen dan mekanisme kenegaraan yang telah disinggung tadi, ada pula sebagian kelompok domestik yang secara sangat sadar berpihak kepada neoliberalisme. Keberpihakan yang paling merintangi perlawanan adalah dari 291 mereka yang menikmati sejumlah besar bagian surplus ekonomi dari tatanan yang tercipta. Harus diakui memang ada intelektual yang berpihak kepada neoliberalisme sebagai ide karena cara berfikirnya sudah amat terpengaruh oleh propaganda ilmiah aliran itu. Kelompok (terutama para ekonom) ini berpandangan bahwa kemajuan dan kesejahteraan bangsa hanya bisa diperoleh jika Indonesia sepenuhnya mengikuti agenda neoliberalisme, dan hanya membutuhkan waktu dan kerja keras lagi. Salah satu dari penulis pernah mendengar pernyataan eksplisit tentang hal ini ketika menjadi pembicara dalam suatu diskusi bersama seorang doktor ekonomi lulusan Amerika yang masih muda dan dosen dari universitas terpandang di Indonesia. Salah satu yang dikatakannya adalah bukan sistem ekonomi (kapitalisme) yang salah, melainkan bangsa Indonesia yang tidak mampu mengoptimalkannya bagi kesejahteraan rakyat, terbukti dari negaranegara lain (termasuk beberapa negara berkembang) yang kondisi perekonomiannya amat baik. Ekonom ini belum tampak sebagai bagian dari vested interest, dan masih bersemangat membicarakan nasib rakyat kebanyakan, sehingga murni pandangan intelektual (cara berfikir)nya. Beliau tidak menanggapi lagi ketika penulis membantahnya dengan mengemukakan bahwa jauh lebih banyak negara (atau rakyatnya) yang menderita akibat dominasi kapitalisme di seluruh dunia, daripada yang berkelimpahan. Oleh karenanya, kita memerlukan penjelasan yang cukup mendalam dan relatif panjang mengenai kapitalisme pada umumnya dan agenda neoliberalisme pada khususnya seperti yang disajikan pada bab-bab sebelumnya. Agar kesadaran dan keberpihakan kepada perlawanan menjadi meluas dan powerful, masih akan ditambahkan beberapa aspek yang secara teknis lebih di ”depan mata” kita dan bisa dinalar dengan mudah. 292 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan Sudah pasti pula kita memerlukan lingkup perlawanan yang lebih luas, yang mendunia, mengingat rakyat negara-negara lain yang senasib dengan kita saat ini merupakan mayoritas penduduk bumi. Oleh karena alasan teknis, buku ini tidak banyak membicarakan aspek perlawanan di negara-negara lain, maupun aliansi bersama secara internasional. A. Kemungkinan Terjadinya Krisis Ekonomi dalam Waktu Dekat Perekonomian Indonesia tahun 2008 memang berbeda dengan tahun 1997. Dalam beberapa hal memang nampak lebih baik. Akan tetapi belum cukup baik untuk menjamin tidak terjadi krisis dalam skala yang cukup berarti. Kejatuhan yang dramatis seperti masa lalu mungkin belum akan terjadi, namun tetap ada kemungkinan memburuknya kondisi yang secara teori bisa disebut krisis. Secara bergurau, seorang kawan menyatakan bahwa oleh karena ekonomi kita telah jatuh sedemikian dalamnya dan belum berhasil kembali ke tingkat semula, maka tidak mungkin bisa terjatuh sejauh masa lalu. Jika jurang terdalam adalah 1000m, kita telah naik tebing di ketinggian 500m, maka jatuhnya maksimal 500m. Jangan lupa, ekonom mengukur segala sesuatu dengan margin atau growth (prosentase), jarang dengan ukuran absolut. Pada bab 1 kita telah mengutip sikap Pemerintah yang mengumbar rasa optimis ketika mengajukan Nota Keuangan dan RAPBN 2008 kepada DPR pada pertengahan Agustus 2007. Alasan optimisme itu adalah perkembangan indikator makroekonomi yang membaik secara signifikan pada triwulan akhir 2006 dan semester awal 2007. Diyakini bahwa pada semester kedua tahun 2007, kinerja perekonomian Indonesia akan semakin membaik dengan akselerasi pertumbuhan yang lebih tinggi dengan tetap terpeliharanya stabilitas ekonomi makro. Sebagian dugaan itu memang terbukti, namun tidak 293 sebaik yang diharapkan. Keadaan mulai memburuk di penghujung tahun, dan menjadi lebih rawan pada awal tahun 2008. Pemerintah tampak mulai sedikit khawatir. Sasaran pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan sebesar 6,8 persen pada tahun 2008 diturunkan pada revisi pertama dari APBN 2008, yang diajukan lebih cepat daripada waktu biasanya. Pemerintah memang memiliki hak untuk mengajukan RAPBN-Perubahan, yang biasanya dilakukan setelah dijalankan sekitar satu semester. Pengajuan itu dipercepat terutama sekali karena naiknya harga minyak dunia secara dramatis, jauh melampaui yang diasumsikan dalam APBN 2008. Meskipun meralat sebagian asumsinya, pemerintah masih cukup percaya diri dan mentargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 %, sebagaimana kutipan dari NK/RAPBN-P 2008 berikut : Pelemahan ekonomi global diperkirakan akan berdampak pada perkembangan ekonomi nasional 2008 terutama pada penurunan perkiraan pertumbuhan neraca perdagangan Indonesia dan investasi, sementara konsumsi domestik diperkirakan masih cukup kuat. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi di 2008 diperkirakan masih cukup tinggi, meskipun sedikit lebih rendah dibandingkan perkiraan dalam APBN 2008 (halaman I-9). Pihak Bank Indonesia (BI) sudah menyatakan pandangan yang lebih berhati-hati dibandingkan pemerintah. Selain itu, publikasi Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) memang dikeluarkan setiap tahunnya oleh BI pada sekitar bulan Maret atau April, sehingga telah memperhitungkan kondisi perekonomian dunia (dan domestik) yang tidak menentu dalam beberapa bulan terakhir. LPI-BI memuat penjelasan keadaan perekonomian tahun lalu dan proyeksi (BI menggunakan istilah prakiraan) tahun yang sudah mulai berjalan. LPI-BI 2007 (dipublikasikan April 2008) bernada tidak seoptimis Nota Keuangan dan RAPBN 2008 yang ditulis pada bulan Agustus 2007. 294 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan Namun, secara umum tetap ada kepercayaan atas kondisi perekonomian Indonesia yang masih amat baik, seperti kutipan berikut: Perekonomian Indonesia pada tahun 2007 mencatat beberapa pencapaian pokok yang menggembirakan meskipun mendapat tekanan terutama dari sisi eksternal. Untuk pertama kali sejak krisis, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas angka 6 % dengan stabilitas yang tetap terjaga baik. Neraca Pembayaran Indonesia mencatat surplus, cadangan devisa meningkat, nilai tukar menguat, pertumbuhan kredit melampaui target, dan laju inflasi sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Tingginya harga komoditas internasional, terutama harga minyak mentah, dan merambatnya krisis subprime mortgage adalah beberapa faktor yang menorehkan tantangan dan ujian pada perekonomian Indonesia pada tahun 2007. Dalam menghadapi deretan ujian tersebut, perekonomian Indonesia menunjukkan ketahanan yang lebih baik dalam mendukung pertumbuhan ekonomi..... Di tengah gejolak yang mewarnai perekonomian global, tantangan eksternal akan memberikan tekanan berat pada kinerja dan stabilitas makroekonomi dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 diprakirakan melambat dibandingkan dengan tahun 2007. Inflasi diprakirakan akan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sedangkan nilai tukar rupiah diprakirakan relatif stabil (halaman 2). Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 diprakirakan mencapai 6,2 %, lebih rendah dari tahun sebelumnya. Tingginya intensitas tekanan faktor eksternal diprakirakan akan mendorong perlambatan ekspansi ekonomi. Kinerja ekspor diprakirakan akan melambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, terkait dengan perlambatan ekspansi ekonomi dunia. Harga komoditas internasional yang bertahan tinggi mendorong Pemerintah untuk melakukan penyesuaian pola pengeluaran dalam RAPBN-P 2008 berupa efisiensi belanja konsumsi dan investasi, serta peningkatan subsidi. Kebijakan mengurangi belanja, untuk dialihkan ke dalam bentuk subsidi tersebut pada gilirannya mendorong perlambatan pengeluaran konsumsi dan investasi Pemerintah pada tahun 2008 (halaman 15). 295 Kutipan agak panjang dari LPI-BI diberikan karena, ada beberapa bagian yang tampak kurang konsisten. Selain itu ada kejadian penting (ketika buku ditulis) berupa kenaikan harga BBM bersubsidi, yang bisa membuat penalaran LPI-BI itu menjadi keliru. Perhatikan ketika LPI-BI 2007 itu menjelaskan pada halaman selanjutnya bahwa : Sumber pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 diprakirakan berasal dari kegiatan konsumsi masyarakat dan investasi. Membaiknya daya beli masyarakat, yang antara lain didorong oleh kenaikan UMP dan gaji pegawai negeri, serta berbagai kebijakan untuk menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok, mendukung kenaikan pengeluaran konsumsi masyarakat. Pertumbuhan konsumsi juga didorong oleh optimisme konsumen akan prospek ekonomi yang membaik, serta ditopang oleh ketersediaan pembiayaan yang semakin murah sejalan dengan tingkat suku bunga yang kondusif. Optimisme akan prospek ekonomi juga mendukung perbaikan kegiatan investasi. Investasi bangunan diprakirakan akan meningkat sejalan dengan semakin maraknya pembangunan proyek-proyek infrastruktur, baik oleh Pemerintah maupun Swasta. Upaya Pemerintah untuk menyelesaikan berbagai hambatan dalam pembangunan infrastruktur diharapkan akan mendukung kegiatan investasi tersebut. Investasi nonbangunan diprakirakan juga akan meningkat. Membaiknya permintaan dan optimisme akan prospek ekonomi mendorong minat pelaku usaha untuk melakukan peningkatan kapasitas perekonomian. Penerapan berbagai kebijakan di bidang investasi juga turut memberi insentif bagi kegiatan penanaman modal. Hal ini diindikasikan antara lain oleh peningkatan persetujuan investasi baik dari investor dalam negeri (PMDN) maupun luar negeri (PMA). Sementara itu, sejak triwulan kedua, pemerintah telah menyatakan akan melakukan penjadwalan berbagai proyeknya, melakukan berbagai penghematan, dan mengetatkan pengeluarannya. Kenaikan BBM bisa dipastikan akan mendorong inflasi menjai lebih tinggi daripada tahun sebelumnya, serta menurunkan daya beli masyarakat. 296 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan Bagaimanapun tingginya rasa percaya diri pemerintah dan prakiraan BI yang masih cukup optimis, kita musti khawatir dengan kondisi perekonomian nasional. Seperti yang telah kita kutip pada bab 1, BI juga mengeluarkan laporan yang bernada sangat optimis pada laporan tahun 1996/1997, yang dikeluarkan pada bulan Mei 1997, hanya beberapa bulan sebelum krisis. Setelah menilai perekonomian Indonesia selama tahun 1996/97 menunjukkan perkembangan yang cukup mantap, maka mereka memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada tahun 1997/1998 akan berkisar antara 7,5 dan 7,7 persen. Selain pertumbuhan ekonomi, yang juga dibanggakan adalah laju inflasi kumulatif selama tahun 1996/97 sebesar 5,17 %, yang merupakan angka terendah sejak tahun anggaran 1985/86, dan cadangan devisa yang meningkat dan mencapai $ 19,9 miliar atau setara dengan 5,2 bulan impor nonmigas. Masalahnya kemudian adalah bahwa Bank Indonesia telah terbukti salah meramal pada tahun 1997, sehingga apa jaminannya jika sekarang ini mereka tidak salah lagi. Padahal, sebagian besar petingginya juga orang-orang yang dahulu telah bekerja dan memiliki posisi penting di Bank Indonesia. Perlu dicatat, bahwa tak seperti di jabatan publik lain yang cukup banyak terjadi pergantian orang, BI tidak mengalami reformasi yang berarti dalam soal personalianya. Jalur karir di BI telah cukup teratur, atau dapat disebut “mantap”, sebagaimana isi hampir seluruh laporan resminya tentang perekonomian Indonesia. Dan yang paling utama, tidak nampak ada perubahan mendasar dalam cara pandang atau penalaran mengenai perekonomian pada laporan tahunannya. Pandangan pemerintah dalam hal ini bahkan lebih tidak bisa dijadikan pegangan, karena memang lebih memiliki muatan politik secara langsung dan kasat mata. Indikasinya adalah mudahnya mengubah prakiraan (antara lain melalui APBN) hanya dalam waktu 297 singkat, ditambah tidak tabunya untuk melanggar janjinya sendiri (seperti soal kenaikan harga BBM). Mereka jelas menolak kemungkinan terjadinya krisis yang serupa dengan tahun 1997. Paling jauh diakui oleh satu dua pejabat tinggi bahwa memang ada beberapa kemiripan keadaan ekonomi antara tahun 2007/2008 dengan 1996/1997, namun kebanyakan indikator ekonomi adalah berbeda (dalam arti lebih baik). Ditambahkan pula bahwa ada jaminan kesiapan pemerintah dan Bank Indonesia untuk menghadapi goncangan ekonomi, termasuk yang berasal dari eksternal. Yang menarik justeru pandangan para ekonom pada penghujung tahun 2007 yang seolah ikut “menjamin” bahwa krisis tak akan terulang lagi. Pandangan mereka relatif senada dengan optimisme Bank Indonesia dan pemerintah, yang bermuara pada argumen bahwa fundamental ekonomi Indonesia sekarang ini sudah kuat. Cukup kuat untuk menahan goncangan eksternal yang mungkin dapat terjadi sewaktu-waktu. Belakangan (triwulan kedua 2008), sebagian ekonom tadi sedikit meralat penilaiannya. Namun, opininya masih sekadar mengingatkan bahwa kondisi perekonomian mungkin tidak sebagus tahun 2007, bukannya memberi sinyal kemungkinan terjadi krisis. Permasalahnya adalah tidak pernah jelas apa arti dari “fundamental ekonomi yang kuat” yang menjadi argumen pokok itu. Sebagaimana dikutip pada bab 1, laporan Bank Indonesia tahun 1997 mengatakan “...Fundamental perekonomian Indonesia tetap mantap sehingga mendorong arus masuk modal...” Gubernur BI pada waktu itu, Soedrajad Djiwandono, dalam kata pengantarnya mengatakan bahwa faktor fundamental ekonomi Indonesia berkembang semakin kuat sebagai implikasi positif dari pembangunan yang dilakukan. Kemudian dalam kenyataannya, hanya sekitar dua bulan kemudian, fundamental yang disebut kuat tersebut hancur berantakan. Belakangan, dikatakan bahwa fundamental ekonomi pada tahun 1997 adalah rapuh alias tidak kuat. 298 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan Jika yang dimaksud dengan fundamental ekonomi adalah angkaangka makro ekonomi, bukankah dahulu juga demikian. Bahkan anggapan bahwa cadangan devisa sebesar 57 miliar dolar adalah sangat besar, bisa menyesatkan. Angka tersebut memang jauh lebih besar dibandingkan tahun 1997 yang cuma 19 milyar dolar. Akan tetapi jika diukur dengan rasionya teradap PDB pada tahun masingmasing, akan dihasilkan angka yang tidak berbeda terlampau jauh. Begitu pula jika dibandingkan dengan berapa bulan kebutuhan impor yang dapat dibiayai, maka juga keluar angka yang hanya sedikit lebih baik. Harap diingat bahwa tadi kita sudah menyinggung bahwa cadangan devisa USD 19 miliar ketika itu diklaim sebagai jumlah memadai oleh BI. Jika yang dimaksud dengan fundamental ekonomi adalah struktur produksi nasional, mengapa kita masih begitu rentan dengan fluktuasi harga komoditi tertentu, seperti minyak mentah misalnya. Jika yang dimaksud adalah adanya keseimbangan yang dinamis antara permintaan dan penawaran agregat, mengapa sumber pertumbuhan ekonomi terbesar kita justeru berasal dari konsumsi. Dan yang paling mendasar apakah ada perekonomian dengan fundamental ekonomi yang kuat yang memiliki angka pengangguran lebih dari 9 % (10 juta orang). Ingat bahwa jika dihitung dengan standar yang lebih tinggi (yang lebih sesuai dengan teori ekonomi), pengangguran bisa mencapai 30 % (lebih dari 30 juta orang). Fundamental ekonomi yang kuat semacam apa pula yang dapat dibangun di atas kemiskinan 37 juta rakyat Indonesia, yang mencakup seperenam penduduk negeri. Dan jika ukuran kemiskinan yang dipakai adalah standar internasional, maka jumlah orang miskin menjadi lebih dari 100 juta rakyat atau hampir separuh penduduk. Tentu saja kita tetap tidak mengharapkan krisis ekonomi akan terjadi lagi, karena yang paling berat menanggungnya pasti adalah rakyat banyak. Namun, kita perlu melihat segala kemungkinan 299 buruk di masa depan yang amat dekat ini. Manfaat dari prakiraan kondisi akan memburuk atau sangat memburuk (krisis) adalah adanya upaya yang lebih dini bagi pencegahan atau pelunakan eskalasinya. Krisis dapat terjadi dengan skenario yang berbeda dari tahun 1997. Misalnya, pada tahun 1997, perbankan menyalurkan kredit sangat besar jika dibandingkan dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpunnya, sedangkan saat ini keadaan adalah sebaliknya. Kredit bermasalah juga lebih besar pada saat itu. Sehingga industri perbankan sangat cepat terpukul oleh krisis moneter. Beban utang luar negeri pemerintah dan swasta juga lebih besar daripada saat ini. Cadangan devisa yang dimiliki saat itu sebenarnya juga tidak buruk (19 milyar dolar) jika diukur dari keperluan impor, atau rasionya dari PDB. Saat ini, 57 milyar dolar, memiliki rasio yang hanya sedikit lebih baik dari itu. Akan tetapi dilihat dari beban utang luar negeri (cicilan dan bunga) pemerintah dan swasta, saat ini keadaannya memang lebih baik. Ada kesamaan yang terlihat kasat mata. Ada arus modal asing yang masuk cukup besar. Sekarang dalam bentuk investasi portofolio. Dahulu lebih banyak mengalir ke perusahaan swasta sebagai utang. Berbeda bentuk namun sama-sama bersifat jangka pendek. Sekarang bahkan bersifat sangat pendek. Bagaimanapun akan terjadi tekanan terhadap nilai tukar rupiah jika modal tersebut pergi ke luar lagi secara mendadak (sudden reverse), sekalipun tekanannya akan tampak lebih lemah dibanding tahun 1997 dahulu. Akan tetapi harus diwaspadai adanya dampak psikologis terhadap para pemilik modal di dalam negeri jika hal itu mulai terjadi. Bukankah mereka yang panik akan bisa saja memperburuk situasi, antara lain dengan memborong dolar atau capital outflow. Jangan lupa bahwa ada DPK di perbankan yang lebih dari 1.600 triliun rupiah, dan ada dana nonperbankan di pasar modal yang 300 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan berjumlah ratusan triliun rupiah. Jika sebagian dana itu outflow ditambah dengan modal portofolio asing yang memang biasa keluar masuk, maka jumlahnya akan lebih dari cukup untuk menghabiskan cadangan devisa sebesar 57 milyar dolar, hanya dalam hitungan hari atau jam. Pada bab 3 telah disinggung bahwa lebih dari separoh DPK di perbankan adalah milik individu, bukan lembaga (perusahaan), sehingga pengambilan keputusannya bisa berlangsung secara sangat cepat. Ditambah lagi dengan fakta bahwa DPK yang terdiri dari rekening tabungan, giro dan deposito tersebut bersifat terkonsentrasi atau dimiliki oleh segelintir pihak. Rekening bernilai di atas Rp 100 juta dengan total lebih dari 85 % DPK hanya terdiri dari sekitar 1,5 % rekening. Bahkan yang bernilai di atas Rp 1 milyar hanya terdiri dari 0,14 % rekening, yang menguasai lebih dari 50 % DPK. Bisa diduga pula bahwa satu orang atau lembaga memiliki beberapa rekening bank. Dengan demikian, bagaimana kita bisa merasa bahwa fundamental ekonomi kita kuat dan aman, jika sedikit pihak menentukan “nasib” orang banyak. Jangan dilupakan pula bahwa para pemilik modal besar, dalam dan luar negeri, tidak segan-segan menjadi spekulan dalam sektor keuangan. Bagi kebanyakan mereka, keuntungan diri sendiri jauh lebih penting dari sekadar nasionalisme atau nasib orang banyak. Jika fluktuasi yang tidak stabil, termasuk depresiasi rupiah yang drastis, akan menguntungkan bagi mereka, tidaklah mustahil justeru akan diupayakan demikian. Tidak bisa pula kita menutup mata akan kemungkinan adanya oknum yang memiliki wewenang di Bank Indonesia dan pemerintahan turut mengambil keuntungan. Di bagian depan kita sudah mengingatkan bahwa meski beberapa indikator eksternal menunjukkan perbaikan, ekonomi Indonesia masih rentan terhadap risiko contagion effect, penularan krisis dari negara lain. Sebagaimana telah kita bahas, struktur ekspor kita juga 301 kurang kuat (dilihat dari aspek komoditi dan negara tujuan) dan impor kita bergantung pada sedikit negara. Bahkan, keadaan transaksi berjalan dan Neraca Pembayaran Internasional kita secara keseluruhan amat bergantung pada arus keluar masuk modal asing. Padahal, ada indikasi peningkatan tingkat kerentanan sektor eksternal selama tahun 2007 dan masih berlanjut pada beberapa bulan tahun 2008, khusus yang terkait dengan derasnya arus modal portofolio. Antara lain peningkatan transaksi finansial berjangka pendek, berupa kepemilikan SUN, SBI dan saham oleh asing, yang melebihi transaksi finansial berjangka panjang atau penanaman modal langsung. Derasnya arus masuk modal asing ke lantai bursa meningkatkan sisi permintaan secara signifikan, sehingga mendorong kenaikan IHSG yang sangat tajam. Sementara itu dari sisi penawaran, penambahan emisi (saham, obligasi,dll) baru terjadi dalam jumlah yang tidak sebanding. Akibatnya, kenaikan harga saham tampak tidak sesuai (seimbang) dengan kinerja perusahaan emiten (yang menerbitkan emisi), yang suka disebut dengan gejala bubble. Secara teoritis, bubble ini dapat meletus, sehingga memicu pembalikan arus modal asing keluar pada saat kondisi yang tidak menguntungkan. Bisa dikatakan, perekonomian Indonesia beruntung (harus diakui, sebagiannya karena upaya dari pemerintah dan BI) karena IHSG kemudian terkoreksi secara tidak terlampau dramatis secara makro ekonomi, meskipun ada capital loss yang cukup signifikan bagi sebagian pelaku pasar keuangan. Perlu dicatat bahwa sebagian besar penyebab koreksi itu adalah dampak dari keadaan keuangan global. Sementara itu, BI dan kebanyakan ekonom amat yakin bahwa rupiah tidak akan terdepresiasi sedrastis tahun 1997, yang turun sampai menjadi seperlimanya. Kemungkinan besar memang demikian, namu bagaimana jika yang terjadi adalah depresiasi sekitar 302 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan 30-50 %, nilai tukar rupiah menjadi sekitar Rp 12.000 pada akhir tahun 2008 atau awal tahun 2009. Kebanyakan pelaku ekonomi negeri ini pasti akan sangat terpukul. Minyak goreng saja bisa hilang dari pasar ketika harga internasional CPO jauh melebihi harga di dalam negeri, sehingga bisa dibayangkan jika didorong lagi oleh depresiasi rupiah. Pukulan bagi peternak ayam, perikanan darat, dan sejenisnya pasti sangat telak, mengingat pakan ternak masih berkomponen impor yang tinggi. Ribuan contoh pukulan bisa diberikan di sini. Intinya, sekalipun yang terjadi adalah “krisis kecil”, kebanyakan pelaku ekonomi akan babak belur, karena mereka justeru tidak memiliki daya tahan sekuat tahun 1997 lagi. Dan jangan lupa, APBN pun akan mendapat beban lebih berat, sehingga ruang fiskal bagi pelayanan umum (apalagi yang bersifat merangsang pertumbuhan) akan semakin sempit. Jika memang terbukti tidak terjadi krisis sampai dengan awal tahun 2009, bagaimana dengan pada tahun-tahun berikutnya? Tingkat keterbukaan yang amat tinggi dari perekonomian Indonesia (semakin terintegrasi dengan tatanan kapitalisme dunia) membuat “siklus bisnis” pasti terjadi. Peak turun dari perekonomian tidak bisa dihindari dalam kurun waktu tertentu, yang jika tidak hati-hati dengan mudah berubah menjadi krisis. Setiap upaya mencegah krisis memerlukan biaya ekstra jika dilihat dari perspektif kebijakan makroekonomi. Kita sudah memiliki pengalaman mengenai biaya pemulihan krisis, dan sebenarnya juga telah mengeluarkan biaya cukup besar untuk mencegah krisis pada akhir tahun 2007 sampai dengan awal tahun 2008 ini. Biaya mengenai yang disebut terakhir ini memang tidak terlampau kasat mata bagi publik, karena antara lain berupa ”trade off” kebijakan ekonomi. Kebijakan makroekonomi yang bias moneter dan sektor keuangan (termasuk perbankan) telah mengkerdilkan kebijakan lainnya. 303 Dengan kenaikan harga BBM dan masih belum menentunya pasar keuangan internasional dan harga-harga komoditas strategis di dunia, maka biaya ”pencegahan krisis” pun akan menjadi semakin besar. Upaya mempertahan nilai tukar rupiah dan pengendalian inflasi akan menjadi lebih besar daripada waktu sebelumnya. Sebagai contoh, BI sudah memberi sinyal akan memperketat kebijakan moneternya (sebetulnya sudah cukup ketat selama ini). Pemerintah pun berencana (sebagiannya karena terpaksa) lebih mengerem pengeluaran dan berupaya menaikan penerimaannya dari pajak. Secara keseluruhan berarti akan ada dampak kontraksi bagi perekonomian, yang antara lain akan diindikasikan oleh laju pertumbuhan yang menurun dan meningkatnya pengangguran. Khusus masalah pengangguran ini kita musti mengukurnya dengan ukuran yang standar secara teori ekonomi (berarti memasukkan angka setengah pengangguran ke dalam definisi pengangguran). Kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi adalah kebijakan pengendalian inflasi tidak berhasil, sedangkan perekonomian sudah terlanjur terkontraksi. Fenomena ini dalam khasanah teori biasa disebut stagflasi, dimana tingkat pengangguran yang tinggi terjadi bersamaan dengan inflasi yang tinggi. Stagflasi yang cukup parah dan berlangsung cukup lama (setahun atau lebih) bisa disebut krisis, dan akan berdimensi lebih luas jika disertai depresiasi besar dari nilai tukar terhadap mata uang asing. Dengan kata lain, pada saat ini dan satu dua tahun kedepan, seandainya krisis ekonomi tidak terjadi pun, keadaan telah cukup buruk. Sekali lagi kita ingatkan soal pengangguran dan kemiskinan, kondisi mikro UMKM, serta kehidupan rakyat kebanyakan. Logika pemerintah tentang penyerapan tenaga kerja dengan memacu pertumbuhan ekonomi (terutama dengan bersolek agar investasi asing berdatangan), seandainya berjalan sesuai rencana pun, hasilnya tidak 304 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan akan memuaskan. Apalagi jika skenario tidak berjalan dengan baik. Setiap 1 % pertumbuhan ekonomi saat ini diduga hanya akan menciptakan kesempatan kerja sekitar 250.000, jadi jika tumbuh 6 % baru akan menyerap sekitar 1,5 juta pencari kerja. Bukankah jumlah tersebut baru setara dengan pertambahan angkatan kerja setiap tahunnya, lalu akan sampai kapan pengangguran yang tinggi bisa diatasi. Ketika angka pengangguran menurun pada tahun 2007 pun, ternyata sumber utamanya justeru bukan dari pertumbuhan ekonomi seperti yang diharapkan, melainkan karena penyerapan sektor non formal. Sudah pasti pula kemiskinan tidak akan bisa dientaskan dengan skenario semacam itu. Kotak 6.2 B. Beberapa Alasan Teknis dari Penolakan Alasan utama penolakan kita adalah karena agenda neoliberalisme di Indonesia hanya merupakan bentuk mutakhir dari kapitalisme, yang dahulu pernah berwujud penjajahan fisik (kolonialisme). Indonesia membutuhkan waktu sangat lama untuk bisa mengusir kolonialisme yang telah mengakibatkan penderitaan langsung bagi rakyat banyak. n Dengan semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia kepada tatanan kapitalisme dunia, maka dampak “siklus bisnis” internasional akan selalu dirasakan. Pada saat bersamaan, perekonomian nasional pun memiliki siklus bisnis sebagaimana lazimnya perekonomian yang amat mengandalkan mekanisme pasar. Peak turun dari perekonomian tidak bisa dihindari dalam kurun waktu tertentu, yang jika tidak hati-hati dengan mudah berubah menjadi krisis. n Seandainya krisis ekonomi tidak terjadi pun, keadaan saat ini telah cukup buruk. Dan upaya pencegahan krisis memerlukan biaya yang akan memperparah keadaan ekonomi rakyat kebanyakan. 305 Bahkan, dampaknya masih didera hingga kini, yang antara lain berupa struktur ekonomi dualistis dan struktur ketergantungan ekonomi. Kapitalisme juga yang “menyusup” dalam ideologi (faham) pembangunan Orde Baru, yang akibat buruknya justeru semakin dirasakan pada era kini. Faham yang mengagungkan pembangunan ekonomi (pembangunanisme) adalah versi Negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, tentang faham negara kesejahteraan atau Keynesisme yang diformulasi bagi kepentingan kapitalisme internasional. Sosialisasi pembangunanisme berisi segala penjelasan dan penalaran yang bermuara pada janji akan terciptanya kesejahteraan bagi rakyat kebanyakan. Penalaran ilmiah oleh ekonom terkemuka, dalam dan luar negeri, disampaikan dengan meyakinkan. Salah satunya bernada “kita tumbuh dahulu, kue menjadi sangat besar, baru kemudian dibagikan secara merata”. Diyakini akan ada mekanisme penetesan ke bawah (trickle down effect). Begitu pula logika akan perlunya ULN, PMA, investasi, dan seterusnya. Peran negara dalam konteks ini bersifat ganda, sebagai pelaku pembangunan ekonomi (investor atau pengusaha) serta menjadi ”pengawal” agar segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Hasilnya seperti yang telah disinggung terdahulu, pada mulanya kinerja perekonomian begitu menjanjikan (sebab utamanya adalah berlimpahnya dana utang dan investasi asing), untuk kemudian menjadi sangat buruk pada akhirnya. Dari sisi rakyat kebanyakan, ada sedikit yang bisa dinikmati rakyat pada era Orde Baru untuk kemudian mengalami penderitaan pada masa kini. Memang ada sejumlah kecil masyarakat yang menikmati hasil pembangunanisme dalam porsi besar, dan kemudian bertahan menjadi elit masyarakat hingga kini. Neoliberalisme adalah konsep sekaligus paket kebijakan ekonomi yang dijelaskan secara sedikit berbeda dari pembangunanisme. Bahkan dikesankan bermaksud memperbaiki kesalahan dan 306 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan mengatasi masalah yang ditimbulkannya. Dikembangkan beberapa konsep dan hipotesa tentang sebab-sebab kegagalan upaya memakmurkan rakyat dan stagnannya perekonomian, sekaligus rekomendasi perubahannya. Sebagai contoh adalah diagnosa kebanyakan ekonom mainstreams tentang kehancuran perekonomian Indonesia di penghujung era Orde Baru. Alih-alih menganggap penyebab krisis adalah terlampau terintegrasinya perekonomian Indonesia kepada tatanan kapitalisme dunia, malah hasil diagnosa yang disodorkan adalah karena Perekonomian Indonesia kurang konsisten dalam pengintegrasian itu. Solusinya, perekonomian kita harus lebih pasar oriented, menghilangkan secara sungguhsungguh hambatan bagi mekanisme pasar, serta lebih terbuka dengan pihak asing. Pandangan ini ditopang oleh wacana internasional mengenai teori dan kebijakan ekonomi. Berbagai krisis yang terjadi di banyak negara selama era 90-an, setelah sebelumnya krisis utang selama era 80-an, tidak berhasil membuat perubahan yang cukup mendasar dalam teori ekonomi, khususnya teori ekonomi makro. Paling jauh yang terjadi adalah terciptanya konsensus dalam beberapa “faksi” mainstreams macroeconomics, sebagaimana yang tercermin dalam konsensus Washington. Tidak dapat lagi disebut adanya dominasi Keynesian ataupun dominasi monetarist. Mankiw yang mengklaim dirinya sebagai new Keynesian pun tampak sangat monetarist. Mustinya kita waspada terhadap apa yang dikatakan oleh Samuelson, sebagaimana dikutip oleh Mankiw (2006), “Saya tidak peduli siapa yang membuat undang-undang suatu negara, atau membuat perjanjian- perjanjian negara tersebut, jika saya mampu menulis buku ajar (textbook) ilmu ekonominya.” Dengan demikian, “konsep baru” itu jelas hanya merupakan varians lain dari “persediaan konsep” yang dimiliki kapitalisme. 307 Konsep itu secara logis mendapat momentum penerapannya dalam tatanan dan kondisi yang paling mutakhir. Dari sisi rakyat kebanyakan, pembangunanisme Orde Baru yang menyediakan beberapa program bantuan langsung secara masif (banpres, inpres, jps, dll) saja dirasakan tidak berarti banyak. Apalagi dengan agenda neoliberalisme saat ini, yang dengan terang benderang akan mengurangi hal-hal yang bersifat subsidi dan pelayanan umum. Artinya, berbagai kebijakan ekonomi secara langsung akan bersifat menyengsarakan rakyat, setidaknya dalam jangka pendek. Tentu saja pendukung neoliberalisme berusaha menjelaskan dan berargumen dengan mengemukakan perlunya “sedikit” pengorbanan dari rakyat untuk beberapa waktu (yang lamanya tidak pernah jelas). Ketika mekanisme pasar bekerja sepenuhnya dengan baik, maka pada akhirnya kesejahteraan seluruh rakyat bisa diwujudkan. Sebagai contoh adalah soal ketenaga kerjaan, dalam isyu revisi UU beberapa waktu yang lalu. Jika buruh bersedia dibayar lebih murah dan gampang “diatur”, maka Indonesia akan diminati investor asing (PMA), toh pada akhirnya akan dapat diserap lebih banyak tenaga kerja. Bahkan para pencari kerja bisa “bermimpi”, pada suatu saat perusahaan yang berebut mencari pekerja, karena kebutuhan akan tenaga kerja yang banyak, bukannya seperti saat ini. Yang tidak diutarakan (disamarkan) adalah berapa lama hal itu kira-kira akan terjadi, jika memang dimungkinkan. Bagaimana jika semua negara miskin dan menengah melakukan taktik yang sama. Bukankah globalisasi membuat PMA akan dengan mudah memindahkan modalnya ke mana suka. Contoh-contoh bisa kita tambahkan berkenaan dengan insentif pajak bagi PMA, penjualan BUMN, kesediaan pemerintah “mengalah” kepada kontraktor pertambangan asing, dan sebagainya. Pada akhirnya, semua negara dunia ketiga dipaksa berbagi potongan kue kecil yang disisakan oleh negara industri maju. Impian untuk mengejar ketertinggalan dari 308 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan negara industri maju, seperti yang diajarkan dalam buku teks ilmu ekonomi pembangunan, adalah memang betul-betul mimpi jika menggunakan cara yang disediakan mainstreams economics. Ada baiknya pula jika kita menjelaskan beberapa alasan penolakan terhadap agenda neoliberalisme yang lebih “teknis” dan dapat dicermati dalam fakta dan dinamika perekonomian nasional saat ini. Sebagiannya dengan mudah dapat dibaca dari angka-angka resmi, indikator ekonomi Indonesia, yang sebagian besarnya telah disajikan dalam bab-bab terdahulu. Pada bagian ini akan dicermati kembali beberapa diantaranya. Pertama tentang soal Neoliberalisme telah dan masih akan menguras harta kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) kita. Hasilnya sudah dan tetap akan dinikmati para kapitalis asing, serta sebagian orang kaya di dalam negeri. Penalarannya, sudah terlihat dalam banyak uraian di atas. Kita tambahkan saja dengan ilustrasi angkaangka. Diperkirakan selama periode 1970-2007, jadi belum termasuk sejak zaman kolonial, minyak mentah yang sudah dikuras mencapai 16 miliar barel. Hutan alam yang jutaan hektar, tinggal sekitar 30 persennya. Emas, perak, batubara, nikel, dan bahan tambang lainnya telah dikuras sedemikian rupa. Sementara itu, Utang luar negeri (ULN) yang telah dicairkan selama kurun itu melebihi angka USD 200 miliar. Meskipun sekitar sepertiganya adalah utang swasta, dalam prakteknya banyak yang digaransi oleh pemerintah, atau memang merupakan utang para kroni penguasa. Khusus untuk utang pemerintah, keadaannya diperparah oleh membengkaknya utang dalam negeri (sebagaimana yang telah dibahas pada bab 2). Pada akhirnya ketika neoliberalisme mulai dilaksanakan secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir, beban utang pemerintah sedemikian memberatkan kondisi keuangan negara. Pembayaran cicilan dan bunga utang setiap tahunnya lebih dari seperempat pendapatan pemerintah (lihat tabel 6.1). 309 Tabel 6.1 Perkembangan beban Utang Pemerintah dalam APBN *perkiraan penulis dari data SUN; Sumber: APBN, diolah Total pembayaran beban utang tersebut bisa dibandingkan dengan penerimaan SDA pada kurun waktu bersamaan. Kita akan bisa mengatakan bahwa dalam kebanyakan tahun anggaran, maka hasil penerimaan SDA hanya dihabiskan untuk membayar beban itu. Dapat pula angka-angkanya diperbandingkan dengan pengeluaran subsidi, yang berulangkali ditegaskan akan dikurangi oleh pemerintah (lihat tabel 6.2). Tabel 6.2 Pembayaran Beban Utang, Subsidi dan penerimaan SDA (Rp milyar) Sumber: APBN dan LKPP, diolah Tahun Beban Utang Subsidi Penerimaan SDA 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 103.027 103.857 99.587 125.469 126.509 143.090 197.536 77.443 43.628 43.899 91.529 120.784 107.410 150.214 85.672 64.755 67.739 96.717 110.441 164.773 133.018 Tahun Cicilan ULN Cicilan UDN Bunga ULN Bunga UDN total Pendapatan Negara % 99/00 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 20.196 7.623 15.885 12.259 19.812 46.491 37.130 52.725 57.922 - - - 3.931 14.424 16.492 24.228 11.339 60.063 20.505 18.830 28.945 62.261 18.995 23.200 21.655 24.129 25.728 22.230 31.238 58.197 25.406 46.356 39.286 43.496 54.897 53.822 62.931 57.691 103.027 103.857 99.587 125.469 126.509 143.090 197.536 200.644 205.335 301.078 298.605 341.396 403.366 495.154 637.797 708.494 31,4 28,1 34,2 34,7 29,2 31,1 25,6 22,4 27,9 310 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan Kita bisa membayangkan seandainya pembayaran cicilan dan bunga utang itu “diberikan” kepada penduduk miskin. Seandainya dilakukan selama satu tahun saja, tahun 2007 yang menyediakan dana 197,5 triliun rupiah, misalnya. Oleh karena jumlah penduduk miskin menurut BPS adalah sekitar 37 juta, maka setiap orang akan mendapat 5,34 juta rupiah. Menurut data statistik pula, rata-rata satu keluarga beranggotakan 4,3 orang (jumlah penduduk dibagi dengan jumlah rumah tangga), sehingga setiap keluarga akan mendapat sekitar 23 juta rupiah. Dengan demikian, secara perhitungan ini an sich, maka tidak ada kemiskinan lagi di Indonesia. Tentu saja kita memerlukan teknik “pemberian” yang memperhitungkan edukasi dan perkembangan ke arah proses yang sehat dan mendorong mereka memiliki pendapatan sustainable di masa datang. Pengandaian itu hanya untuk memperlihatkan adanya masalah alokasi anggaran dan prioritas kebijakan ekonomi di negeri ini. Perlu diketahui bahwa cicilan dan bunga ULN dibayarkan kepada kreditur asing (World Bank, ADB, USA, Jepang, Bank komersial), yang bisa dipastikan dibelakangnya adalah kaum kapitalis besar. Cicilan dan bunga UDN dibayarkan kepada pemegang obligasi (SUN), diantaranya adalah bank-bank, lembaga keuangan, dan penduduk asing (off shore) lainnya. Bisa dipastikan yang menikmati pembayaran tersebut adalah para orang kaya di negeri ini dan di negara asing (harap diingat data bab 4 tentang kepemilikan asing atas bank umum). Bandingkan dengan subsidi yang dibayar, yang rencananya bahkan akan ditiadakan setelah sekian waktu. Subsidi itu sendiri, menurut banyak penjelasan resmi, dianggap dinikmati oleh orang kaya, artinya tidak sepenuhnya untuk orang miskin. Sejatinya pula kita dapat membandingkan pos pembayaran utang ini dengan pos belanja apa pun dalam APBN. Tidak akan ada pos yang dapat menandinginya, padahal direncanakan akan tetap demikian dalam tahun-tahun anggaran mendatang. 311 Kedua, segala mekanisme pasar uang dan pasar modal yang lebih bebas dan semakin terintegrasi kuat dengan pasar internasional hanya akan memberi kesempatan perolehan rente ekonomi (rent seeking) yang besar bagi para pemilik modal. Bursa saham dan pasar valuta asing adalah tempat perjudian legal dengan taruhan yang amat besar. Bedanya dengan judi biasa, para pemilik modal besar bisa berubah-ubah peran menjadi pemain atau bandar, dan hampir selalu menang. Kunci utamanya adalah sistem informasi canggih yang dimiliki, serta pemahaman yang sangat cermat akan “mekanisme” tersebut. Termasuk di dalamnya adalah “memegang” cara berfikir para pengambil kebijakan di Indonesia. Contoh paling mutakhir adalah fenomena mengalirnya dana ke pasar modal Indonesia, sehingga menguatkan IHSG dan rupiah. Hal itu pada dasarnya dinamika rent seeking, tidak berhubungan kuat dengan kinerja ekonomi nasional yang lebih fundamental, apalagi dengan perbaikan kesejahteraan rakyat. Bisa menjadi lebih buruk jika dalam waktu mendatang, fenomenanya berbalik arah. Pemerintah dan Bank Indonesia tidak akan dapat berbuat banyak, dan secara konseptual memang tidak boleh intervensi berlebihan. Dalam contoh tadi, ada soal volatilitas nilai rupiah, khususnya terhadap dolar Amerika, sebagai akibat derasnya modal portofolio yang masuk ke pasar Indonesia. Artinya, penguatan nilai rupiah belum benar-benar disebabkan oleh penguatan sektor riil dalam perdagangan internasional Indonesia. Dengan mudah dan dalam waktu singkat, rupiah bisa melemah jika modal portofolio tersebut mengalir keluar. Yang bisa menjadi masalah adalah tidak selalu porsi penguatan akan setara dengan porsi pelemahan nantinya (jika terjadi). Ada banyak faktor lain seperti faktor psikologis bagi modal yang sudah lebih dahulu masuk, serta faktor spekulasi dari pihak-pihak yang ingin mendapat keuntungan dari fluktuasi itu. 312 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan Mungkin pembaca yang kritis akan bertanya, jika dalam mekanisme pasar uang dan pasar modal itu para kapitalis besar tersebut untung, siapa yang dirugikan? Disinilah letak kecanggihannya, surplus yang ditarik meliputi berbagai sumber, dan sebagiannya hanya bersifat mengurangi surplus lainnya sehingga tak terlalu kentara. Diantara yang akan tersedot adalah hasil ekspor, bunga tabungan domestik, sebagian penerimaan pajak, sebagian dana cadangan pemerintah dan Bank Indonesia, dan pemain lokal yang amatiran. Ingat uraian terdahulu mengenai penempatan dana perbankan di SBI, kepemilikan asing atas SUN ataupun SBI, dan lain sebagainya. Jangan dilupakan pula bahwa wilayah operasi modal adalah seluruh dunia, sehingga akan ada perpindahan secara sistematis, sehingga ada kesempatan “tumbuh” bagi masing-masing perekonomian. Ibarat padang rumput yang amat luas, maka para penggembala dengan ternaknya (modal) bisa leluasa berpindah lokasi sambil memperhitungkan kemungkinan tumbuhnya kembali rumput yang telah dimakan. Dalam konteks itu kita bisa memahami arti strategis dominasi kepemilikan asing atas perbankan Indonesia. Begitu pula dengan peningkatan aktivitas mereka dalam pasar modal Indonesia melalui berbagai perusahaan sekuritas. Dan pada saat bersamaan, ada opini kuat untuk mendorong agar perusahaan yang strategis (termasuk BUMN) melakukan IPO atau semakin memperbesar saham dan obiligasinya di pasar modal. Ketiga, dengan liberalisasi perdagangan maka kita akan membiarkan sebagian besar rakyat Indonesia berkelahi dengan “gaya bebas” melawan pelaku ekonomi dari negara-negara maju. Petani Karawang, yang hampir tak memperoleh bantuan apa pun dari negara, akan bersaing dengan petani Cargil yang “dibantu” oleh pemerintah USA (Khudori, 2004). Industri domestik apa pun dipaksa siap bertarung dengan industri sejenis dari negara maju sekarang 313 atau dalam waktu amat dekat ini. Tentu saja, ada sebagian industri kita yang telah siap dan mampu bersaing. Namun, sebagian besarnya bisa dikatakan belum siap. Ketidaksiapan itu sendiri lebih dikarenakan kurangnya bantuan pemerintah, yang bahkan menggerogoti para pelaku usaha itu sejak era Orde Baru. Sementara itu, para kapitalis kroni era Orde Baru sudah mulai secara sistematis “mengalihkan” modalnya ke sektor yang bisa berkolaborasi dengan kapitalisme global. Mereka pada umumnya kurang tertarik dengan sektor riil domestik yang bersifat pengolahan atau yang padat karya. Fokus mereka antara lain pada sektor ekstratif (pertambangan) dan berkolaborasi dengan modal asing. Memang ada sektor riil domestik yang mereka minati pula, karena memberi nilai tambah yang besar bagi pemilik modal, yaitu sektor properti. Sektor properti dimaksud tetap dengan catatan terkait sebagai penunjang bisnis lainnya. Sebagian dari pemodal besar domestik bahkan secara nyata menginvestasikan modalnya keluar negeri (capital flight). Ironi, bahwa pemerintah mengemis agar PMA masuk, sementara kaum kapitalis domestik sudah banyak yang “memarkir” modalnya ke luar negeri. Yang tersisa di sektor riil, yang tidak dimiliki oleh pihak asing, adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Petani dan UMKM “diminta” bersaing secara bebas dengan siapa pun, termasuk melawan MNC atau pemerintah Amerika. Para buruh pun diminta bernegosiasi sendiri, dimana ada provokasi terselubung bahwa pabrik-pabrik bisa dialihkan ke negara lain jika mereka memberi tawaran terlampau tinggi dan dianggap tidak bersahabat karena suka menuntut. Keempat, penerapan agenda neoliberalisme di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terbukti secara langsung menambah penderitaan rakyat. Dampak kenaikan BBM beberapa kali, yang disertai dengan inflasi yang tinggi, membuat taraf hidup nyata rakyat benarbenar turun. 314 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan Pada beberapa tahun awal pemulihan krisis sepertinya inflasi memang bisa dikendalikan, dari 77,54 % (1998) menjadi 2,01 % (1999), naik kembali pada tahun-tahun berikut menjadi 9,35 %, 12,55% dan 10,03 %. Yang perlu difahami adalah biaya pengendalian inflasi itu sangat besar, salah satu diantaranya berupa suku bunga yang amat tinggi. Akibatnya, sektor riil hampir tidak mendapat bantuan apa pun dari sektor keuangan, serta biaya bunga utang yang dikeluarkan oleh APBN akan terus membengkak. Kelima, dengan privatisasi besar-besaran atas BUMN dan perusahaan swasta domestik maka Indonesia mulai kehilangan kedaulatannya atas banyak hal. Nilai-nilai kemerdekaan secara jelas telah dikhianati. Memang sering dibantah oleh pendukung neoliberalisme di Indonesia bahwa kita tetap bisa mengatur mereka sesuai dengan hukum dan perundang-undangan negeri ini. Masalahnya, segala peraturan perundang-undangan yang relevan juga telah dan sedang “direvisi” sesuai dengan “pesanan”. Paket peraturan itu sebagian besarnya sudah bersifat universal, mirip di seluruh dunia. Cermati saja Undang-undang Penanaman Modal yang telah disahkan pada tahun 2007, dimana tidak ada perbedaan lagi antara modal asing dan modal domestik. Tatkala ada negosiasi soal beberapa sektor yang tertutup untuk asing dalam peraturan level yang lebih rendah, pihak kapitalisme segera berteriak dan menyerang balik. Soal yang lebih parah adalah di dunia perbankan, dimana segala macam pandangan dari Bassel, markas Bank for International Seatlements (BIS), diterapkan hampir tanpa reserve oleh Bank Indonesia. Wajar jika dalam beberapa tahun ke depan besar kemungkinan mayoritas kepemilikan atas perbankan di Indonesia akan dimiliki oleh pihak asing. Dalam konteks ini kita harus tetap mencermati bahwa industri perbankan, melalui BLBI dan program rekapitalisasi perbankan, telah menghabiskan biaya lebih dari 600 315 triliun rupiah. Dengan kata lain, yang sebenarnya menikmati bantuan pemerintah tersebut adalah para pemilik modal besar (sebagian besarnya adalah pihak asing). Keenam, agenda neoliberalisme benar-benar bertentangan dengan isi dan semangat pasal 33 UUD 1945. Mekanisme pasar amat diandalkan sebagai dasar sistem ekonomi; hak milik pribadi dikembangkan seluas-luasnya; peran ekonomi yang langsung dari negara dikerdilkan. Tidak mustahil jika pasal itu pun akan diamandemen secara terang-terangan, sehingga neoliberalisme menjadi konstitusional. Sebenarnya, saat ini neoliberalisme masih bisa digugat sebagai inkonstitusional, seperti yang dicontohkan kasus UU Migas, Kelistrikan, dan Perpres kenaikan BBM. Akan tetapi, peraturan perundang-undangan di bawah UUD sudah “disesuaikan”. Perkara hukum yang mengangkat tema bertentangan dengan UUD, sering kurang “powerful”, bahkan bagi perkara yang telah dimenangkan. Ada siasat jitu bagi yang berpihak pada neoliberalisme yakni klausa: peraturan terinci “mengalahkan” yang bersifat pokok-pokok. Oleh karena itu pula, Undang-undang energi dengan semangat neoliberalisme yang sama telah disahkan pada pertengahan tahun 2007, dimana pasal terpentingnya adalah soal harga keekonomian dari energi. Jika pun nanti bisa “dimentahkan” oleh judicial review, akan disiasati seperti perundang-undangan sebelumnya. Ketujuh, tidak benar jika dianggap tidak ada alternatif selain neoliberalisme. Kita tidak harus menganut secara ketat satu aliran tertentu, seperti Sosialisme atau alternatif yang lainnya. Dengan konsep dasar, demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan, yang diamanatkan oleh UUD 1945, banyak gagasan dan alternatif kebijakan yang tersedia. Tidak soal jika dalam beberapa hal teknis kita mengadopsi berbagai pemikiran ekonomi, asal bersesuaian dengan prinsip dasar tadi. Bahkan kita tidak menolak mekanisme pasar sebagai salah 316 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan satu alat atau sarana pemecahan masalah ekonomi. Soal yang paling mendesak diselesaikan saat ini adalah: Utang Luar Negeri pemerintah harus dinegoisasi secara serius (langkah paling radikal adalah ngemplang); Utang Dalam Negeri ditata ulang secara sungguhsungguh (misalnya dengan menghapuskan kewajiban pembayaran bunga atas sebagian besar obligasi sesuai dengan asal-usulnya), jika dimungkinkan ada yang dihapus bukukan (write off); BUMN perlu dibenahi (termasuk dimerger jika dinilai terlampau banyak, atau dibatasi lingkup operasionalnya jika menghambat dinamika ekonomi yang lebih efisien), bukannya dijual kepada pihak asing; segala pembenahan harus melibatkan rakyat dan unsur-unsur independen; Korporasi swasta yang vital bisa dibantu, namun secara transparan; cara berfikir dalam pengelolaan APBN diubah, dengan lebih berorientasi kepada rakyat; serta berkebalikan dengan semua rekomendasi neoliberalisme, perekonomian kita justeru harus lebih berorientasi “kedalam”. Tidak selayaknya jika kita merendahkan kemampuan anak bangsa dalam merumuskan konsep, bahkan kemampuan uji cobanya secara bertanggung jawab. Bangsa Indonesia tidak perlu segan belajar dari negara-negara lain yang berusaha melawan kapitalisme, seperti di negara-negara Amerika Latin. Konsep alternatif dari kapitalisme telah berkembang dalam wacana diskusi para akademisi yang kritis dan para aktivis gerakan. Kesempatan yang lebih luas akan memungkinkan konsep tersebut diuji. Contoh lain, meskipun dalam skala yang masih terbatas, adalah perkembangan lembaga keuangan mikro (seperti BMT dan kospin) yang mampu menjadi intermediasi sebenarnya dari sektor keuangan dengan sektor riil. 317 Kotak 6.2 C. Bentuk-Bentuk Perlawanan Dari uraian buku sampai sejauh ini bisa disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia jelas membutuhkan reformasi, lebih dari yang terjadi di bidang politik. Kenyataan yang terjadi justeru bersifat sebaliknya. Semua agenda pokok dan dasar pemikiran utama pengelolaan ekonomi nasional sebenarnya sama sekali tidak berubah sejak zaman Orde Baru, dikelola menuruti kehendak Kapitalisme internasional. Dalam bentuk teknisnya memang seolah ada perubahan mendasar sehingga mencerminkan konsep yang kita sebut sebagai agenda neoliberalisme. Perubahan pemerintahan sejak kejatuhan Soeharto, mustinya membawa bangsa dan negara Indonesia kepada posisi yang jauh lebih baik berhadapan dengan kekuatan pemodal besar internasional. Sekalipun kita tidak mungkin untuk lepas hubungan dengan kapitalisme internasional, namun pemerintah wajib berupaya melindungi Alasan utama penolakan terhadap neoliberalisme adalah karena agendanya di Indonesia hanya merupakan bentuk mutakhir dari kapitalisme, yang dahulu pernah berwujud penjajahan fisik (kolonialisme), serta faham pembangunan di era Soeharto. Alasan penolakan yang lebih bersifat teknis pada saat ini, antara lain adalah: n Akan menguras hasil dan kekayaan SDA. n Hanya memberi kesempatan perolehan rente ekonomi yang besar bagi para pemilik modal, melalui sektor keuangan yang telah diliberalisasi. n Membiarkan sebagian besar rakyat Indonesia bersaing dengan pelaku ekonomi di negara-negara maju yang lebih kuat dan dibantu oleh negaranya. n Terbukti secara langsung menambah penderitaan rakyat. n Indonesia mulai kehilangan kedaulatannya atas banyak hal. n Bertentangan dengan isi dan semangat pasal 33 UUD 1945. n Ada alternatif konsep selain neoliberalisme. 318 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan kepentingan bangsa. Setidaknya, pemerintah musti mengelola perekonomian dengan orientasi peningkatan bagian surplus ekonomi untuk negara dan mengamankan kehidupan ekonomi rakyat kebanyakan dari berbagai gejolak pasar dunia. Akan tetapi seperti yang sudah kita singgung, awal pemulihan dari krisis ekonomi saja telah berlangsung dengan cara yang tidak benar dan justeru mengandalkan pihak yang sebenarnya turut dalam konspirasi kapitalisme dunia. Akibatnya, cara berfikir dan arah kebijakan ekonomi negara (pemerintah dan BI) mengikuti konsep yang seharusnya ditolak. Dalam kalimat yang lebih radikal, negara telah dikuasai kaum kapitalis (asing dan kroni domestiknya). Akibatnya, peluang perbaikan yang bisa diandalkan adalah perubahan sosial dalam artian yang lebih luas, meskipun upaya pembenahan mekanisme kenegaraan tetap tercakup di dalamnya. Kita bisa menyebut aktor yang bersemangat untuk perubahan tersebut sebagai aktivis gerakan. Hanya saja, yang lebih bisa diandalkan oleh aktivis gerakan (terutama gerakan mahasiswa) sampai sejauh ini adalah peran individu dalam perubahan sosial. Kadang individu itu meningkat menjadi sekumpulan orang yang terorganisir, sebuah komponen masyarakat, yang memotori perubahan dalam aspek tertentu. Dalam beberapa kasus, mereka berhasil mendapat dukungan atau partisipasi dari masyarakat yang lebih luas. Sehubungan dengan pola perubahan yang demikian, eksplorasi nilai-nilai normatif seringkali menjadi langkah efektif. Tema-tema peradaban, kemanusiaan, nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur lain yang universal, kerap mampu memberi semangat sekaligus imajinasi mengenai perubahan sosial macam apa yang dicita-citakan. Diantaranya adalah eksplorasi nilai-nilai normatif dan upaya merumuskannya dalam bahasa kekinian. Begitu pula dengan studi atas 319 berbagai peradaban yang pernah ada di dunia, akan membuka perspektif tentang adanya “cara pandang” lain yang berbeda dari kapitalisme. Apalagi jika diskusi tersebut bisa mencapai tahap yang lebih dari sekadar epistemologis, melainkan juga sudah teoritis dan strategis. Epistemologis, bersifat filosofis; teoritis, bersifat ilmu pengetahuan; strategis, bersifat ilmu dan seni, merekomendasikan kerangka tindakan. Sebagaimana pertumbuhan yang terjadi dalam semua peradaban, segala nilai yang dikandungnya mengalami proses evolutif, dari individu-individu menjadi diterima umum. Secara simultan dari ide menjadi praktek, dan dari praktek disempurnakan lah ide, begitu seterusnya. Sebagian besar prosesnya juga bersifat “uji coba”, ada yang bersifat dialektik, eklektik, bahkan ada yang koinsiden. Penalaran dalam model perubahan tadi memang mengandalkan perkembangan ide-ide. Akan tetapi, kondisi “material” dari peradaban modern yang dominan saat ini sebenarnya amat memungkinkan terjadinya perubahan besar. Hegemoni paradigma kapitalisme neoliberal dalam hampir semua aspek kehidupan di sebagian besar belahan bumi telah mengakibatkan ketidakseimbangan dan krisis kehidupan yang makin parah. Kerusakan lingkungan alam, degradasi moral, ketidakadilan dan sebagainya sudah terasa menjadi “magma” yang sewaktu-waktu meletus menjadi ledakan perubahan. Kesadaran bahwa dunia sedang mengarah kepada kehancuran jika dikelola dalam kerangka paradigma sekarang ini juga mulai disadari sendiri oleh sebagian pemikir Barat. Sebagian masyarakat Barat mulai terlibat aktif dalam demonstrasi dan pernyataan sikap menentang berbagai kebijaksanaan pemerintahnya yang dinilai menindas manusia lainnya di berbagai belahan bumi. Kebangkitan kembali kehidupan spiritual dan religiusitas, yang pada awalnya memang merupakan bagian dari kehidupan kapitalistik, secara perlahan mengarah kepada nilai-nilai “aslinya”. Modal sebagai komponen utama peradaban barat moderen 320 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan (kapitalisme) mengandung kontradiksi dalam dirinya sendiri. Persaingan yang makin ketat diantara mereka, serta keharusan untuk tumbuh tanpa batas, membuatnya berpotensi untuk menghancurkan dirinya sendiri. Keberhasilan mereka untuk membuat “kesepakatan” akan formasi sosial ekonomi tertentu di seluruh dunia sambil tetap bersaing, pasti akan ada batasnya. Krisis yang secara siklikal, berulang dan musiman, terjadi pada kapitalisme sebagai tatanan perekonomian, sangat mungkin menjadi tidak teratasi. Sejauh ini, sejak tahun 1929, kapitalisme berhasil meredam krisis siklikalnya agar terjadi dalam eskalasi yang dapat ditangani dan tak menghancurkan sistemnya. Bahkan, krisis siklikal tersebut mulai dapat dipindahkan secara geografis, termasuk “memilih” siapa penanggung bebannya yang paling berat. Bagaimanapun, besar kemungkinan krisis tersebut menjadi akut dan tak tertanggungkan oleh sistem. Permasalah teknisnya adalah penguatan “kombinasi organis” antara ide-ide besar dan “kondisi material” yang memaksa, untuk terjadinya perubahan besar. Dalam hal inilah kader gerakan dan segala aktivitasnya dapat ikut berperan besar. Termasuk di dalamnya adalah upaya “penyadaran” semua komponen masyarakat. Peta umum atas sikap terhadap agenda neoliberalisme (sebagaimana dijelaskan pada bab 5) harus diubah. Rakyat kebanyakan, yang merupakan korban, setidaknya tidak menjadi pasif atau menerima begitu saja, apalagi berubah menjadi kelompok orang yang menunggu bagian kue kapitalisme (dengan peluang yang amat kecil). Juga para pendukung yang sebetulnya bersikap demikian karena kurang sadar saja masih berpeluang untuk diyakinkan agar ikut menolak. Bagi kelompok yang disebut terakhir ini, persuasinya adalah penolakan tidak mesti berarti peruntungan ekonomi mereka menjadi buruk. Harus diakui, uraian tentang penolakan atau perlawanan di atas 321 bersifat elitis, dimana rakyat dengan berbagai komponennya lebih dianggap objek penyadaran (pasif). Perkembangan belakangan ini menunjukkan bahwa rakyat bisa distimulus untuk lebih proaktif. Memang masih dibutuhkan sedikit upaya penyadaran, namun pada awal dan level tertentu saja, perlawanan kemudian mesti bersifat built in dari komponen rakyat itu sendiri. Dalam konteks ini, yang terlihat sudah “menjanjikan” adalah gerakan buruh, paguyuban atau asosiasi para guru, komunitas UMKM, dan komunitas tani. Gerakan mahasiswa, LSM dan gerakan “elitis” lainnya yang melakukan perlawanan terhadap agenda neoliberalisme harus bisa menciptakan “fitur” aksi yang menarik dan komunikatif, sehingga bisa ditindaklanjuti oleh gerakan masa secara sustainable. Aksi demonstrasi elitis atau gerakan pemberdayaan sebatas dana dan tema yang tersedia, akan menjadi sangat tidak efektif. Upaya merumuskan sekaligus melaksanakan kombinasi gerakan “elitis” dan bersifat massa memerlukan kecerdasan dan kreatifitas para aktivis gerakan. Harus diingat pula bahwa kita memulai dari suatu fakta ekonomi tertentu, sehingga beberapa persuasi tetap dilakukan, misalnya berkaitan dengan kepentingan ekonomi orang kebanyakan. Perjuangan dengan tema perbaikan nasib ekonomi dengan contoh yang “mudah dicerna” oleh rakyat patut dikedepankan. Pada saat bersamaan, pemahaman aktivis terhadap seluruh agenda neoliberalisme dibutuhkan sebagai acuan agar perjuangan bisa dirangkai secara sinergis. Beberapa jebakan telah terpasang, seperti dipicunya konflik horisontal antar elemen masyarakat, agar agenda perlawanan yang menyeluruh terabaikan. Jebakan bisa pula berupa pemanfaatan, secara langsung maupun tidak, dalam tema pelemahan negara (state). Jika asal mengurangi kekuasaan negara yang otoriter dan korup, maka jalan terbuka bagi peran modal besar (swasta), padahal pem- 322 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan berdayaan (empowering) rakyat belum terwujud. Sepatutnya pula jika kita berhati-hati dalam mengangkat tema korupsi (KKN), yang bisa mengalihkan perhatian terhadap “perampokan” yang lebih sistematis dan legal. Kita tidak pula asal anti dengan kaum pemilik modal domestik (meskipun skala asetnya sudah raksasa). Diperlukan gabungan antara pendekatan pemaksaan dengan yang bersifat persuasif (penyadaran). Pengertian pemaksaan adalah melalui perundang-undangan (regulasi) yang diperjuangkan dalam mekanisme kenegaraan, misalnya terkait soal tenaga kerja dan kewajiban comunity development. Persuasi bisa diberikan dengan penalaran yang lebih berjangka panjang, seperti soal keuntungan yang sustainable dan jaminan keamanan dari kerawanan sosial yang radikal, serta rasa nasionalisme. Kotak 6.3 n Perubahan pemerintahan (termasuk reformasi ekonomi) mustinya membawa bangsa dan negara Indonesia kepada posisi yang lebih baik berhadapan dengan kekuatan pemodal besar internasional. Akan tetapi, kesalahan dilakukan sejak awal pemulihan krisis karena mengandalkan pihak yang justeru mewakili kepentingan kapitalisme dunia. Bisa dikatakan bahwa negara semakin dikuasai kaum kapitalis (asing dan kroni domestiknya). n Perlawanan yang sementara ini bisa diandalkan adalah perubahan sosial dalam artian luas, termasuk perjuangan untuk pembenahan mekanisme kenegaraan. Perubahan sosial dimaksud juga masih lebih bertumpu pada peran individu dan kelompok masyarakat tertentu. n Perlu diwaspadai adanya berbagai jebakan seperti dipicunya konflik horisontal antar elemen masyarakat, serta pemanfaatan tema pelemahan negara (state). 323 D. Kebutuhan akan Aliansi Perlawanan Kita tadi mengakui bahwa telah ada perlawanan yang relatif terorganisir, baik berasal dari gerakan mahasiswa mapun gerakan sosial lainnya. Tadi juga telah disinggung bahwa beberapa gerakan komponen masyarakat (seperti buruh, guru, petani, pedagang kecil, dll) pun sudah mulai cukup signifikan. Berbagai komponen gerakan di Indonesia tersebut seharusnya bisa mengembangkan kerjasama atau aliansi. Sangat mungkin dikembangkan aliansi strategis dan aliansi taktis atas dasar pemahaman kondisi kekinian yang memadai. Untuk beberapa komponen, bahkan bisa dibangun aliansi idealistis, dimana terdapat banyak kesamaan mengenai idealita yang diperjuangkan untuk terwujud. Masih cukup wajar jika berbagai komponen gerakan cenderung menempatkan aliansi idealistis, sebagai salah satu langkah utamanya. Namun tidak bisa dihindari bentuk atau jenis kerja sama lain, mengingat yang tengah dihadapi adalah dominasi kapitalisme neoliberal yang membawa ancaman bagi sebagian besar umat manusia. Dengan demikian, setiap kelompok harus mampu menunjukkan niat baik (bukan untuk menguasai atau memanfaatkan secara sepihak) dalam semua aliansi yang dibangun. Aliansi strategis adalah kerjasama atas dasar kesamaan akan keharusan adanya perubahan yang mendasar dalam banyak bidang kehidupan saat ini, sekalipun berbeda dalam wacana idealitanya. Ilustrasi yang mudah adalah atas dasar kesamaan melihat kapitalisme neoliberal sebagai common enemy, yang jika tak dilawan bersamasama akan terus mendominasi dan menghancurkan dunia. Aliansi taktis diartikan secara lebih sempit daripada aliansi strategis, dan lebih terfokus. Ilustrasinya adalah kerjasama berupa proyek, terutama yang bersifat kerumunan, seperti aksi massa atau advokasi tertentu. Dasarnya sama dengan aliansi strategis, akan tetapi 324 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan dapat lebih longgar berkenaan dengan perhitungan rasional atas “proyek” yang akan digarap. Jika pada aliansi strategis yang ditekankan adalah hubungan antar lembaga yang diharapkan makin membaik, maka pada aliansi taktis lebih berbatas pada efektifitas kerja. Maka kemungkinan untuk “mentoleransi” kepentingan yang sewajarnya dengan kalkulasi yang dapat dipertanggungjawabkan, menjadi terbuka. Misalnya aliansi taktis antara gerakan mahasiswa dengan serikat pekerja Pertamina dalam isu pengelolaan minyak nasional agar pemerintah tidak memihak kepada kepentingan kapitalisme neoliberal. Dengan demikian, agenda kerja aliansi meliputi kegiatan yang berspektrum luas, mulai dari diskusi sampai dengan aksi. Pembicaraan tentang ide mencakup tema yang bersifat filosofis, teoritis, sampai dengan ide teknis. Aksi meliputi aksi individu, masing-masing, kelompok aliansi, sampai dengan aksi bersama masyarakat luas. Diharapkan, mereka tidak terjebak dengan argumen bahwa perjuangan yang belum segera dimulai karena konsep belum selesai atau kerangka idealita belum berhasil dirumuskan. Di lain pihak, juga tak mudah tersesat dalam belantara hutan, medan juang yang amat luas, dikarenakan tidak memiliki orientasi yang jelas. Hanya saja seperti diingatkan oleh Pontoh (2005), gerakan prodemokrasi justeru seringkali jatuh dalam pengkaplingan bidang garapan tanpa mempunyai kesempatan yang luas untuk membangun aliansi antar sektor. Antara yang bekerja di level elite dengan yang bekerja di level akar rumput, tak pernah bersinergi. Pontoh mengeluhkan adanya semacam keterputusan konseptual yang lantas berimbas pada praktek gerakan. Sebenarnya, menurut pandangan kami, ada satu langkah teknis (aksi) yang jarang dikedepankan, apalagi dipraktikkan bersama, yakni boikot atau anti konsumsi barang dan jasa tertentu. Isyu ini memang beberapa kali diangkat oleh satu dua kelompok, namun 325 tidak digarap secara serius. Padahal jika pilihan barang dan jasanya tepat dan pada momen yang baik, tema ini bisa menyatukan (setidaknya mendekatkan) antar kelompok gerakan. Cara ini di masa lampau pernah dilakukan Mahatma Gandhi dan terbukti efektif. Tentu saja diperlukan analisa (penjelasan) yang sangat bagus agar langkah boikot itu mendapat dukungan masyarakat luas, serta optimalisasi media sosialisasi (propaganda). Disamping itu, seluruh agenda kerja seperti yang disarankan di atas, mensyaratkan satu perubahan pula dalam berbagai kelompok gerakan di Indonesia sebagai organisasi. Mereka tidak bisa lagi sekadar menjadi organisasi yang terlampau berorientasi pada ke- Indonesiaan, melainkan harus mulai bersifat internasional. Tentu saja ke-Indonesiaan tetap dimaknai secara normatif. Yang ditekankan adalah tentang aliansi yang dibangun, yang mestinya bersifat lintas negara, sesuai dengan karakteristik masalah yang tengah dihadapi. Apalagi dalam hal perlawanan terhadap agenda neolib, gerakan di Indonesia termasuk “pemula”. Dalam konteks ini semua, revolusi hanyalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perjuangan keseluruhan yang bersifat radikal, karena sepenuhnya menentang status qua, dominasi kapitalisme neoliberal. Aliansi tidak perlu terikat dengan pengertian revolusi yang bersifat teknis yang dikenal selama ini, sekalipun tetap menjadikannya sebagai bahan pertimbangan. Definisi situasi sebagian kelompok yang pada dasarnya menganggap saat ini adalah “masa transisi” tidak merupakan penghalang jika komunikasi ditingkatkan. Syarat yang tidak bisa ditawar adalah para pejuang memang secara tulus sedang memperjuangkan nasib rakyat, bukan menjadikannya sebagai sarana mobilitas sosial ekonomi pribadi. 326 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan Kotak 6.4 Ringkasan Agenda Perlawanan Aktivis Gerakan E. Berjuang Kembali untuk Indonesia Merdeka Dari uraian dalam buku ini, sudah jelas bahwa masa depan perekonomian Indonesia akan sangat suram jika kecenderungan yang sedang berlangsung tidak diubah secara radikal. Perekonomian dalam ukuran konvesional (ilmu ekonomi) barangkali tidak terlampau buruk, namun tetap tidak akan sesuai dengan yang diharap- Berdasar cakupan partisan n Individu, meliputi: sikap dan cara hidup (life style), cara pandang, dan tindakan. n Kelompok gerakan (organisasi), meliputi: diskusi, kegiatan dan aksi, budaya tanding, penyadaran masa, dan kaderisasi. n Aliansi idealistis, kerjasama dan jaringan atas kesamaan idealita. n Aliansi strategis, kerjasama dan jaringan atas kesamaan definisi situasi umum, terutama kesadaran akan musuh bersama. n Aliansi taktis, kerjasama dan jaringan atas kesamaan kepentingan situasi tertentu. n Aliansi internasional, kerjasama dalam hal strategis dan taktis dengan cakupan antar negara. Berdasar bentuk (contoh-contoh). n Ide-ide, meliputi: filosofis/epistemologis, teoritis, dan strategis; terutama eksplorasi nilai-nilai normatif dan pengembangan konsep tandingan. n Program penyadaran masyarakat: tulisan, pelatihan, pengajian, penjelasan langsung, pembentukan kelompok kecil elemen rakyat, diskusi ilmiah, dsb. n Aksi-aksi, misalnya: 3 Boikot atau anti konsumsi barang dan jasa tertentu. 3 Perbaikan ekonomi elemen masyarakat tertentu: buruh, guru, petani, dll. 3 Menentang pengurangan atau pencabutan subsidi. 3 Menentang privatisasi BUMN. 3 Mengkritisi APBN/APBD. 3 Advokasi korban neoliberalisme. 3 Mengkritisi berbagai uu dan peraturan, termasuk rancangannya. 3 Mempertahankan dan konsistensi pelaksanaan pasal 33 UUD 1945. 3 Dan lain-lain. 327 kan atau dijanjikan oleh laporan resmi (dari pemerintah dan bank Indonesia). Sangat sulit tercapai suatu pertumbuhan ekonomi yang sustainable, sedangkan stabilitas makroekonomi yang terjadi pun sewaktu-waktu (bersifat siklis) akan terganggu (kadang bisa mencapai level krisis). Kita telah menganalisa bahwa angka-angka makroekonomi yang dibanggakan oleh laporan resmi sebenarnya tidak sebaik kelihatannya. Dalam ukuran makroekonomi (pertumbuhan, stabilitas harga, pengangguran, stabilitas nilai tukar dan keseimbangan neraca pembayaran) saja, akan sangat sulit dicapai kinerja yang memuaskan sampai dengan lima tahun ke depan. Masih sangat jauh dari kecukupan dalam standar yang konvensional sekalipun, hal-hal berikut ini: struktur ekonomi, struktur produksi, harmonisasi sektor moneter dengan sektor riil, stuktur ekspor, struktur impor, kondisi industri perbankan, kondisi ketenagakerjaan, perkembangan investasi, dan lain sebagainya. Apalagi jika kita menyertakan berbagai ukuran atau indikator mikroekonomi (yang sebenarnya masih dalam batasan ilmu ekonomi), kondisinya akan tampak lebih buruk. Antara lain dapat dilihat dari: tingkat upah beberapa sektor ekonomi, produktivitas kebanyakan industri manufaktur, kondisi sektor andalan bagi peningkatan cadangan devisa, instabilitas harga komoditi tertentu, rigiditas realisasi anggaran pemerintah, ketersediaan penunjang sektor pertanian rakyat, dan lain sebagainya. Bisa dipastikan bahwa keadaan akan jauh lebih suram jika kita memperhitungkan hal-hal yang bersifat sosial (namun terkait erat dengan ekonomi). Akses rakyat kecil kepada sumber daya ekonomi bukannya membaik, melainkan menjadi lebih susah. Pelaku ekonomi besar (sebagiannya terkait dengan pihak asing) merambah ke sektor rakyat dan ke wilayah pedesaan. Pusat perdagangan eceran besar ada di mana-mana, termasuk yang mengambil bentuk toko- 328 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan toko kecil namun franchaise dari perusahaan besar. Pemodal besar juga mampu memanfaatkan (memang dari awal sudah direkayasa) aturan hukum untuk memperkuat posisinya jika terjadi konflik (seperti PHK, sengketa kepemilikan tanah, kontrak karya, dsb). Peluang perbaikan nasib (mobilitas) sosial ekonomi rakyat kebanyakan menjadi lebih kecil daripada di masa lampau. Perhatikan contoh masalah yang tengah mereka hadapi: soal mahalnya biaya pendidikan, rendahnya akses kepada makanan bergizi dan layanan kesehatan, serta minimalnya akses informasi yang memadai. Pada saat yang bersamaan, rakyat dibuai dengan acara televisi yang memberi mimpi kemungkinan penyelamatan atau mobilitas dengan cara instan (berbentuk pertolongan ataupun kesempatan). Cara instan tersebut memberi harapan karena memang ada yang bisa meraihnya, namun dalam jumlah orang yang amat sedikit. Dua kata kunci yang dikedepankan neoliberalisme sebagai sokoguru perekonomian Indonesia saat ini dan di masa depan, yakni investasi dan pasar, sebenarnya tidak bisa diharapkan. Investasi dikendalikan oleh modal besar (sebagiannya dari pihak asing) yang memiliki logika sendiri, maksimasi keuntungan, tidak akan peduli dengan kondisi lain yang tak terkait. Padahal diharapankan, investasi akan meningkatkan produksi sekaligus penyerapan tenaga kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, pendapatan pemerintah, dan pada akhirnya pendapatan nasional. Sedangkan pasar yang dianggap mampu mengalokasikan sumber daya ekonomi secara efisien, telah mulai terbukti memiliki banyak masalah. Soal kegagalan pasar mulai mengedepan, dengan tunjukkan data empiris yang baru. Sekali lagi ditegaskan bahwa trends perekonomian Indonesia memburuk, dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Diperlukan perubahan yang mendasar dan radikal, yang mencakup cara pandang terhadap persoalan ekonomi serta adanya tindakan- 329 tindakan nyata (kebijakan, peraturan, advokasi rakyat, pemberdayaan ekonomi rakyat, peninjauan ulang kontrak karya SDA, negosiasi pembayaran utang, dan sebagainya). Khusus dalam hal cara pandang, sebagai salah satu kunci perubahan mendasar, para ekonom harus bersedia (jika perlu dipaksa) memikirkan ide-ide di luar neoliberalisme. Tidak layak mereka disebut ahli jika kapasitas mereka hanya sebatas pengekor dan peniru. Pikiran Hatta dan kawan-kawan pada setengah abad yang lampau saja telah dengan sangat cerdas memberi acuan dalam konstitusi. Kita pun tidak perlu sungkan belajar dari Gandhi, Dos Santos, Chavez, ekonom normatif (seperti ekonomi Syariah), dan dari yang lainnya sebagai alternatif kapitalisme. Ketakutan terhadap kekuatan besar kapitalisme internasional yang mencengkeram perekonomian Indonesia dan perekonomian dunia pada umumnya, memang tampak cukup beralasan. Struktur ekspor dan impor Indonesia masih didominasi oleh Amerika dan sekutunya; eksplorasi SDA masih amat bergantung kepada pihak asing; kondisi industri manufaktur dilihat dari sudut mana pun bergantung kepada asing; nilai tukar rupiah sangat rentan terhadap gejolak eksternal; jeratan utang makin ketat; dan sebagainya. Dengan demikian, alih-alih mengedepankan ide pemutusan hubungan dengan kapitalisme internasional, bahkan untuk bernegosiasi saja, para pengambil kebijakan sudah enggan melakukannya. Yang mengherankan, para ekonom yang mestinya bisa menalar bahwa perekonomian Indonesia tidak mungkin betul-betul membaik dengan menjalankan agenda neoliberalisme saja, seolah tidak mau mengerti. Pembicaraan mereka hampir selalu berperspektif jangka pendek (analisa data, evaluasi dan prakiraan ke depan), sedangkan yang berjangka lebih panjang atau sangat panjang diserahkan kepada asumsi teoritis tentang akan adanya alokasi sumber daya yang efisien, yang berarti kemakmuran bagi semua. Secara terang-terangan, be- 330 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan berapa pejabat (yang ahli ekonomi dan keuangan) menyampaikan ketakutan mereka akan sangsi yang diberikan asing atau dikucilkannya Indonesia dalam pergaulan (ekonomi dan keuangan) internasional. Sedangkan bagi ekonom dan ahli keuangan profesional, barangkali gagasan lain tidak menarik dikedepankan oleh karena pertimbangan yang benar-benar “profesional”, yakni imbalan uang. Bisa difahami mengapa tuntutan para aktivis gerakan agar Indonesia “ngemplang” utang diabaikan begitu saja. Jangankan melakukan tindakan seradikal itu, upaya menegosiasikan utang saja masih tabu, karena dianggap akan menurunkan kredibilitas Indonesia yang dikenal sebagai “good boys” oleh kapitalisme internasional. Boleh jadi juga alasan yang tersembunyi adalah soal tidak adanya keuntungan pribadi (komisi, akses informasi, dsb) bagi upaya negosiasi pengurangan utang dibandingkan dengan perundingan meminta utang baru. Kita bisa mencermati uraian sebelumnya bahwa tidak mungkin ada langkah-langkah yang berarti jika masalah utang pemerintah tidak ditata kelola ulang. Pembedaan utang luar negeri dengan utang dalam negeri pada hakikatnya “akal-akalan” saja, substansinya tetap saja pengalihan surplus ekonomi nasional (yang berarti hak rakyat kebanyakan) kepada segelintir modal (orang). Langkah paling radikal adalah ngemplang atau tidak membayar sama sekali cicilan dan bunga utang. Yang sedikit lebih moderat adalah pemutihan sebagian cicilan dan atau bunganya. Langkah penting lain adalah peninjauan ulang semua kontrak karya (bagi hasil atau apapun bentuknya) dengan pihak asing berkenaan dengan pengelolaan SDA. Sekalipun sudah dikuras sedemikian banyak, SDA kita masih tersedia cukup banyak dan harus diselamatkan dari eksploitasi demi keuntungan asing dan segelintir modal besar domestik. Upaya peningkatan penerimaan negara mestinya bukan dengan cara asal meningkatkan penerimaan 331 perpajakan atau penghapusan subsidi, melainkan terutama sekali dengan optimalisasi penerimaan SDA. Sungguh memalukan jika kita membandingkan antara langkah Chavez (di Venezuela) dengan isyu cost recovery di Indonesia. Apakah perekonomian Indonesia tidak akan menjadi lebih hancur, jika terjadi serangan balik? Bagaimana jika modal asing yang berencana masuk menjadi batal, yang sudah berada di Indonesia hengkang keluar, dan yang lebih buruk lagi, ada hambatan atas ekspor dan impor kita (embargo), serta pengucilan dari transaksi pasar uang dan pasar modal dunia. Memang harus diakui bahwa dalam beberapa waktu dan beberapa hal, perekonomian Indonesia mungkin akan “terpukul”. Akan tetapi kita akan memiliki banyak pilihan yang berpeluang jauh lebih baik dibandingkan dengan tidak adanya perubahan mendasar. Pada hakikatnya, kondisi psikologis kita adalah serupa dengan pada saat bangsa ini berupaya membebaskan diri dari cengkeraman kolonialisme, lebih dari setengah abad yang lalu. Pemimpin bangsa ketika itu mengutarakan sesuatu (yang masih bisa kita pakai sampai sekarang), yang intinya adalah tidak akan ada yang hilang dari bangsa ini ketika merdeka kecuali belenggu kebebasan. Ketakutan atas apa yang belum terjadi atau terhadap masalah teknis yang segera harus diselesaikan, dikompensasi oleh pilihan yang lebih banyak serta harapan yang lebih hidup dan yang lebih baik. Tentu saja kita tidak berniat menutup perekonomian Indonesia dari transaksi internasional, karena memang diperlukan bagi kemakmuran bangsa. Yang ingin kita tekankan adalah keterputusan dari belenggu kapitalisme internasional. Ada banyak negara (yang juga sedang berjuang atau dalam proses penyadaran melawan kapitalisme imperial) untuk berhubungan ekonomi secara lebih erat. Kita pun tidak menolak jika pada saatnya nanti atau dalam posisi 332 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Sikap Kritis dan Tegas Terhadap Neoliberalisme Sebagai Suatu Keharusan yang lebih seimbang, berhubungan dengan negara-negara Barat. Dalam sudut pandang teknis (ekonomi) gagasan dasarnya adalah berkebalikan dengan pandangan neoliberalisme, perekonomian Indonesia justeru memerlukan paket kebijakan yang lebih berorientasi ke dalam. Prinsip-prinsip dasarnya antara lain: berfokus kepada sumber daya ekonomi yang berlimpah di dalam negeri; bersasaran peningkatan taraf hidup rakyat kebanyakan; pengembangan persaingan usaha yang sehat di dalam negeri demi efisiensi namun tetap berasaskan kekeluargaan; mengoptimalkan (tidak selalu memperbanyak) peran negara dalam banyak sektor vital; serta langkah-langkah lain yang secara terus menerus (dengan cara demokratis) dievaluasi dan diperbaiki (dengan dukungan analisa ilmiah oleh para ahli yang bertanggung jawab). Sebenarnya pula tersedia banyak kebijakan alternatif selain dari yang disodorkan oleh neoliberalisme. Buku ini tidak berpandangan bahwa semua kebijakan dalam paket neoliberalisme buruk bagi Indonesia. Sebagian kebijakan teknis ekonominya tetap dapat dipakai, dengan syarat disesuaikan dengan orientasi dasar kebijakan perekonomian yang berpihak kepada rakyat. Dengan kata lain, pemerintah bisa mengkombinasikan pilihan kebijakan yang tersedia, dan para ekonom memasok ide-ide yang lebih kreatif dan bertanggung jawab. Sayangnya, yang masih terus terjadi di Indonesia, para pengambil kebijakan (didukung oleh ekonom mainstreams) terlampau bersemangat untuk secara membabi buta mengikuti konsep neoliberal, sehingga secara keseluruhan melancarkan proses eksploitatif oleh para kapitalis. Seharusnya pula diperhatikan mereka apa yang diebut Perkins sebagai adanya korporatokrasi yang menguasai dunia, termasuk Indonesia. Satu kata kunci untuk mengawali dan menjadi prasyarat semua perubahan penting bagi perekonomian Indonesia, yakni: “MERDEKA”!! 333 DAFTAR PUSTAKA Ali, Abdullah, Liku-Liku Sejarah Perbankan Indonesia: Memoar Abullah Ali, PT Grasindo, Jakarta, 1995 Arief, Sritua. Industri Minyak Bumi dan Ekonomi Indonesia: Suatu Studi Dampak, (Jakarta: UI Press: 1986) Arief, Sritua dan Adi Sasono, Indonesia: Ketergantungan dan Keterbelakangan, LSP dan Sinar Harapan,Jakarta, 1984 ______, Modal Asing, Beban Hutang Luar Negeri dan Ekonomi Indonesia, LSP dan UI Press, Jakarta, 1987 Arif, M. Maula Al dan Achmad Tohari, ”Peranan Kebijakan Moneter Dalam Menjaga Stabilitas Perekonomian Indonesia Sebagai Respon Terhadap Fluktuasi Perekonomian Dunia”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Oktober 2006 Bank Indonesia, Laporan tahunan tahun 1996/1997 Bank Indonesia, Laporan tahunan tahun 1997/1998 Bank Indonesia, Laporan tahunan tahun 1998/1999 Bank Indonesia, Laporan tahunan tahun 2000 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian tahun 2005 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian tahun 2006 Bank Indonesia, Laporan Perekonomian tahun 2007 Baswir, Revrisond, Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006. Batubara, Marwan dkk, Tragedi dan Ironi Blok Cepu: Nasionalisme yang Tergadai, PT Bening Citra Kreasi Indonesia, 2006 Batunanggar, S., Reformulasi Manajemen Krisis Indonesia: Deposit Insurance and the Lender of Last Resort, Revisi dan versi ringkas dari paper berjudul ‘Indonesia’s Banking Crisis 334 Daftar Pustaka Resolution: Lessons and the Way Forward’; 9 December 2002 Badan Pusat Statistik, Beberapa Indikator Penting Sosial- Ekonomi Indonesia, Juli, 2006 Boediono, Teori Pertumbuhan Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 1985 Budiman, Arief, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia, Jakarta, 1996. Caprio, Gerard, et.al., Financial crises : lessons from the past, preparation for the future, the Brookings Institution Press,2005 Chang, Ha-Joon dan Ilene Grabel, terj., Membongkar Mitos Neolib: Upaya Merebut Kembali Makna Pembangunan, Insist Press, 2008 Dendawijaya, Lukman, Lima Tahun Penyehatan Perbankan Indonesia (1998-2003), Ghalia Indonesia, 2004 Econit, Economic Outlook 2008, Econit Advisory Group, Jakarta, 2008 Fabozzi Frank J., et.al, The Global Money Markets, John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey, 2002 Gultom, Miranda S., “Peran Bank Indonesia dalam Pemeliharaan Kestabilan Sektor Keuangan”, dalam Mohamad Ikhsan dkk, Ekonomi Indonesia di Era Politik Baru, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2002 Hadi, Syamsul dkk, Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF, Granit, Jakarta, 2004 Hill, Hal, terj., Ekonomi Indonesia, edisi 2, Murai Kencana, 2001 Holloh, Detlev dan Hendrik Prins, Pengaturan/Peraturan, Pengawasan & Dukungan bagi Lembaga Keuangan Mikro Bukan Bank Bukan Koperasi, Profi, Jakarta, 12 Januari 2006 International Monetary Fund, IMF Country Report No. 05/327, 2005 Khudori, Neoliberalisme Menumpas Petani, Resist Book, 2004 Kwik Kian Gie, Ekonomi Indonesia dalam krisis dan Transisi Politik, Gramedia, Jakarta,1999 Leirissa, R.Z. dkk, Sejarah Perekonomian Indonesia, Depdikbud, 335 Jakarta, 1996 Mallarangeng, Rizal, Mendobrak Sentralisme Ekonomi: Indonesia 1986-1992, KPG, Jakarta, 2002 Mankiw, N.Gregory, terj., Principles of Economics, edisi 3, Salemba Empat, Jakarta, 2006. Mankiw, N.Gregory, terj., Teori makroekonomi, edisi kelima, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2003 Mulawarman, Aji Dedi, Menyibak Akuntansi Syariah, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2006 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2005 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2006 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2007 Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2008 Pontoh, Coen Husain, Malapetaka Demokrasi Pasar, Resist Book, Yogyakarta, 2005 Prasentiantono, A. Tony, Keluar dari Krisis: Analisis Ekonomi Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2000 Raffick, Ishak, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia : Sebuah Invetigasi 1997-2007, Mafia Ekonomi dan Jalan Baru Membangun Indonesia, Ufuk Publishing House, 2008 Rais, Mohammad Amien, Agenda-Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia, PPSK Press, Yogyakarta, 2008 Rakhmanto, Pri Agung, Kinerja Sektor Energi dan Krisis Minyak, Bisnis Indonesia, 19 Nopember 2007 Ramli, Rizal dan P.Nuryadin, 10 Tahun Krisis Ekonomi - Solusi Monetaris dan Neoliberal: “Kerawanan Lama dalam Bungkus Baru”, Econit Advisory Group, makalah 10 November 2007 Rao, J. Mohan dkk, Arbitrase Utang: Penyelesian Menyeluruh Masalah Utang Luar Negeri Indonesia, Infid, 2003 Rizky, Awalil, Agenda Neoliberalisme Mencengkeram Perekonomian 336 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Daftar Pustaka Indonesia, UCY Press, 2007 Perkins, John, Confession of an Economic Hitman, Penguin Books Ltd, 2006 Petras, James dan Henry Veltmeyer, terj., Imperialisme Abad 21, Kreasi Wacana, 2002 Sanusi, Bachrawi, Potensi Ekonomi Migas Indonesia, 2004 Stiglitz, Joseph E, terj.,Washington Consensus (Liberalisasi, Deregulasi, Privatisasi) Arah Menuju Jurang Kemiskinan, INFID, 2002 ______, The Roaring Ninties: Seeds of Destruction, W.W.Norton & Company, 2003 Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith, terj., Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, edisi 8, jilid 1 dan 2, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2003 Wijaya, Krisna, Analisis Krisis Perbankan indonesia, Penerbit Harian Kompas, 2000 Williamson, John, The Washington Consensus as Policy Prescription for Development, Institute for International Economics, 2004. ______, “What Should the World Bank Think about the Washington Consensus?”, dalam The World Bank Research Observer, vol. 15, no. 2 (August 2000) website www.kompas.com www.Republika.co.id www.bi.go.id www.depkeu.go.id www.bps.go.id www.imf.org 337 A Acquisitiveness 222 Adam smith 219, 220 ADB 224, 229, 281, 313 Administered Goods 67,70 Ahli ekonomi 226, 247, 288 Ahli ekonomi pembangunan 203 Ahli keuangan 226 Ahli manajemen 226 Aktiva Tertimabang Menurut Risiko (ATMR) 156 Aktivis gerakan 28 Alexander Rustow 233 Aliansi strategis 326 Aliansi taktis 326 Alternatif kapitalisme 332 Amien rais 268 Angkatan kerja 65,126 Anglo- Amerika 261 APBN 1,22,49,50,110,114,116,119,137,138,141,144,186, 283, 305 APBNP 50 Arsitektur Perbankan Indonesia (API) 134,160,163,164,165,167 Asuransi 1112 Augmented washington consensus 243 B Bachrawi sanusi 189 Bank Danamaon 157 Bank Dunia 52, 197, 224, 229, 281, 283 Bank Indonesia (BI) 6,9,58,71,74,78,115,132,135,198,164,165, 283 Bank Mandiri 157 Bank Note 77 Bank Persero 101 Bank sentral 290 Bank Umum 75,144,146,149,150,157 Banking Lanscape 165 Bantuan likuiditas 142 Basel 160,163,166,167, Basel Commitment on Banking Supervision (BCBS) 166 Bassel I 250 Bassel II 250 BBM 69,72,173 Beban utang 115,118 Belanja modal 140,157 BI 296, 299 BI Rate 1,150 Biaya krisis 143 Biaya recovery 92 BIS 166, 224, 229, 249, 250, 273, 317 Blanket guarantee 131 BLBI 5,110,132,133,134,136,137,138, 317 BLT 200 Blue Print Perbankan 166 BMT 319 BNI 157 BOBO 153 Boediono 125 BOPO 154 BP Migas 187 BPK 146 BPPN 131,140 BPR 134,157 BPS 44,47,51,52,64,194 Bretton woods 231, 240 BRI 157 Bubble 304 BUMN 20,100,111,120, 268, 274, 282, 310, 319 Bunga obligasi 120, 288 Bunga ULN 104 Burhanuddin Abdullah 163 Bursa efek 162 C Cadangan devisa 3,10,16,40,104,106,107,108, 170 Cadangan minyak 190 Capital Adequacy Ratio (CAR) 133,156 Capital flight 248, 315 Capital gain 79 Capital loss 79, 304 Capital out flow 302 Cek 73 Charity 213 Indeks 338 Indeks Chaves 332, 333 Civil society 220 Colonical dependence 225 Commitment fee 102,116 Community development 183, 325 Contagion effect 303 Corporate governance 270 Cost recovery 178, 179, 180, 184, 251, 333 Crowding out 235 Cultuurstelsel (tanam paksa) 228, 278, 279 Current account 177 D Dani rodrik 243 DDB (Double Declining Balance) 180 Debt moratorium 95,96 Debt Service Ratio (DSR) 106 Defisit 22,92,95 Defisit anggaran 245 Demokrasi 283 Dependent capitalism 225 Deposito 74,148 Depresiasi 31, 305 Deprivation trap 201 Deputi Gubernur BI 143 Developmentalis represif 282 Developmentalism 223 Deviden 92 Devisa 40,82,92, 271 Dewan gubernur IMF 283 Diktator 234 Divestasi 140,141 Divide et impera 251 Dos santos 224, 225, 332 DPK (dana pihak ketiga) 41,145,147,148,150,302 DPR 50,173 E Efek kelanjutan (Second roun effect) 70 Ekonom 5,18,42,45,72,203,122,151,264, 265, 272 Ekonom mainstream 38,79,128,229,309 Ekonom nasionalis 283 Ekonom neoliberal 236 Ekonom poros washington 289 Ekonomi global 9 Ekonomi syariah 332 Ekspor 7,9,40,46,54,55,82,86,88,104,108 Ekspor Netto 48,54 Ekspor nonmigas 85 Embargo 334 Epistemologis 322 Era reformasi 27 F Fasilitas diskonto 133 Federal reserve board 290 Flow 43,44 Foreign exchange gap 98 Formasi sosial 230, 288, 289 Franchaise 330 FTP (First Tranche Petroleum) 181 Fundamental ekonomi 16,17,18,31,127,265,300 Fungsi intermediasi 166,167 G Gagal bayar (default)28 Garis kemiskinan 52 Gejolak nilai tukar 32 Generally Accepted Accounting Principle 179 Generral Gevernments 105 Gerakan mahasiswa 25,324 Gerakan sosial 26 Giro 73,148 Giro Wajib Minimum (GWM) 131 GKBM 196 GKM 196 Globalisasi 236 GNI (Gross national income ) 254 Government failures 235 Government take 192 Gramsci 286 Gubernur BI Gubernur BI 285 Gus Dur (Abdurrahman wahid) 283, 285 H Ha – joon chang 260 Habibie 285 Hall Hill 15,265 Hatta 332 HDI 203 339 Hegel 220 Henry veltmeyer 230, 240 Hidden economy 56 Host country 178 Howard 221 HPP (Harga Pokok Produksi) BBM 288 Humanisme 219 IHK 45,69,70 IHSG 1,41,79,80,128 I IBRD 237 Ideologi 216, 217, 224,307 IDT 206 IGGI 281 IHSG 314 Ikatan Auditor Perbankan Indonesia (IAPI) 167 Ilene grabel 260 Illiquid 131 Ilmu ekonomi mainstream 291 Ilmu ekonomi makro 226 Ilmu ekonomi pembangunan 226, 257 Ilmu ekonomi tradisional 266 IMF 5,31,32,224, 229, 235, 236, 242, 269, 272 Immanuel kant 219 Impor 40,53,108 Impor migas 89 Impor nonmigas 89 Indikator ekonomi 3,4,6 Indikator kerentanan eksternal 103,104,105,107 Indikator keuangan 67 Indikator makroekonomi 8,30,34,64,121 Indikator moneter 67 Indikator perbankan 41,131,135,144,151,157,160,162 Individualisme 219 Industri pengolahan 57,58,152 Industrial-financial dependence 225 Industrialisasi 232 Infant industry 274 Inflasi 10,32,35,45,53,66,68,72,73,164,172,224 Inflasi inti 68,70,71 Insolvent 131 Institusionalisme 227 International finance institution 290 Investasi 7,47,48,52,54,55,56,61,62,127,279 Investasi asing 282 Investasi portofolio 94,95,96 Investor asing 310 IPM 203 IPO 81 J James petras 230, 240 John locke 219 John stuart mill 219 John williamson 236 Joseph stiglitz 236, 242, 244, 246, 268 Judicial review 318 K Kapasitas produksi 61,126 Kapitalis 222, 230 Kapitalis domestik 223, 250, 281, 288 Kapitalisme 21,22,23,215, 216, 220, 226, 240, 253, 272, 289 Kapitalisme global 281 Kapitalisme internasional 215, 277, 280, 283, 285,320 Kapitalisme neoliberal 286, 287 Karl mark 220, 221 Karl popper 219 Kartu debit 73 Kebijakan ekonomi luar negeri 36 Kebijakan fiskal 17,32,36,41, 282 Kebijakan moneter 17,3,41,70,124, 283 Kegagalan pasar 151 Kementerian ESDM 173 Kemiskinan 11,12,13,56,63,194, 196, 197, 199, 301 Kepemilikan asing 159,160,162 Kerja paksa 228 Kesempatan kerja 164 Keunggulan komparatif 275 Keynesian 233, 234, 237,309 Keynesianisme 24,227 Khudori 315 King 221 KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) 266 Kolonialisme 24,223, 228, 280,293,307 Komoditi primer 271 Konsumen 67,128 Konsumsi 47,54,55,56,61,62 Kontrak karya 281,331 340 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Indeks Kontraksi ekonomi 245 Korporasi multinasinal 227, 267 Korporasi raksasa 269 Korporasi swasta 282,319 Korporatokrasi 335 Kredit 147,148 Kredit liquiditas darurat 133 Kredit subordinasi 133 Kreditur 103 Kreditur asing 313 Krisis 18,21,24,30 Krisis ekonomi 15,18,30,194,245 Krisis ekonomi 1997 215, 264, 266, 271 Krisis keuangan 248 Krisis moneter 18,30,55, 235, 264 Krisis neraca pembayaran internasional 235 Krisis nilai tukar 264 Krisis perbankan 131,135,136,141,264 Krisis regional 265 Krisis utang 235, 248, 271 Kualitas kredit 151 KUBE 206 Kurs 39,76,78 L Lalu lintas modal 94 Lalu lintas moneter 84 Laporan perekonomian 15 LDR 246 Lembaga keuangan internasinal 229 Lembaga kreditur 237 Letter of Intent (LoI) 33 Liberalisasi 240 Liberalisme 219 Liberalisme klasik 227, 233 Liquidity Support 133 Loan to Deposite Ratio (LDR) 148,149,150,151 LoI (Letter of Intent) 248, 284 LPI 296 LPND 206 LSM 324 M Mafia barkeley 248, 289 Mafia poros washington 248 Mahatma gandhi 327 Mahzab chicago 233 Mahzab freiburger 233 Mainstream Economics 19,33,310,266 Mainstreams macroeconomics 309 Makro ekonomi 5,12,26,30,34,36,38,64,121,123,124,147,164,295 Management fee 116 Management risiko 167 Mankiw 309 Mansour fakih 223 Margareth thatcher 235 Marshal plan 237 Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) 88 Masyarakat feodal 221 Mata uang asing 78 MDGs (Millenium Development Goals) 259 Megawati 6,12,285 Mekanisme pasar 38,127,130,215, 218 Merchant – society 220 Merger 157 Merkantilisme 227, 228 Metropolis 291 Mikroekonomi 39,121,142 Mixed ekonomi 230 MNC 224, 229, 250, 281, 286,316 Modal 21,28,63 Modal asing 79,177 Modal inti 156 Mode of production 221 Model fordist 231 Modernisasi 232 Monetarisasi 248 Monetarisme 227 Monetarist 309 Money supply 236 Monopoli 231 Monopolistik 278 Montesquieu 219 Motif ekonomi 218 Mutual Funds 113 N N.Gregory Mankiw 124 Nasionalisme 232 Nation state 224 Negara dunia ketiga 308 Negara industri maju 251, 275 341 Negara Sedang Berkembang (NSB) 98,223, 235, 247, 267 Negara tujuan ekspor 88 Neokolonialisme 223 Neoliberalis 243, 260 Neoliberalisme 22,23,29,210,227, 233, 239, 230, 274, 283, 290,293,310, 311 Neraca jasa 82,91 Neraca modal 82 Neraca pembayaran 10,40,78,82,86 Neraca perdagangan 82 Neraca transaksi berjalan 41 Neraca transaksi modal 95 Net importir 173 Nilai tukar 172 Nilai tukar 8,76,241, 243, 283 Nilai tukar nominal 76 Nilai Tukar Petani (NTP) 66 Nobel bidang ekonomi 61 Non Performing Loan (NPL) 131,153 Non recoverable cost 183 Non-income poverty 202 Nontradable 62 Nota keuangan 10,13,14,41,49,295 NPL Gross 152 NPL Nett 152 O Obligasi 80,142,139 Obligasi Negara (ON) 112,115 Obligasi rekap 147 ODA 237 OECD 254 Off-shore 313 Oil boom 102,170, 172 Oligarki 234 OPEC 170 Orde Baru 23,24,270,308, 316,320 Orde Lama 100 Otoritas moneter 9,30,68 P P2KP 206 P2MPD 206 P3DT 206 P4K 205 Padat karya 241 Pangsa ekspor 88 Pangsa impor 90,91 Paris Club 100 Pasar bebas 275 Pasar modal 39,79,80,139,250,313 Pasar tenaga kerja 39 Pasar uang 39 Pasca Debt Moratorium 95 PBB 224 PDB 3,16,39,43,46,49,52,54,60,62,105,106,140,173 PDB Deflator 45,67 PDB Nominal 141 PDB Riil 45,48 PDMDKE 206 Pembangunan ekonomi 25 Penawaran 38,39,61,67 Pendapatan Nasional (PN) 50,51,52 Pendapatan riil 10,72,121 Pengangguran 12,13,35,62,64,244 Perbankan 22,37,113,115,134,140,148,155,157 Perdagangan bebas 249, 274, 275 Perdagangan internasional 228, 280, 285 Perdagangan waran 80 Perkins 335 Permintaan 38,39,61,77 Permintaan agregat 61 Pertumbuhan ekonomi 1,8,12,16,17,42,48,55,59,60,62,125,129,147,172,2 45, 260,307 Perusahaan sekuritas 112 PKT 206 PMA 20,92,228, 272, 281,310 PNPM Mandiri 207, 208 Pola konsumsi 217 Portofolio 93,146,302,314 Potential losess 141 PPh 175 PPh Migas 187 PPKT 206 PPN 175, 176 PPP (Purchasing Power Parity) 198,258 PQLI 203 Pragmatisme 219 Premi asuransi 102,117 Pri Agung Rakhmanto 182 Privatisasi 285 Privatisasi BUMN 240, 284 Production of commodities 222 342 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Indeks Produk Nasional Bruto (PNB) 50,51,52,60 Produksi 38,43 Produsen 39,46 Profit Transfer 92 Profitabilitas 153 Propaganda 328 Proteksionisme 271 Protestanisme 219 PSC (Production Sharing Contract) 178 PT Pertamina 182, 183 R RAPBN 6,8,10,13,14,284,295, 296 Rational expectation 227 Recoverable oil 190 Reformasi 267 Reformasi ekonomi 135 Rekapitalisasi 5,110,134,136,137,138,139,142 Reksa dana 80,229 Rente ekonomi (rent seeking) 228,313 Restrukturisasi 5,110,134,136,137,139,149,161 Return on Asset (ROA) 153 Revolusi 328 Rezim otoriter 282 Right issue 80 Risiko bisnis 136 Risiko kreedit 151 Risiko operasional 167 Robert Chambers 201 Ronald reagan 235 Royal Dutch 170 Rush 132 S Saham 80,146,140 Samuelson 309 SAP 285 Saving gap 98 SBI 41,148 SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) 14,205, 206,285 Sektor keuangan 221 Sektor non formal 307 Sektor riil 18,132,151,167 Selo soemardjan 202 Sensus penduduk 65 Simon Kuznets 61 Sistem ekonomi 129,226,294,318 Social formation 221, 222, 227 Soeharto 3,50,173,280,281, 284,320 Source of growth 213 SSK (Stabilitas Sistem Keuangan) 245 Stabilitas keuangan 160, 161,162 Stagflasi 306 State capture corruption 268 Statistik ekonomi 123 Statistik kemiskinan 123 Stiglitz 71 Stock 43,44,99 Stop kliring 132 Struktur ekspor 87 Struktur impor 90 Struktur perbankan 166 Subsidi 27,117,144,151,274 Sudden reverse 302 Sudrajat Djiwandono 143 Suku bunga 150,241, 242, 246 Suku bunga 8,18 Sumber Daya Alam (SDA) 21,272,311 SUN 22,111,112,113,114,116,120,146,147,151,313 SUN Netto 119 Surat berharga 146 Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 112 Surat utang 137,142 Surplus 85,95,176 Surplus ekonomi SUSENAS 196 T Tabungan 74 Tabungan Domestik 99,103 Tarif Dasar Listrik (TDL) 55 Tatanan dunia baru 242 Tax credit 179 Technological industrial dependence 225 Tenaga kerja 35,63 Tenaga Kerja Asing 94 Teori modernisasi 272 Teori pembangunan 224 Texbook Macroeconomics 35,134 The fed 241 The Federal Reserve 76 The invisible hand 220 Thomas jefferson 219 Tingkat inflasi 246 343 TKI 93,94 TPSP KUD 206 Tracle balance 176 Transaksi berjalan 1,84,104 Transaksi jasa 92,93 Transaksi modal 84 Transfer pricing 250 Transfer teknologi 170 Traveler cek 73 U Uang beredar 68,73 Uang kartal 74 Uang kertas 74 Uang logam 74 UEDSP 206 ULN 20,86,96,97,98,99,100,101,104,105,106,108,112, 116,119,238, 257, 270, 281 UMKM 26,121,316 UMP 37 UMR 37 UNDP 203 UNRSID 203 Upah 39 Upah riil 66 US treasury department 236 Usia kerja 65 Utang Dalam Negeri (UDN) 109,110,114,116 Utang jangka pendek 86 Utilitarianisme 227 V Valuta asing 39,77,250 Variable riil 125 VOC 23,277 Volatile foods 67,70 Volatilitas nilai rupiah 314 W Wage labour 222 Washington Concensus 23,236, 239, 244, 284, 290 Welfare state 227 Windfall profit 170, 179 World bank 236, 237, 242,313 WTO 224, 229, 249 344 NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA Tentang Kedua Penulis Kedua penulis berkawan dan bekerja sama sejak masa kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), seperti mengembangkan kelompok studi dan mengelola majalah mahasiswa. Selepas kuliah, perkawanan tetap terpelihara, meskipun berbeda kota domisili. Sempat pula membangun komunitas INAI di Yogyakarta, yang memfasilitasi interaksi intelektual antar komponen gerakan kaum muda. Intensitas hubungan meningkat ketika bencana gempa melanda Yogyakarta, karena ada kegiatan sosial bersama. Kerjasama semakin meningkat ketika keduanya lebih banyak beraktivitas di kota yang sama. Wajar pula jika kesukaan lama keduanya bernas kembali, yaitu: berdiskusi, melakukan riset dan menulis. Awalil Rizky: lahir di Banjarmasin, 17 Oktober 1965. Beristerikan Ety Nurhayati, dikaruniai empat anak: Ira, Adli, Aya, dan Akram. Kini banyak beraktivitas di Jakarta, namun berdomisili di Yogyakarta. Kegiatan utama sekarang adalah sebagai Managing Director Bright Institute, sebuah lembaga think tank ekonomi di Jakarta; dan sebagai Chief economist PT. Permodalan BMT Ventura, suatu perusahaan pembiayaan di Jakarta. Pernah dan masih menjadi konsultan beberapa perusahaan swasta dan lembaga non bisnis. Hingga kini, masih rajin berinteraksi dengan banyak kelompok gerakan mahasiswa dan LSM, sewaktu mahasiswa pernah bergiat di HMI (MPO), kelompok studi, dan majalah mahasiswa. Nasyith Majidi: lahir 10 April 1964 dan tinggal di Jakarta. Beristerikan Eka Manuverti, dianugerahi dua anak : Farah dan Salysa. Aktivitasnya meliputi banyak bidang, mulai dari kegiatan bisnis, sosial sampai dengan kegiatan ilmiah. Kini memimpin sebuah group usaha penerbitan (The Milenia Publishing Company), Chairman sebuah lembaga keuangan, perintis dan komisaris BPR milik Universitas Gadjah Mada. Ia juga duduk sebagai Chairman pada Bright Institute. Pernah menjadi jurnalis beberapa surat kabar nasional, peneliti di CPIS, dan salah satu pendiri dan Direktur ECONIT Advisory Group. Bersama beberapa kawan, mendirikan sebuah preschool yang saat ini sedang berkembang. Mendampingi istrinya dalam mengelola yayasan yang didirikan dan diperuntukkan bagi pendidikan anakanak dari keluarga yang kurang beruntung. Kebiasaan “sibuk” adalah bawaan sejak kuliah, antara lain : pengelola majalah mahasiswa dan kelompok studi, dan sempat menjadi mahasiswa teladan di Universitas Gadjah Mada.